HAWU dalam Pandangan Masyarakat Sunda

You are currently viewing HAWU dalam Pandangan Masyarakat Sunda

HAWU dalam Pandangan Masyarakat Sunda

HAWU dalam Pandangan Masyarakat Sunda

Oleh :
Lina Herlinawati
(BPNB Jawa Barat)

Hawu berasal dari kata awu (bahasa Jawa) yang berarti abu, sedangkan abu dalam bahasa Sunda disebut lebu. Jadi hawu adalah tempat terkumpulnya abu atau lebu. Masyarakat Sunda mengenal hawu sebagai tungku tempat kegiatan masak memasak (membuat makanan).

Hawu sederhana yang terbuat dari adonan tanah liat dan batu.
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=en0BCAd0W84

Hawu dibuat dengan cara cukup sederhana, diantaranya menggunakan adonan tanah liat dan batu; tumpukan bata merah; dan hawu yang terbuat dari gerabah dilapisi adonan tanah liat. Hawu dibuat sedemikian rupa sehingga api dari suluh ‘kayu bakar’ dapat keluar melalui satu atau dua lubang di bagian atas hawu. Lubang tersebut digunakan untuk meletakkan panci, cerek ‘teko’, langseng/seeng ‘dandang’, atau katel ‘wajan’, saat memasak. Pelengkap hawu adalah songsong, yaitu alat berbentuk pipa terbuat dari batang bambu, digunakan sebagai alat untuk meniupkan udara ke dalam hawu agar api menyala lebih besar.

Lebu atau abu sisa pembakaran dari hawu pada masyarakat Sunda ternyata dapat dimanfaatkan untuk membersihkan perabotan rumah tangga. Selain itu, lebu juga dapat digunakan sebagai bahan untuk proses memasak yang lebih dikenal dengan istilah dibubuy dan dipais. Makanan yang dibubuy biasanya berupa umbi-umbian seperti hui ‘ubi’ dan sampeu ‘singkong’. Dua jenis umbi tersebut dimasukan dalam timbunan lebu yang masih panas selama sepuluh sampai lima belas menit (tanpa dikupas kulitnya). Setelah matang, bubuy hui atau sampeu tersebut dikupas kulitnya dan dapat langsung dinikmati. Sajian bubuy hui dan sampeu biasa dihidangkan bersama minuman teh hangat atau kopi panas.

Berbeda halnya dengan proses bubuy, proses memasak dengan cara dipais ‘dipepes’ umumnya digunakan pada ikan atau jamur. Bahan masakan tersebut setelah dicuci bersih kemudian dibumbui lalu dibungkus dengan daun pisang kemudian dimasukkan dalam timbunan abu panas. Bara api di hawu juga bisa digunakan untuk membakar ikan, memanggang ikan, dan memanggang opak

Seeng atau dandang untuk menanak nasi.
Sumber: https://tatangmanguny.wordpress.com/kasundaan-jaman-baheula/

Masyarakat Sunda yang hidup di pedesaan biasa menanak nasi dengan menggunakan dandang atau seeng. Menurut mereka, ada dua keuntungan memasak dengan menggunakan dandang. Pertama, dapat memasak nasi dan air untuk minum sekaligus. Kedua, Memasak nasi – dengan menggunakan dandang –  di hawu mampu menghasilkan nasi dengan aroma dan rasa yang lebih nikmat. Berbeda halnya dengan memasak nasi di atas kompor minyak atau kompor gas. Sementara itu, arang yang dihasilkan dari hawu yang masih membara dapat digunakan untuk menyetrika.

Hawu di pawon ‘dapur’.
(Sumber: Dok. Lina, 2019)

Hawu yang berada di dalam rumah biasanya diletakkan di lantai tanah di pawon ‘dapur’. Tempat menyimpan hawu dinamakan wadah hawu atau parako, berbentuk pasagi ‘persegi’ atau kotak, terbuat dari papan kayu (dulu) atau batu yang dilapisi tanah liat. Parako ditempatkan di pawon sejajar dengan palupuh (lantai rumah panggung terbuat dari bambu yang dipecahkan memanjang). Kadang-kadang ada juga parako yang dibuat lebih rendah dari palupuh atau langsung disimpan di atas tanah pawon dan disebut parako ngupuk.

Parako
Sumber : https://ciburuan.wordpress.com/tag/dapur/

Setelah parako dibuat, di tengah-tengah kotaknya kemudian diisi dengan lebu atau keusik ‘pasir’ hingga penuh dan permukaannya menyamai papan kayu parako. Selanjutnya di atas lebu di tengah-tengah kotak diletakkan hawu dengan jarak yang aman dari kayu parako karena api dalam hawu akan menyala besar. Jadi manfaat parako adalah untuk menjaga api agar tidak merembet atau menyebar pada papan/palupuh rumah panggung yang bisa menyebabkan rumah kebakaran; dan lebu atau abu hasil pembakaran kayu bakar tidak menyebar kemana-mana tetapi terkumpul dekat hawu.

Selain tempat menyimpan hawu, parako juga berfungsi sebagai tempat menyimpan songsong. Agar kayu bakar dapat menyala dengan baik, parako bertugas sebagai tempat menguraikan lebu dalam hawu jika sudah penuh.  Selain itu, lebu dan ruhak ‘bara api’ yang diuraikan dalam parako bisa dimanfaatkan untuk ngabubuy umbi-umbian; mais ‘membuat pepes’ ikan, jamur; atau meuleum (memasak makanan dengan cara didekatkan pada bara api) ikan, ikan asin, terasi, dan sebagainya.

Para seuneu yang digunakan
untuk menyimpan kayu bakar.
Sumber: Dok. Lina, 2019

Masyarakat Sunda pun biasa memanfaatkan tempat di atas hawu dan parako dengan membuat para seuneu, yaitu tempat menyimpan hasil pertanian seperti hui, gaplek ‘singkong kering’, jagung, dan sebagainya agar sedikit hangat, juga untuk menghindari gangguan tikus dan kucing.

Para seuneu pun biasa digunakan untuk menyimpan kayu bakar yang diperoleh dari hutan atau kebun. Tujuannya adalah agar kayu bakar lebih cepat kering, dan yang kering akan semakin mengering, sehingga lebih cepat terbakar saat proses memasak.

Pawon yang ada hawu-nya pun sering digunakan tempat untuk berkumpul anggota keluarga. Mereka berkumpul dan mengobrol di seputar hawu sambil siduru hareupeun hawu ‘menghangatkan badan’ saat udara terasa dingin. Pada saat berkumpul tersebut terkadang diwarnai dengan obrolan-obrolan santai hingga serius seperti rencana-rencana kegiatan keluarga bahkan keputusan penting yang hendak diambil.

Mengisi keasyikan mengobrol saat siduru hareupeun hawu, biasanya akan diselingi dengan membuat bubuy hui atau sampeu. Matangnya bubuy hui atau sampeu bisa ditunggu ketika sedang menghangatkan badan. Setelah matang, mereka akan ngopi bubuy hui atau sampeu, disertai minum ci enteh haneut tanpa gula atau kopi panas. Cai enteh akan tetap hangat karena memang selalu disimpan di atas hawu dengan sisa bara yang tetap terjaga panasnya. Ngopi pada kata ngopi bubuy dalam hal ini bukan diartikan sebagai minum kopi, tapi istilah bagi orang Sunda yang artinya menikmati makanan ringan “pengganjal perut”.

Siduru juga dilakukan pada pagi-pagi sekali saat Orang Sunda melakukan aktivitas membuat sarapan. Selama proses membuat sarapan tersebut, biasanya mereka melakukan siduru dengan posisi jongkok mengelilingi hawu.

Selesai sarapan – yang dilakukan di sekitar hawu, biasanya anggota keluarga akan bubar dan masing-masing melaksanakan kegiatan rutinnya, seperti anak-anak pergi sekolah, orang tua ke kebun, ke sawah, ke kolam, dan para pegawai ke tempat kerjanya.

Daftar Sumber :
– https://www.youtube.com/watch?v=en0BCAd0W84)
– https://tatangmanguny.wordpress.com/kasundaan-jaman-baheula/
– https://ciburuan.wordpress.com/tag/dapur/