Tiga Upacara Tradisional di Parongpong, Bandung Barat
Oleh:
Ria Andayani Somantri
(BPNB Jabar)
Parongpong adalah salah satu kecamatan yang ada dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Perkembangan penduduk dan derasnya penggunaan media informasi dunia maya dalam beberapa hal telah mengakibatkan perubahan perilaku dan budaya masyarakat Parongpong. Namun, di sela-sela perubahan budaya tersebut, tatanan budaya leluhur dalam bentuk upacara tradisional hingga saat ini masih tetap dilaksanakan. Beberapa upacara tersebut di antaranya Syafaran atau Saparan, Sedekah Mulud, dan Hajat Buruan.
Syafaran atau Saparan
Syafar adalah salah satu bulan dalam kalender Hijriah. Syafaran atau saparan merupakan upacara tradisional yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Baru, Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, khususnya warga masyarakat yang lahir pada bulan Syafar. Latar belakang pelaksanaan upacara saparan adalah kepercayaan masyarakat setempat terhadap keberadaan bulan Syafar yang dipandang sebagai bulan yang sarat dengan aura negatif. Aura yang tidak baik itu dikhawatirkan akan dimiliki oleh orang-orang yang lahir pada bulan Syafar. Beberapa di antaranya adalah memiliki karakter yang kurang baik, senantiasa tidak beruntung, atau hal-hal lainnya yang merugikan dirinya maupun orang lain.
Guna menetralisir aura negatif bagi mereka yang lahir pada bulan Syafar, biasanya melaksanakan upacara syafaran. Upacara tersebut dilaksanakan pada bulan syafar dengan hari dan tanggalnya sesuai keinginan masing-masing. Tujuan pelaksanaan upacara tersebut adalah untuk menghindarkan mereka dari hal-hal yang bersifat merugikan dirinya maupun orang lain. Selain itu, mereka juga berharap agar diberi keselamatan dan keberkahan dalam kehidupannya.
Perlengkapan upacara yang digunakan dalam upacara syafaran di antaranya nasi merah, ayam merah, ayam putih, nasi tumpeng teri, leupeut, kupat, tangtang angin, kue-kue, buah-buahan, dan 7 macam bunga yang dimasukkan ke dalam wadah berisi air. Perlengkapan tersebut disediakan sendiri oleh warga yang akan melaksanakan upacara tersebut di rumah masing-masing. Selain itu, warga (penyelenggara) juga mengundang tetangga agar hadir dalam upacara tersebut. Adapun yang memimpin upacara tersebut adalah tokoh adat setempat.
Sedekah Mulud
Sedekah Mulud dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Baru, Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.. Tradisi masyarakat yang menyertai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad cukup khas.
Rangkaian acara sedekah mulud dimulai sejak 13 Mulud, yang diisi dengan ritual memandikan sejumlah keris milik tokoh adat dan masyarakat setempat. Keris-keris tersebut dibersihkan dengan jeruk nipis dan dicuci dengan air bunga yang disimpan dalam baskom. Pada malam harinya, tokoh adat mengirim doa kepada hodam ‘kekuatan gaib’ yang menghuni keris-keris tadi. Kemudian lewat tengah malam, ada warga masyarakat yang melaksanakan tradisi ngabungbang, yakni mandi di tujuh pancuran yang menghadap utara dan timur. Mereka pergi ngabungbang secara berkelompok, laki-laki semua atau perempuan semua. Setiap kelompok beranggotakan 5 s.d. 7 orang. Tujuan ngabungbang di antaranya agar sehat jasmani dan rohani, panjang umur, dan terhindar dari segala bahaya.
Pada 14 Mulud, warga melaksanakan acara pengajian dan membaca layang Syekh Abdul Qodir Jaelani secara berkelompok. Setiap kelompok beranggotakan minimal 7 kepala keluarga. Perlengkapan yang disediakan pada acara tersebut adalah nasi tumpeng, air, dan barang apapun yang ingin di-ijab-kan pada saat itu. Perlengkapan tersebut dikumpulkan dan disimpan di rumah tokoh adat atau di rumah seseorang yang bertindak sebagai tuan rumah dalam pelaksanaan acara tersebut.
Acara pengajian dilaksanakan pada siang hari, yang dipimpin oleh tokoh adat. Pada saat itu, tokoh adat membaca layang Syekh Abdul Qodir Jaelani. Pada lafal tertentu, peserta yang hadir mematahkan pucuk nasi tumpeng miliknya. Ritual tersebut dinamakan kabulan. Setelah upacara selesai, pucuk nasi tumpeng tersebut akan dijemur sampai kering, kemudian disimpan rapi. Mereka beranggapan bahwa pucuk nasi tumpeng tersebut dapat digunakan sebagai penolak bala. Nasi kering itu akan ditaburkan ketika berlangsung hujan besar yang disertai angin besar; nasi kering akan dihaluskan dan diberikan sebagai obat kepada anak yang sedang sakit; dan nasi kering itu akan dikubur di lahan pertanian mereka.
Hajat Buruan
Hajat buruan adalah nama upacara tradisional untuk menolak bala yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Baru, Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Pelaksanaan upacara tersebut tidak terikat pada jadwal yang pasti, karena waktunya didasarkan pada datangnya wangsit ‘petunjuk dari leluhur melalui mimpi’. Wangsit biasanya datang kepada sejumlah orang yang dipercaya oleh leluhur. Jika wangsit datang, baru mereka akan melaksanakan hajat buruan. Meskipun demikian, mereka memiliki hari-hari khusus untuk melaksanakan upacara tersebut, yakni Senin, Selasa, Kamis, atau Jumat. Keempat hari tersebut dinamakan hari sanget.
Wangsit untuk melaksanakan hajat buruan merupakan pertanda gaib akan datang bahaya, baik berupa musibah alam atau penyakit yang sifatnya massal. Oleh karena itu, warga masyarakat harus sesegera mungkin melaksanakan upacara hajat buruan agar terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka. Pelaksanaan yang harus dilakukan “sesegera mungkin” atau dalam bahasa sehari-hari masyarakat Parongpong disebut dengan istilah “buruan” kemudian menjadi dasar dari penamaan upacara tersebut yaitu hajat buruan.
Perlengkapan upacara hajat buruan yang harus disediakan warga masyarakat antara lain nasi tumpeng atau nasi uduk lengkap dengan teri, oncom, dan cabai gendot. Selain itu, mereka membuat sawen ‘penolak bala’ dari bahan-bahan: oncom, cabe merah, cabe gendot, pais peda, kemenyan, bawang merah, bawang putih, jukut palias, harupat, salam, kunyit, dan panglay. Semua bahan sawen itu ditusuk seperti sate menggunakan tusuk sate. Sementara itu, sesaji yang disediakan bergantung pada permintaan leluhur, yang akan diketahui melalui wangsit. Semua perlengkapan upacara tersebut dikumpulkan di lapangan atau di tempat terbuka untuk disertakan dalam upacara hajat buruan. Upacara hajat buruan dilaksanakan pada sore hari. Setelah upacara selesai, sawen yang sudah disertakan dalam upacara hajat buruan biasanya akan dipasang di atas pintu rumah sebagai penolak bala.