Kelahiran, perkawinan, dan kematian yang merupakan rangkaian Siklus hidup manusia. Di berbagai belahan dunia siklus hidup tersebut masih dianggap sebagai peristiwa sakral dan selalu diiringi dengan acara ritual/upacara/tradisi. Dalam peristiwa kelahiran misalnya, ada satu upacara yang hingga kini masih dilaksanakan oleh masyarakat Ulun Lampung Saibatin di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu tradisi Ngebuyu. Selain Ngebuyu, tradisi ini juga dikenal dengan nama “Ngabuyu; Kabuyon; Diduayon; Tabur Uang; Saweran“. Hingga saat ini, tradisi Ngebuyu masih bertahan terutama di Kecamatan Rajabasa dan Kecamatan Way Urang Kabupaten Lampung Selatan.
Tradisi ini dilaksanakan paling lama 9-10 hari setelah bayi lahir. Selama waktu tersebut, bayi tidak boleh dibawa keluar rumah sebelum berumur 9 hari dimana seluruh aktifitas dilakukan di dalam rumah. Setelah lebih dari 9 hari, sang bayi baru boleh berada di luar dan boleh dibawa mandi ke sungai (kabuyon atau diduayon). Tradisi Ngebuyu merupakan syarat yang wajib dilakukan sebelum Aqiqah, yaitu kurban hewan dalam syariat Islam (Bartoven, 2015: 74). Dalam aturan pelaksanaan, apabila tradisi Ngebuyu pada anak pertama dilakukan pada hari kedua (dalam masa 9 hari), maka anak kedua dan seterusnya akan mengikuti pelaksanaan tradisi Ngebuyu pada hari kedua juga.
Ngebuyu merupakan sebuah upacara tradisional sederhana dan singkat. Persiapan dilakukan sehari sebelumnya, yaitu untuk membeli dan merangkai alat upacara. Bahan upacara hanya terdiri dari beras kuning, kemiri, uang (logam dan kertas), kertas hias, kayu/bambu, lem, dan permen. Kertas hias warna (biasanya berwarna merah dan putih), kayu/bambu, dan lem digunakan untuk merangkai uang kertas dan permen hingga menyerupai pohon. Puncak pohon buatan tersebut diberi foto sang anak yang akan Ngabuyu. Beras kuning, kemiri, dan uang (logam dan receh) ditaruh dalam sebuah baskom yang sudah diberi alas sehelai kain. Sebelum pelaksanaan, para tetangga dan kerabat diberitahu terlebih dahulu bahwa akan dilaksanakan Ngabuyu. Tradisi Ngabuyu biasanya dilaksanakan pada pagi hari bertempat di halaman rumah penyelenggara. Para tetangga dan kerabat biasanya sudah menunggu dengan tidak sabar. Tradisi diawali dengan keluarnya sang penyelenggara beserta sang bayinya dari pintu depan rumah. Setelah memberi sambutan singkat, dengan disaksikan ibunda yang menggendong bayinya, salah seorang dari pihak penyelenggara menaburkan sedikit demi sedikit baskom berisi uang (logam dan kertas), kemiri, dan beras kuning. Para tetangga dan kerabat (kebanyakan anak-anak) berebut mengambil uang yang ditaburkan tersebut. Adapun pohon buatan hanya sebagai pertanda pelaksanaan tradisi Ngabuyu dan hanya ditaruh di dalam rumah saja.
Beras kuning, uang, kemiri dan permen yang ditaburkan masing-masing memiliki makna. beras kuning memilki makna adanya rasa saling tolong menolong dan menghargai makhluk Tuhan yang lainnya sebagi bakti kita terhadap bumi. Kemiri memiliki makna menjauhkan bayi yang baru dilahirkan dari pengaruh buruk yang datang dari makhluk halus. Uang memiliki makna sebagai media dalam mempertemukan keluarga dan kerabat. Permen memiliki makna adanya rasa saling menyayangi agar bayi yang baru dilahirkan dapat diterima baik ditengah keluarga maupun masyarakat (Asriningrum, 2010: 27).
Nilai dan makna yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi Ngebuyu bagi penyelenggara, yaitu orangtua sang bayi, adalah sebagai ungkapan rasa syukur karena telah dikaruniai anak. Sementara itu, bagi hadirin yang diundang dalam pelaksanaan tradisi Ngebuyu dapat diibaratkan sebagai saksi yang memperkuat pernyataan bahwa penyelenggara telah dikaruniai anak. Fungsi lainnya dari kehadiran para undangan adalah sebagai bagian dari falsafah sakai sambayan yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Lampung, yaitu dalam bentuk kegotongroyongan, tolong menolong, dan meningkatkan silaturrahmi serta mempererat hubungan baik antar kerabat maupun antar tetangga (Irvan).
Sumber:
Asriningrum, Y. Puspo, 2010. “Tradisi Ngebuyu Pada Ulun Lampung Saibatin di Desa Canti Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan”, Skripsi, Bandar Lampung: Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
Bartoven Vivit Nurdin*), Elis Febriani Jesica, 2015. “Ritual Ngebuyu: Membumikan Pewaris dan Perubahan Ritual Kelahiran pada Marga Legun, Way Urang, Lampung”, Jurnal Sosiologi, Vol. 20, No. 2: 69-80
Adi Andra, 2018. “Acara kelahiran aby ngabuyu sblm marhaban”, dalam https://www.youtube.com/watch?v=VvJej_TeElM tanggal 16 Februari 2018
Andi Saputra, 2019. “Acara ngabuyu adat Lampung”, dalam https://www.youtube.com/watch?v=WyeXFeHLF3E tanggal 27 Januari 2019