Jejak Anjing di Candi Bojongmenje

0
1765
Jejak anjing dan bata
Jejak kaki anjing pada bata candi Bojongmenje (Dok. Nanang Saptono, 2004), Sumber: arkeologisunda.blogspot.co.id

Tahukah Anda?

Pada permukaan Bata Candi Bojongmenje terdapat jejak kaki anjing. Jejak anjing yang tertera pada bata di Bojongmenje dapat dipastikan tercetak pada waktu proses pembuatan bata. Bojongmenje yang berada di tepi sungai cocok juga sebagai lokasi industri bata. Dengan demikian bata yang dipakai untuk membuat komponen bangunan candi merupakan produk lokal.

Hingga saat ini di sepanjang Sungai Cimande hingga Sungai Citarik masih banyak dijumpai masyarakat yang membuat bata. Aliran sungai yang mengendapkan tanah liat di kanan kiri sungai memberikan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan bahan dasar bata. Dengan adanya jejak anjing, memberikan keterangan bahwa masyarakat pembuat bata pada waktu itu memelihara anjing. Peranan anjing bagi masyarakat pembuat bata adalah sebagai hewan piaraan.

Anjing bagi masyarakat Nusantara yang merupakan masyarakat agraris, mempunyai banyak peranan yang berkaitan dengan aktivitas bercocok tanam maupun hanya sebatas sebagai hewan piaraan. Dalam kaitannya dengan bercocok tanam, anjing dapat berperan sebagai hewan penunggu dari gangguan hama pengganggu tanaman seperti babi hutan. Sebagai hewan piaraan, anjing merupakan hewan rumahan yang juga bisa disertakan saat melakukan perjalanan. Karena Bojongmenje berada pada kawasan yang sesuai untuk kehidupan agraris, maka peranan anjing bagi masyarakat yang bermukim di Bojongmenje adalah sebagai hewan untuk membantu aktivitas agraris dan juga sebagai hewan piaraan.

Anjing pada masyarakat masa klasik merupakan hewan yang dekat dengan manusia. Pada relief candi tergambarkan bahwa kedekatan anjing dengan manusia sebagai hewan piaraan untuk kesenangan dan juga untuk membantu dalam aktivitas sebagai masyarakat agraris. Jejak anjing yang tertera pada bata di Candi Bojongmenje menunjukkan bahwa anjing juga dikenal masyarakat Bojongmenje. Keletakan Candi Bojongmenje di kawasan pedalaman juga menunjukkan bahwa masyarakat pendukungnya juga sebagai masyarakat agraris.

Masyarakat yang bermukim di sekitar Candi Bojongmenje secara detail memang sulit digambarkan. Hal ini karena belum adanya prasasti yang memberikan petunjuk ke arah situ. Kalau melihat berdasarkan keterangan pada beberapa prasasti di Jawa yang berasal dari masa-masa sekitar abad ke-7–8, terdapat gambaran bahwa pada waktu itu sudah terdapat organisasi sosial dan organisasi keagamaan yang mengelola bangunan suci dengan tanah perdikannya. Suatu candi biasanya mempunyai tanah-tanah perdikan berupa sawah, ladang, kebun, pagagan (huma), taman, padang rumput, bukit dan lembah, serta rawa-rawa dan tepian. Di suatu candi biasa dipersembahkan saji-sajian dan dilakukan upacara-upacara keagamaan setiap hari, setiap bulan, dua kali setahun, dan setahun sekali. Berdasarkan gambaran pada prasasti, di sekitar candi terdapat permukiman baik permukiman penduduk biasa yang bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah perdikan yang mempunyai kewajiban mengelolanya maupun tempat tinggal para pendeta yang mengurus dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Selain itu juga akan ada permukiman para pembantu yang berkewajiban merawat bangunan candi dan apa yang ada di sekitarnya (Boechari, 1980: 328 – 329).

Bentuk Candi Bojongmenje yang sederhana dan ukuran yang kecil, yaitu 6 x 6 m serta sedikitnya bangunan candi di kawasan pedalaman Jawa Barat, memberi arahan gambaran bahwa masyarakat Jawa Barat (Sunda) pada masa itu merupakan masyarakat dengan populasi yang tidak begitu besar yang bermata pencaharian sebagai petani huma. Pada masa silam, orang Sunda umumnya memiliki rumah menyendiri di kawasan hutan. Mereka akan berpindah mencari lokasi ladang-ladang baru yang subur. Perkampungan mereka biasanya berhimpit-himpitan dua deret yang saling berhadapan terpisah oleh suatu pelataran yang luas (Iskandar dan Budiawati, 2011). Masyarakat Sunda sebagai masyarakat huma bersifat dinamis, kerapkali berpindah tempat dan tidak menetap di suatu lokasi karena harus membuka huma-huma baru (Munadar, 2011: 135). Huma yang dikerjakan akan berpindah setelah tingkat kesuburan tanahnya berkurang atau habis. Sebagai masyarakat yang tidak menetap maka mereka tidak memerlukan bangunan suci yang besar dan megah.

Masyarakat peladang berpindah sangat memerlukan anjing selain untuk menjaga ladang juga untuk membantu dalam berburu. Pada masyarakat Anak Dalam di Jambi, anjing merupakan harta paling berharga. Semakin banyak memiliki anjing piaraan akan semakin meningkatkan hasil buruan. Anjing juga dimanfaatkan untuk menjaga ladang dari serangan hama babi hutan (Handini, 2008: 571). Pernan anjing bagi masyarakat peladang berpindah seperti ini juga terlihat pada masyarakat Punan Sajau di Kalimantan Timur (Eriawati, 2008: 629). Masyarakat Sunda pada sekitar abad ke-8–9 yang bermukim di sekitar Candi Bojongmenje sebagai masyarakat peladang berpindah tentunya juga memerlukan anjing untuk menjaga ladang dan membantu dalam berburu. (Sumber: Nanang Saptono, “Peranan Anjing pada Masyarakat yang Bermukim di Sekitar Candi Bojongmenje Abad VIII-IX”,  dalam http://arkeologisunda.blogspot.co.id/2013/01/masih-tentang-candi-bojongmenje.html)