Goyang Karawang
Berbicara tentang dunia seni pertunjukan tradisional di Kabupaten Karawang, dapat dikatakan bahwa sebagian besar arah pemikiran masyarakat umum akan tertuju pada satu nama, Jaipong. Karawang memang telah sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah yang berperan penting dalam proses kelahiran jaipong. Begitu terkenalnya jaipong di Karawang, banyak juga masyarakat di Karawang bahkan daerah lain yang memberikan julukan “goyang Karawang” pada karya budaya yang satu ini.
Bagi masyarakat Karawang, julukan “goyang Karawang” sebenarnya telah lama dikenal sebelum kemunculan seni Jaipong sebagai sebuah hasil karya seniman Bandung dan Karawang. Setelah jaipong menjadi semakin terkenal di kalangan masyarakat luas, julukan tersebut menurut pandangan masyarakat di luar wilayah Karawang banyak ditujukan pada seni Jaipong yang juga dikenal dengan istilah 3G (goyang, gitek, geol). Goyang merupakan ayunan pinggul tanpa hentakan, sedangkan gitek adalah adalah gerakan pinggul yang menghentak dan mengayun. Sementara untuk gerakan geol adalah gerakan pinggul yang memutar). Generasi muda masyarakat Karawang yang tidak mengetahui asal mula julukan goyang Karawang tersebut pun pada akhirnya ikut-ikutan mengarahkannya pada seni Jaipong.
Penelusuran untuk mencari latar belakang kemunculan istilah goyang Karawang oleh para peneliti dan pakar dalam bidangnya masih belum mendapatkan titik temu. Sebelum kelahiran seni Jaipong, Wilayah Karawang selain dikenal dengan lahan pertanian, dalam bidang seni tradisi juga dikenal dengan beberapa nama kesenian antara lain seni bajidoran, topeng banjet, dan tari ronggeng. Kesenian tersebut pada saat tampil juga memperagakan beberapa goyangan bagian tubuh yang sangat atraktif dan dinamis. Beberapa pemerhati budaya mengartikan bahwa gerakan tersebut menggambarkan karakter masyarakat Karawang yang terbuka, periang, dan apa adanya. Namun lain halnya dengan sebagian pandangan masyarakat mengenai goyangan tersebut yang dianggap lebih menampilkan sisi erotisme yang mana kultur Indonesia secara umum masih memandang negatif sisi erotisme dalam sebuah seni pertunjukan. Pandangan negatif tersebut kemudian diperparah dengan adanya asumsi bahwa gerakan-gerakan “erotis” dalam seni pertunjukan tersebut pada zaman dahulu kerap disalahgunakan untuk melakukan beberapa tindakan yang melanggar nilai dan norma. Hal tersebut tentunya menjadi sebuah citra buruk terhadap nama Karawang itu sendiri. Persepsi inilah yang menginspirasi Cellica Nurrachadiana (Bupati Karawang) untuk melakukan upaya merubah pandangan negatif tersebut. Salah satunya adalah dengan mengadakan Festival Goyang Karawang yang berhasil tercatat dalam Museum Rekor Rekor Indonesia (MURI) sebagai festival yang dilaksanakan oleh penari terbanyak, yaitu 17.000 orang.
Bukan Goyangan Erotis
Pada dasarnya Goyang Karawang bukanlah nama tarian yang erotis dan berujung seorang “berperut buncit” untuk merogoh kocek dan mengajak sang penari ke tempat tidur. Goyang Karawang lebih merujuk pada gerakan yang dilakukan oleh penari ronggeng yang juga ditampilkan juga dalam kesenian Topeng Banjet/bajidor yang popular. Seiring perkembangan zaman, gaya menari yang “erotis” yang penuh dengan sensualitas dipandang negatif.
Agus Sukmana, seorang Seniman Kabupaten Karawang, saat diminta pendapat mengenai goyang Karawang ditengah kesibukannya mengamati gerakan tarian yang dilakoni oleh ketiga gadis desa, mengatakan,
“Sebenarnya yang lebih dulu ada itu Goyang Karawang. Karena tarian ini selalu digunakan dalam pergelaran Topeng Banjet sebagai kesenain khas Karawang yang dilakukan oleh kembang topeng dari dulu itu,” tutur Agus.
“Nah kalau ditanya sejak tahun berapa ya seiring dengan lahirnya kesenian Topeng Banjet. Menurut literatur yah ada salah satu group Topeng Banjet dari daerah tempuran mengatakan kurang lebih 102 tahun, dari nenek moyangnya,” tambah Agus yang mengenakan pakaian serba putih.
Dari pendapat Agus Sukmana tersebut, dapat dikatakan bahwa sebagian masyarakat awam menganggap goyang Karawang terlalu berlebihan dalam menilai gerakan yang menonjolkan sisi sensitif tubuh penari (wanita). Orang seperti Agus Sukmana dan banyak orang Karawang saat ini pada akhirnya mengubah sudut pandang negatif tersebut dan malah berbalik serta melakukan upaya penolakan terhadap penyematan stigma “goyang Karawang” dalam gaya tari seperti itu karena dianggap merugikan nama Karawang.
Masyarakat Karawang adalah agraris. Hal itu tidak memungkinkan mereka memiliki waktu memikirkan kreasi seni yang rumit. Segala sesuatunya mereka lakukan dengan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan langsung. Bahkan proses berpikir kreatif masyarakat dahulu lebih sederhana. Banyak inspirasi seni pada kesenian Karawang dulu tercetus dari gerakan dan dinamika aktifitas sehari-hari. Dengan segala keterbatasannya, dapat diasumsikan bahwa sangat sulit bagi mereka untuk memikirkan gerak tubuh yang penuh dengan simbol ala tarian kraton. Atau, merumuskan etika pertunjukan yang sopan dan santun.
Perlu diingat bahwa masyarakat setempat menciptakan seni tidak untuk mendapatkan pengakuan atau kehormatan pihak lain. Mereka menari untuk diri mereka sendiri. Mereka menari untuk menghibur teman dan tetangga. Kesenian ini terlahir dari sebuah jalinan keakraban antar sesama. Mereka menari dengan perasaan riang gembira dan tak ada seorang penguasa yang harus dilayani dengan eksklusif. Tari bagi mereka merupakan suatu upaya menghibur diri sekaligus sebagai pemberi semangat hidup setelah seharian berjibaku dengan keringat di ladang dan sawah mereka. Ketika permintaan hiburan semakin ramai, mungkin saja ada sebagian dari para penari yang berlebihan saat menampilkannya di hadapan publik. Dan, perilaku seperti itulah yang membuat citra “goyang Karawang” dianggap negatif.