Regulasi dan Pemanfaatan Lahan Situs Liyangan

0
1906

Cagar Budaya juga dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, pariwisata, dan lain sebagainya. Dari tahun ke tahun jumlah pemanfaatannya cenderung terus mengalami peningkatan, baik oleh masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Di samping mempunyai dampak positif terhadap kelestarian Cagar Budaya, aktivitas pemanfaatan Cagar Budaya tidak sedikit yang menimbulkan dampak negatif, dan oleh sebab itu masalah ini tidak boleh diabaikan. Sebagaimana diketahui, kondisi Cagar Budaya pada umumnya sudah rapuh dan mudah sekali rusak atau bahkan menjadi hancur disebabkan oleh pengaruh dari dalam Cagar Budaya (faktor internal) dan kondisi lingkungan atau dari luar Cagar Budaya (faktor eksternal). Tidak sedikit Cagar Budaya yang spesifik jumlahnya terbatas (limited) dan unik yang jika mengalami kerusakan atau kehancuran tidak dapat diperbaharui lagi (non-renewable). Oleh karena faktor kondisi dan sifat-sifat khusus itu, maka perlakuan terhadap benda tinggalan budaya harus hati-hati dan harus mengikuti kaidah-kaidah yang ditentukan oleh ilmu arkeologi.

Pemanfaatan Cagar Budaya secara berlebihan dan tidak terkendali untuk berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan kaidah pelindungan dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap fisik bangunan maupun nilai nilai yang terkandung dalam benda itu sendiri. Berbagai upaya untuk melestarikan Cagar Budaya telah, sedang, dan akan dilakukan. Di samping dilakukan upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melindungi Cagar Budaya bangsa, juga telah ditetapkan berbagai peraturan perundang-undangan (Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya) dan konvensi yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai payung hukum dalam pelaksanaan pelestarian Cagar Budaya. Untuk mewujudkan terciptanya iklim koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi, berkenaan dengan pemanfaatan Cagar Budaya antara pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota), maka diperlukan pedoman. Dalam hal pemanfaatan Cagar Budaya untuk berbagai kepentingan seperti disebut di atas diperlukan pengaturan dalam bentuk “Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Warisan Budaya Dunia”. Dengan adanya pedoman ini akan menjadi jelas prinsip-prinsip dan kebijakan, serta langkah-langkah teknisnya. Selain itu, batas-batas kewenangan lembaga menjadi jelas sehingga akan tergambar siapa dapat melakukan apa, di mana, kapan dan bagaimana caranya, secara terarah dan terpadu, serta mudah dipahami.

Pemanfaatan Cagar Budaya sebagai warisan sejarah dan budaya bangsa masa lalu mempunyai arti sangat penting bagi pembangunan bangsa ke depan. Cagar Budaya yang memiliki nilai budaya tinggi, di samping menjadi kebanggaan juga menjadi sumber pembentukan karakter bangsa dan budi pekerti bangsa sehingga perlu dilestarikan. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya (anonim, 2013).

Berikut ini diuraikan tentang pemanfaatan dan peruntukan lahan masing-masing zona yang terdiri atas Zona Inti (Core Zone), Zona Penyangga (buffer Zone) dalam kajian Delineasi Situs Liangan dalam konteks delineasi pelindungan Cagar Budaya, sebagai berikut:

Zona Inti

Sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, luasan ruang dan lahan beserta seluruh isinya hanya dapat diperlakukan terbatas pada usaha untuk pelestarian, yaitu mempertahankan keaslian, bahan, bentuk, tata letak, dan teknik pengerjaannya. Secara teknis, tidak ada kegiatan yang dapat dilakukan pada lahan ini, kecuali kegiatan dalam rangka perawatan dan pengamanannya, termasuk fasilitas (sarana dan prasarana) yang menunjang kegiatan perawatan dan pengamanan situs (Said, 2000: 136). Namun dalam rangka pemanfaatannya beberapa kegiatan diperbolehkan antara lain kunjungan sebagai obyek apresiasi wisatawan, penelitian atau kegiatan lain yang sejenisnya yang tidak bertentangan dengan kaidah pelestarian.

Kegiatan teknis perawatan dan pengamanan dapat pula dilakukan, termasuk pembersihan lingkungan, konservasi bangunan makam, penjagaan dan pengawasan, serta kegiatan sejenisnya. Selanjutnya dalam rangka pemanfaatannya, kegiatan kunjungan diperbolehkan dengan disertai pengawasan dan aturan-aturan yang cukup memadai, misalnya menjaga kebersihan, jumlah pengunjung dibatasi, tidak mencemari situs dan lingkungannya. Kegiatan studi dan penelitian dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan dapat dilakukan atas persetujuan dari instansi yang bertanggungjawab atas pelestarian dan pengamanan situs. Aktivitas studi dan penelitian di dalamnya juga perlu diatur sendiri dan tetap disertai pengawasan dari instansi yang bertanggungjawab. Pemanfaatan di dalam zona inti harus mengikuti aturan sebagai berikut:

No Boleh Dilakukan Persyaratan Tidak Boleh Dilakukan
1 Penambahan bangunan tidak permanen yang bersifat reversible atau mudah dibongkar dan dipindahkan Konsultasi dengan BPCB Jateng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Temanggung.

Harus didahului dengan kajian atau penelitian

Penambahan/pendirian bangunan permanen
2 Penataan situs dan lingkungannya Konsultasi dengan BPCB Jateng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Temanggung.

Harus didahului dengan kajian atau penelitian

Melakukan penebangan pohon jika tidak membahayakan kelestarian Cagar Budaya
3 Kegiatan yang bersifat keagamaan, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan kebudayaan, sosial, dan ekonomi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian Konsultasi dengan BPCB Jateng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Temanggung.

Harus didahului dengan kajian atau penelitian

Kegiatan yang     melanggar norma dan etika masyarakat, khususnya masyarakat setempat

Tetap membuka askes kepada masyarakat umum secara terbatas

 

Zona Penyangga

Pada tataran idealnya, pada lahan penyangga hanya dibenarkan untuk kegiatan pelindungan dan pengamanan situs, yang berpedoman pada prinsip bahwa lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari situs sendiri. Pada perkembangannya, kepentingan pemanfaatan dan pengembangan situs untuk bidang pendidikan dan kepariwisataan juga tidak bisa diabaikan begitu sehingga pada areal-areal tertentu diperbolehkan melakukan kegiatan secara terbatas.

Dalam zona penyangga, pemanfaatannya harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

No Boleh Dilakukan Persyaratan Tidak Boleh Dilakukan
1 Penambahan bangunan tidak permanen yang bersifat reversible atau mudah dibongkar dan dipindahkan

 

Konsultasi dengan BPCB Jateng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Temanggung.

Harus didahului dengan kajian atau penelitian

Penambahan/pendirian bangunan permanen
2 Pengolahan area pertanian dan penataan lingkungan Konsultasi dengan BPCB Jateng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Temanggung.

 

Harus didahului dengan kajian atau penelitian

Melakukan penebangan pohon jika tidak membahayakan kelestarian situs

 

3 Kegiatan yang bersifat keagamaan, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan rekreasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian Konsultasi dengan BPCB Jateng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Temanggung.

Harus didahului dengan kajian atau penelitian

Kegiatan yang melanggar norma dan etika masyarakat, khususnya masyarakat setempat

 

Menutup akses publik terhadap Situs Liangan

 

Pengembangan fasilitas fisik dapat dilakukan untuk menunjang kepentingan pelestarian, perlindungan dan pengamanan, perawatan, serta untuk pemanfaatan dapat disiapkan fasilitas jalan setapak, perkuatan landscape, sistem drainase, tempat sampah, penataan lingkungan, termasuk penataan vegetasi. Secara teknis, peklaksanaan kegiatan mengutamakan penggunaan konstruksi bahan ramah lingkungan, bersifat non-permanen, mudah dibongkar, keberadaannya tidak mengganggu keserasian lingkungan di sekitarnya (tidak menyolok/disamarkan). Selain itu, pembangunan yang mengubah landscape terlebih dahulu harus dilakukan penelitian arkeologis untuk menentukan kelayakannya.

Secara umum yang masalah utama memang masih terletak pada pengembangan secara fisik, karena hal ini berhubungan dengan keindahan, keserasian lingkungan, lansekap, dan keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu perlu ditetapkan beberapa persyaratan dalam pelaksanaannya, antara lain:

  • Pembangunan fisik dapat dilakukan secara terbatas untuk kepentingan pelestarian dan pemanfaatan, serta dapat mendukung pemanfaatan dan pengembangan situs.
  • Penataan lingkungan dapat dilakukan dengan ketentuan tetap mempertahankan habitat asli lahan, termasuk dalam penambahan jenis vegetasi atau fauna harus disesuaikan.
  • Perubahan bentuk lansekap dapat dilakukan secara terbatas untuk kepentingan pelestarian.
  • Pembangunan fasilitas dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
  1. Tidak mengganggu habitat asli lahan penyangga, termasuk vegetasi yang terdapat di dalamnya.
  2. Tidak mengganggu siklus dan keseimbangan alami lingkungan lahan, terutama ekosistem sebagai lingkungan mikro situs.
  3. Bentuk dan konstruksi bersifat sederhana, non-semi permanen dan tidak mengganggu kelayakan pandang lahan inti situs, keserasian lingkungan, tidak menyolok dan tidak mendominasi pandangan. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan baik mengingat situs yang dilindungi merupakan situs tinggalan Islam yang sedapat mungkin ditampilkan menyerupai lingkungan asli pada masanya.
  4. Penggunaan material bangunan mengutamakan bahan yang ramah lingkungan, serta mudah dibongkar.
  5. Pembangunan fasilitas yang menuntut perubahan lansekap, terutama merubah lapisan tanah, vegetasi dll, terlebih dahulu diadakan penelitian secara arkeologis dan bidang lain yang dianggap perlu.
  6. Untuk pembangunan konstruksi dalam skala menengah untuk kepentingan pelestarian, dapat dilakukan dengan syarat mengikuti syarat tersebut di atas dan terlebih dahulu melakukan analisis dampak lingkungan.

Aturan lebih khusus mengenai peruntukan dan pemanfaatan lahan pada zona dalam kajian delineasi Situs Liyangan Desa Purbosari dan Desa Tegalrejo Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah, mengikuti Petunjuk Teknis Pedoman Pemanfaatan Cagar Budaya Nasional dan Dunia yang diterbitkan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Albert&Tim)