Adat kebiasaan suatu daerah kesukuan memiliki ciri khas masing-masing, demikian juga di wilayah Kabupaten Way Kanan yang terdiri atas lima kebuwayan. Kepala marga adalah pasirah yang dipilih dari penyimbang marga wilayah tersebut. Keberadaan marga-marga ini tidak ada kaitannya dengan sistem adat istiadat kebuwayan Way Kanan. Sistem tata cara proses pelaksanaan adat istiadat pada dasarnya memiliki varian secara praktik, antara lain pakaian, payung dan aksesori adat. Payung agung yang digunakan oleh kebuwayan pada umumnya menggunakan payung agung berwarna putih dan menggunakan payung agung berwarna kuning, akan tetapi di Buway Pemuka Bangsa hanya memakai payung agung berwarna putih.
Di Marga Buway Pemuka Pengiran Tua, Marga Buway Bahuga, Marga Buway Barasakti, dan Marga Buway Pemuka Pengiran Ilir ada strata pangkat adat Injak 18 dan Injak Selang, sedangkan di marga-marga lain tidak ada. Masih banyak lagi perbedaan-perbedaan tetapi tidak mengganggu kesatuan adat di lima kebuwayan, terutama pada saat pelaksanaan proses upacara begawi.
Hukum adat dipakai oleh penyimbang marga dalam menentukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan adat. Pada awalnya penyimbang marga dalam satu kebuwayan atau marga hanya memiliki satu penyimbang marga. Karena pada saat itu penyimbang marga dianggap sebagai raja dalam marga lebuh atau kampungnya. Apalagi tata hubungan antarkeluarga, tata pergaulan, peraturan-peraturan dalam upacara di masyarakat seperti perkawinan, begawi diatur dan ditetapkan oleh penyimbang marga.(Irvan)
Dikutip dari T. Dibyo Harsono dkk, “Potensi Budaya di Kabupaten Way Kanan”, Laporan Pendataan, Bandung: BPNB Jawa Barat, 2017.