Gender dan Arkeologi

0
2768

Gender yang dibahas dalam artikel ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh para ahli, di antaranya Mertens (2008) yang mengatakan bahwa secara ontologi seks, identitas seks, gender, dan identitas gender itu memiliki dasar sejarah, budaya, dan biologi. Seks untuk masalah biologi dan gender masalah psikologi (Acker 1992; Deaux 1984; Diamond, 2002; Lorber, 1995; World Health Organization, 2007). Asosiasi Psikologi Amerika menyatakan (2007) bahwa gender adalah fenomena psikologis yang menghubungkan seks dengan sikap dan tingkah laku.

Mengapa gender begitu penting, Moore (1986) menjelaskan bahwa gender memiliki aspek penting bagi semua masyarakat. Ini didasarkan atas teori feminisme dan teori sosial yang memfokuskan perhatiannya pada karakter yang bervariasi dari relasi gender. Masalah ini mempengaruhi kajian-kajian etnografik, bahwa gender dapat membantu untuk memahami konstruksi sosial yang dinamis dan berkesinambungan. Gender tidaklah hanya berkutat di seputar laki-laki dan perempuan, tetapi bagaimana kita dapat hidup bersama dan mengonstruksi alam semesta di sekitar kita (Sørensen, 1988:17).

Saat ini ilmu-ilmu sosial mengenalkan satu konsep tentang gender sebagai konstruksi sosial yang memiliki perbedaan kontras secara biologi, yaitu seks, meskipun hubungan antara biologi dan budaya saat ini masih menjadi masalah yang terus diperdebatkan. Gender sebagai konstruksi sosial dan budaya seharusnya dapat melampaui ruang dan waktu (Sørensen, 2004:75). Dari pemahaman inilah maka gender coba saya “bawa” ke dimensi waktu, yang salah satunya masa prasejarah. Ini bertujuan untuk memenuhi keinginantahuan kita bagaimana masyarakat prasejarah menyikapi peran laki-laki dan perempuan.

Untuk menjawab itu, saya pikir perlu membawa satu bidang kajian dalam arkeologi, yaitu arkeologi gender atau arkeologi feminis[1], yaitu kajian gender secara inklusi dan eksplisit yang mengkaji masyarakat masa lalu. Laki-laki dan perempuan pada masa prasejarah sudah memiliki peran berbeda dan peralatan (artefak) yang berbeda pula. Pada 1980-an dikembangkan teori yang berhubungan dengan arkeologi feminis (Wylie, 1991), dan bagaimana menghubungkan gender dengan gerakan feminis secara umum, seperti di Inggris, Scandinavia, dan Amerika, yaitu adanya keinginan untuk diperlakukan sama, baik secara harfiah, maupun simbolik. Ini menguatkan argumen bahwa perempuan tidak hanya ingin setera dalam bidang profesi yang sistematik, tetapi juga dalam presentasi dan rekonstsruksi masa lalu (Sørensen, 2004:75).

[1]     This development of approaches explicitly concerned with gender is variedly called gender archaeology or feminist archaeology. Sometimes these terms are used interchangeably, while others employ them to refer to explicit differences of approach. There is also regional variation, with the term gender archaeology being increasingly used in Europe (and for many lecture courses in Britain; cf. Swedish (genus arkeologi), and Spanish (Arqueologia del ge´nero). In Australia the word feminist does not seem to mply a specifically feminist-informed practice (e.g., Du Cros and Smith 1993; Casey et al. 1998). In the USA, on the other hand, feminist archaeology, in contrast to gender archaeology, often signals an explicitly feminist critique. It should be possible to acknowledge that the distinction between feminist and gender archaeology can be a constructive means of preserving a basic difference in emphasis and objectives (see also Lesick 1997: 31).

Daftar Pustaka

Acker, J. (1992). “Gendered institutions: From sex roles to gendered institutions:, dalam Contemporary Sociology, 21(5). 565–569.

American Psychological Association. (2007). Lesbian, gay, bisexual and trangender concerns. Retrieved December 18, 2007, from http://www.apa.org/pi/lgbc/

Deaux, K.( 1984). “From individual differences to social categories: Analysis of a decade’s research on gender”, dalam American Psychologist, 39(2), 105–116.

Diamond, M.(2002). “Sex and gender are different: Sexual identity and gender identity are different”, dalam Clinical Child Psychology & Psychiatry, 7(3), 320–334.

Lesick, K. S. (1997). ‘‘Re-engendering gender: some theoretical and methodological concerns on a burgeoning archaeological pursuit.’’ dalam J. Moore and E. Scott (eds.), Invisible People and Processes:Writing Gender and Childhood into European Archaeology, hlm. 31–41. Leicester: Leicester University Press.

Lorber, J.( 1995).. Paradoxes of Gender. New Haven: Yale University Press.

Mertens, Donna, et. Al. (2008). “M or F? Gender, Identity, and the Transformative Research Paradigm”, dalam Museums & Social Issues, Vol. 3, No. 1, Spring 2008: hlm. 81–92. Left Coast Press, Inc.

Moore, H. L. (1986). Space, Text and Gender. Cambridge: Cambridge University Press.

Sørensen, M. L. S. (2004). “The Archaeology of Gender” dalam John Bintliff (ed), A Companion to Archaeology., hlm.75–91. Oxford:  Blackwell Publishing Ltd.

World Health Organization. (2007). Integrating gender analysis and actions into the work of WHO. Retrieved December 18, 2007, from http://www.who.int/gender/mainstreaming/integrating _gender/en/index.html

Wylie, A. (1991). ‘‘Gender theory and the archaeological record: why is there no archaeology of gender?’’ dalam J. M. Gero and M. W. Conkey (eds.), Engendering Archaeology: Women and Prehistory, hlm. 31–54. Oxford: Blackwell.