Akheui : Tiang Rumah Tradisional Kampung Wana di Lampung Timur
Oleh :
Ani Rostiyati
(Balai Arkeologi Bandung)
Akheui adalah tiang rumah yang merupakan komponen penting dalam rumah tradisional Kampung Wana Lampung Timur. Akheui yang digunakan pada rumah tradisional berbahan dari kayu Merbau berbentuk balok dengan tampak muka bujursangkar, berukuran sekitar 15 cm x 15 cm dan pada beberapa rumah, terdapat akheui-akheui yang telah diprofil atau dipahat untuk menambah estetika dan memiliki makna simbolis.
Akheui didirikan di atas tanah dengan menggunakan sebuah umpak dari batu. Akheui merupakan penyangga rumah panggung dan merupakan bagian utama dari rangka rumah tradisional untuk menopang lantai, dinding, dan atap. Karena fungsinya sebagai penopang, akheui harus terbuat dari bahan kayu yang keras dan kuat seperti kayu merbau atau setidaknya kayu kenango. Dengan jenis kayu demikian, selain kekuatan dalam menopang rumah, kayu-kayu jenis tersebut mengeluarkan semacam minyak yang dapat mencegah serangan serangga pemakan kayu seperti rayap ataupun agas (aneui), yaitu sejenis serangga pemakan kayu yang meninggalkan jejak berupa butiran-butiran isi kayu yang halus.
Umumnya pada sebuah rumah terdapat 5-6 akheui di bagian depan dan belakang rumah, sementara dari depan ke belakang terdapat 24 akheui yang juga merupakan tanda pembatas ruangan-ruangan dalam rumah. Akheui adalah kerangka rumah panggung yang saling berikatan satu dengan yang lain melalui papan-papan penyambung. Dalam proses penyambungannya, akheui-akheui tersebut tidak menggunakan paku, melainkan menggunakan pasak dari kayu yang sangat kuat atau bambu betung yang tua. Pemasangan pasak-pasak tersebut dilakukan dengan melubangi akheui-akheui terlebih dahulu untuk kemudian ditanamkan pasak-pasak pada bagian yang telah dilubangi tersebut.
Selain itu terdapat akheui tunggul yang menopang lantai atas. Akheui tunggul ini tidak sampai ke atas dan tingginya hanya mencapai bagian palang penahan papan lantai rumah. Akheui tunggul tidak dapat terlihat dari dalam rumah, namun akheui ini dapat dilihat fungsinya sebagai penyangga apabila kita masuk ke bagian bawah (kolong). Pada beberapa rumah, untuk satu baris penopang, jumlah akheui tunggul disesuaikan dengan akheui yang kasat mata berada di bagian muka rumah. Misalkan, jika pada bagian muka rumah terdapat 6 buah akheui maka dalam satu baris akheui tunggul terdapat 6 akheui tunggul yang menopang lantai. Untuk menambah kekuatan lantai, setiap bagian ruangan besar dalam rumah dapat memiliki 3 hingga 4 baris akheui tunggul tergantung dari panjang dan lebar ruangan tersebut.
Pemasangan akheui tunggul sebagai penopang papan lantai umumnya tidak menggunakan paku namun menggunakan pasak kayu atau pen. Dengan cara yang sama pada pasak akheui, papan lantai, poros akheui tunggul, dan kudo-kudo dilubangi terlebih dahulu. Setelah dilubangi pasak-pasak kayu yang telah disiapkan kemudian ditanam pada sambungan antara akheui tunggul dengan kudo-kudo dan antara papan lantai dengan kudo-kudo.
Sebuah rumah tradisional di Kampung wana yang didirikan pada tahun 1929 seluruh yang digunakan sebagai kerangka rumah berasal dari satu pohon merbau. Hal ini sangat dimungkinkan jika mengacu pada masa lalu, lingkungan di Kampung Wana masih berupa hutan yang ditumbuhi kayu-kayu merbau tua berukuran besar. Pohon merbau tersebut konon dipercaya memiliki diameter lebih dari satu meter dan tinggi lebih dari 40 meter. Dengan volume pohon tersebut, dapat menyediakan setidaknya 40 meter3 balok kayu merbau yang dapat digunakan untuk menyusun kerangka rumah yang panjangnya sekitar 20 meter dengan lebar 8 meter.