Bioskop Keliling merupakan salah satu program dari Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan (Setditjen) Kemendikbud untuk dilaksanakan oleh masing-masing Unit Pelaksana Teknis, salah satunya adalah Balai Pelestarian Nilai Budaya. Perangkat pemutar film ini difungsikan untuk upaya informasi pelestarian nilai budaya sekaligus mengenalkan penonton terhadap produk-produk film Nasional.
Akan halnya film nasional yang dtayangkan dalam setiap kali pemutaran bioskop keliling yang diselenggarakan oleh BPNB Jabar, ada hal menarik untuk diamati dan ditindaklanjuti, yaitu animo penonton terhadap jenis fim nasional. Dan, secara kebetulan dalam tiga kali pelaksanaan pemutaran bioskop keliling pada penghujung tahun 2018 berada di lokasi yang dapat dikatakan menarik untuk diamati karena dapat dikatakan cukup spesifik. Maksudnya, bahwa ketiga lokasi tersebut mewakili tiga kelompok masyarakat. Lokasi pertama pada tanggal 25 November 2018 berada di wilayah Kampung Adat Banceuy, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang. Sebuah lokasi yang memang secara homogen dihuni warga yang mengikuti tatakrama adat Banceuy. Lokasi kedua pada tanggal 7 Desember 2018 berada di tengah arena pelaksanaan launching Desa Purwaraja, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis. Sebuah lokasi yang digadang-gadang nantinya untuk menjadi sebuah desa wisata. Lokasi ketiga pada tanggal 17 Desember 2018 berada di tengah keramaian menjelang pelaksanaan Upacara Ngarot di Desa Lelea, Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu. Lokasi pemutaran di Balai Desa Lelea berada tepat di tengah keramaian pasar tahunan yang digelar dalam rangka memeriahkan upacara Ngarot yang akan dilaksanakan lusa (19 Desember 2018).
Apabila dikelompokkan berdasarkan wilayah geografis, Desa Banceuy berada di tengah-tengah antara Tatar Sunda Parahyangan dengan Tatar Sunda Pantura. Lokasi kedua, yaitu Desa Purwaraja masuk dalam wilayah Tatar Sunda Parahyangan, sedangkan Desa Lelea berada di Tatar Sunda Pantura.
Judul film yang ditayangkan di tiga lokasi tersebut adalah sama, yaitu film nasional berjudul “Bangkit”. Sebuah film yang menceritakan tentang petugas Basarnas yang berjibaku menyelamatkan warga Jakarta yang sedang dilanda amukan banjir besar.
Sebelum pemutaran film “Bangkit”, penonton di Desa Purwaraja banyak berkumpul dan menonton suguhan film-film dokumenter pendek bertema pengenalan seni budaya daerah lain serta film tentang profil BPNB Jabar dengan antusias. Sementara penonton di Desa Banceuy sebelum film utama ditayangkan nampak lebih sedikit. Mereka hanya melihat selintas film dokumenter pendek bertema pengenalan seni budaya daerah lain dan film profil BPNB Jabar, untuk kemudian pergi lagi. Hal yang sama juga terjadi di Desa Lelea. Pemutaran film dokumenter pendek bertema pengenalan seni budaya daerah lain dan film profil BPNB Jabar kurang mendapat pengaruh besar dimata penonton.
Saat pemutaran film “Bangkit”, animo penonton di tiga lokasi tersebut mengalami perubahan. Penonton di Desa Banceuy semakin bertambah dan cukup antusias menonton film tersebut. Berbeda halnya dengan penonton film “Bangkit” di Desa Purwaraja yang mengalami penurunan drastis sehingga hanya tinggal beberapa orang saja yang menonton. Antusias penonton yang paling tinggi ada di Desa Lelea. Jumlah penonton mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Mereka malah seakan hanyut dalam suasana film yang menceritakan tentang bencana alam. Tidak jarang saat adegan menegangkan para penontoon berteriak histeris. Setelah film “Bangkit” usai, beberapa penonton di Desa Lelea malah menanyakan film apalagi yang akan diputar.
Menyimak dari tingkat animo penonton di tiga lokasi pemutaran bioskop keliling, tidak dapat dipastikan penyebab utama penurunan dan kenaikan jumlah penonton. Dan, yang ada hanyalah sebuah kesimpulan sementara, bahwa tingkat ketertarikan penonton terhadap jenis film tertentu dan tingkat kebutuhan akan hiburan masyarakat dapat menjadi bahan pertimbangan yang mempengaruhi jumlah anggota masyarakat saat menonton film nasional yang diselenggarakan oleh bioskop keliling.