Perempuan Laweyan Dalam Industri Batik Di Surakarta

0
2660
Buku Perempuan Laweyan Dalam Industri Batik Di Surakarta

Perempuan Laweyan Dalam Industri Batik Di Surakarta

Tugas Tri Wahyono

Suwarno

Yustina Hastrini Nurwanti

Taryati

 

Kampung Laweyan sudah sejak lama dikenal sebagai sentra industri atau sentra produksi batik. Hingga sekarang sebutan sentra produksi ba­tik itu masih melekat. Tradisi membatik yang dilakukan oleh masyarakat Laweyan, tidak terlepas dari sejarah keberadaan Kampung Laweyan itu sendiri yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat birokrat kerajaan. Se­cara sosiologis dapat dikatakan bahwa masyarakat Laweyan sebagai in­clave society, artinya keberadaan masyarakat tersebut sangat berbeda dengan komunitas yang lebih besar di sekitarnya, sehingga keberadaan dan interaksi sosial demikian tertutup. Karena untuk mempertahankan komu­nitasnya, lebih banyak tergantung pada masyarakat Laweyan itu sendiri.

Dalam hal mata pencaharian misalnya, mereka berprofesi sebagai pengusaha batik, dan itu jelas menunjukkan bidang pekerjaan yang berbeda dengan lapangan pekerjaan masyarakat Surakarta pada umumnya. Bentuk mata pencaharian yang mereka miliki itu berada di luar kebiasaan masyarakat feodal, yang pada umumnya bekerja dalam lapangan perta­nian atau pegawai birokrat kerajaan.

Dalam masyarakat feodal, telah berlaku suatu asumsi bahwa kedudukan dan kekuasaan serta hak seseorang banyak ditentukan oleh besar kecilnya kekayaan yang mereka miliki. Semakin besar kekayaannya yang mereka miliki, maka semakin besar pula kedudukan dan kekuasaannya.

Dengan kekayaan yang dimilikinya, para saudagar memiliki pengaruh di tengah masyarakat seperti halnya para bangsawan kerajaan. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil kekayaan yang mereka miliki, maka semakin kecil pula kedudukan dan kekuasaan yang mereka miliki. Bertambahnya kekayaan para pengusaha batik ternyata erat kaitannya dengan naiknya status sosial para pengusaha batik. Hal itu dibuktikan dengan pemberian gelar “mbok mase”, yaitu gelar untuk para majikan (pengusaha besar) ba­tik di Laweyan.

Sebutan “mbok mase” untuk pengusaha batik Laweyan itu justru lebih banyak dikendalikan oleh kaum perempuan. Hal itu karena sifat batik sebagai hasil industri membutuhkan kecermatan, kehalusan, dan keindahan yang sangat sesuai dengan sifat yang dimiliki perempuan, se­hingga sebagian besar proses batik dikuasasi oleh perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang terampil mengelola usaha, sejak dari proses membatik, memasarkan, mengelola keuangan, hingga mengem­bangkan usaha. Keberhasilan perempuan mengangkat batik, sebenarnya juga keberhasilan mengangkat status mereka, bukan lagi perempuan yang terpinggirkan, melainkan telah memperoleh posisi secara proporsional. Mereka tetap menghormati suami sebagai kepala rumah tangga dan mem­berinya kebebasan asal jangan foya-foya dan poligami.

“Mbok mase” menyiapkan anak-anak perempuannya menjadi penerus usaha. Anak perempuan yang disebut “mas rara” itu sejak kecil sudah dilibatkan dalam industri batik. Kemudian setelah masa remaja hingga dewasa dan selanjutnya dinikahkan untuk membina rumah tangga di­harapkan dari mereka mampu mengembangkan usaha batik sendiri. Alih generasi semacam itu berlangsung hingga beberapa keturunan, dan tetap melibatkan kaum perempuan sebagai kader penerus.

Pada masa sekarang, keterlibatan perempuan Laweyan untuk melakukan regenerasi masih tetap berlangsung. Terbukti dari hasil kajian yang kami lakukan masih ada beberapa pengusaha yang mewariskan keahliannya itu kepada keturunannya, terutama kepada anak perempuan­nya. Sebagai contoh, proses regenerasi yang terjadi di perusahaan batik Cempaka.Batik Cempaka dahulu bernama Cempaka Putih ketika didirikan pada tahun 1980. Pemilik batik Cempaka sekarang ini adalah Eni Susilo. Eni Susilo merupakan keturunan pengusaha batik di Laweyan. Usaha batik sudah dilakukan semenjak jaman eyangnya. Melalui eyangnya, usaha batik kemudian dilanjutkan oleh ibunya yang bernama Sri Mujinah. Dari Sri Mujilah itulah kemudian Eni Susilo mewarisi keahliannya di bi­dang perbatikan.

Selain pengusaha batik, para buruh batik pun mewariskan keahlian­nya kepada keturunannya. Seperti yang terjadi pada beberapa buruh di perusahaan batik Mahkota, mereka menularkan ketrampilan membatiknya itu kepada anak-anaknya. Transfer ketrampilan terjadi melalui ling­kungan sosial-budaya yang ada yakni melalui lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar. Ketrampilan batik sudah ditanamkan sejak kecil karena dalam kehidupan sehari-hari mereka terbiasa melihat orang tuanya dan orang-orang di sekitarnya menekuni pekerjaan tersebut.

Selengkapnya: Perempuan Laweyan Dalam Industri Batik Di Surakarta, Oleh: Tugas Tri Wahyono, dkk., Cetakan I (xii + 116 hlm; 17 x 24 cm), Diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Tahun 2014.

unduh buku digital