Sebagai wilayah pertama di Nusantara yang masyarakatnya memeluk agama Islam, maka daerah Aceh pantas menyandang sebutan sebagai Serambi Mekkah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika wilayah paling barat di Nusantara ini memainkan peran penting dalam proses penyebaran Islam ke wilayah-wilayah lainnya. Secara historis, Aceh terdiri atas berbagai negara bagian kecil seperti Kerajaan Peurlak, Samudra Pasai, Pidie dan Daya. Tidak mengherankan jika pada awal abad ke-16, Aceh adalah satu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah bendera kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Dalam perkembangannya, agama Islam terus mengalami kemajuan dan begitu mengakar dalam masyarakat melalui peran dan perjuangan para ulama. Hal ini dilakukan bersama lembaga penyebaran Islam melalui pendidikan yang dibangunnya yaitu Meunasah. Pada mulanya meunasah merupakan suatu kelompok dibentuk oleh para ulama yang datang menyebarkan agama Islam di dalam mesjid. Dalam kelompok itu, para ulama menyampaikan ajaran Islam atau mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan ajaran Islam. Setelahnya, meunasah ini didatangi oleh orang dewasa dan bahkan Sultan Malik A-Saleh, Raja Pasai, senang mengikuti pertemuan ini yang diadakan setiap sehabis shalat Jum’at.
Lembaga penyebaran Islam melalui pendidikan khas Aceh ini merupakan lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Seperti diketahui, penyebaran agama Islam di Aceh memang tidak bisa dilepaskan dari peran ulama dan lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang ada di Aceh seperti dayah dan rangkang. Hal itu bisa dipahami secara historis karena diyakini para penyebar Islam pertama ke Nusantara yang berkunjung ke Peurlak terdiri atas orang-orang yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang ilmu pengetahuan. Sampai di Peurlak, mereka melakukan dakwah bil hal. Mereka mengajarkan masyarakat Peurlak bagaimana cara bertani yang baik, bagaimana cara berdagang yang berhasil, bagaimana cara bertukang yang menguntungkan, bagaimana cara berumah tangga yang bahagia dan sebagainya. Kepada para penguasa diberikan tuntunan bagaimana cara memerintah yang dapat membahagiakan rakyatnya.
Pada akhirnya dengan metode dakwah seperti itu berdampak pada munculnya kesadaran masyarakat bahwa apa yang diajarkan kepada mereka adalah dari ajaran Islam. Maka para penguasa dan masyarakat di Peurlak dengan sukarela masuk Islam, dan pada 840 M berdirilah kerajaan Islam Peurlak dengan Sayyid Abdul Aziz menjadi raja Islam yang pertama dan bergelar Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah, putra seorang anggota tim dakwah dari hasil perkawinannya dengan Meurah Peurlak (Raja Peurlak).
Peurlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu peurlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Peurlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang menjadi pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-9, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar Muslim dengan perempuan setempat.
Berdasarkan fakta tersebut, maka jelas bahwa proses penyebaran Islam yang terjadi di Aceh dominan dilakukan melalui jalur pendidikan, khususnya melalui meunasah. Pada perkembangan selanjutnya, keberadaan meunasah justru semakin menguat seiring dengan posisi ulama yang dijadikan sebagai penasehat sultan pada kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Terlebih, ketika pada akhirnya beberapa meunasah dalam sejarahnya berhasil mengirimkan para ulama dan mubalighnya untuk menyebarkan syiar Islam sehingga berhasil mengislamkan beberapa daerah disekitar Aceh seperti daerah Indrapuri, Indrapatra dan Indrapurwa.
Dalam perkembangan lebih lanjut, keberadaan meunasah semakin kuat dalam sistem sosial masyarakat Aceh karena tidak hanya berfungsi sebagai pusat pembelajaran keagamaan Islam saja namun juga mempunyai kedudukan sosial karena juga berfungsi sebagai tempat mendiskusikan berbagai permasalahan sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Walaupun lembaga meunasah sudah mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan masyarakat Aceh namun bukan berarti meninggalkan fungsi utamanya sebagai tempat ibadah dan pendidikan keagamaan terutama sebagai tempat pengajian para fuqara, tempat berkumpul para ulama, dan juga yang tidak kalah penting adalah sebagai tempat menyimpan dan menyalin kitab-kitab yang berisi tentang ajaran syariat Islam.
Melihat perkembangan meunasah di Aceh, tampak bahwa jika dibandingkan antara meunasah pada masa kesultanan Aceh dengan meunasah pada masa kolonial Belanda, muncul perbedaan yang mendasar menyangkut tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Tujuan meunasah pada masa kesultanan adalah untuk mempelajari, mengembangkan serta mengamalkan ilmu dan akidah agama Islam. Sementara tujuan meunasah pada masa kolonial Belanda sepenuhnya untuk membentuk kembali kepribadian, kekuatan, serta kecakapan untuk mematahkan tekanan yang dipaksakan Belanda terhadap rakyat Aceh.
Demikianlah, selain sebagai pusat penyebaran syiar Islam, meunasah yang muncul dan berkembang pesat di Aceh terutama pada masa kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai beberapa fungsi yang lain, seperti pusat pendidikan, pusat jaringan keislaman, serta pusat penelitian dan penerjemahan kitab-kitab agama Islam di Nusantara.
Sumber: Jajat Burhanudin, Jajat (dkk), Sejarah Islam Nusantara, Jakarta: PCBM-Dirjenbud, Kemendikbud (belum terbit)