“ucing” dalam Permainan Tradisional Anak Sunda
Oleh:
Ani Rostiyati
(BPNB Jabar)
Permainan tradisional anak-anak Sunda sangat beragam. Salah satunya adalah permainan dengan menggunakan kata ucing sebagai nama permainannya. Ucing merupakan kata dalam bahasa Sunda untuk menyebut kucing. Banyak jenis permainan yang menggunakan kata ucing seperti ucing batu, ucing beling, ucing jidar, ucing sumput, ucing dongko, ucing guliweng, ucing hui, ucing kuriling, dan ucing-ucingan.
Tampak beberapa kesamaan dalam permainan yang terdapat kata “ucing” dalam penamaannya. Persamaan tersebut salah satunya ialah sebelum memulai permainan, biasanya dimulai dengan menentukan siapa yang menjadi ucing. Penentuan siapa yang berperan sebagai ucing ini biasanya ditentukan berdasarkan lagu ataupun undian (misalnya hompimpah alaihum gambreng). Anak yang kalah kemudian harus menjadi ucing.
Permainan ini ucing harus memiliki kemampuan berlari dengan kencang agar mampu mengenai atau menangkap teman-temannya yang berlarian. Permainan tersebut menuntut ucing memiliki kemampuan fisik yang kuat. Ucing harus bisa berlari kencang, teliti, dan memiliki kekuatan. Selain itu, ucing harus memiliki kemampuan mengatur strategi agar tidak kehabisan energi agar ucing dapat melepaskan dirinya dari peran ucing untuk kemudian berubah menjadi pihak yang dikejar oleh ucing. Sang ucing berusaha mendayagunakan seluruh kemampuan dirinya agar dapat melepaskan diri dari peran ucing tersebut.
Peran ucing yang disandang oleh anak yang kalah dalam undian, dapat dipandang sebagai sarana untuk bangkit dari keterpurukan. Saat dirinya mampu berlari kencang, teliti, memiliki strategi, dan memiliki energi tinggi, sehingga mampu menangkap atau menemukan sesuatu yang disembunyikan lawannya, dia dapat menanggalkan peran ucingnya. Ia dianggap sebagai pemenang dan penakluk anak lain yang kemudian harus menjadi ucing.
Dalam konteks ini, ucing direpresentasikan sebagai sosok yang harus memiliki kemampuan gerak dan memahami lingkungan sekitarnya. Selain itu, pihak yang terlibat dalam permainan ini tidak dibedakan berdasarkan kelamin. Setiap anak baik perempuan maupun laki-laki dapat bermain bersama. Posisi perempuan dan laki-laki dipandang sama, yakni sama-sama berkesempatan menjadi ucing, sama-sama berkesempatan menjadi yang dikejar ucing. Dalam konteks ini terlihat bahwa permainan ini tidak bias gender.
Perempuan dan laki-laki sama posisinya. Permainan yang dalam penamaannya menggunakan kata “ucing” ialah permainan kolektif. Permainan ini tidak bisa dimainkan seorang diri. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam permainan ini maka jalannya permainan akan semakin menarik. Hal ini dapat dipandang bahwa ucing merupakan sesuatu yang direpresentasikan berkaitan dengan kolektif masyarakat.
Menjadi kucing merupakan konsekuensi yang harus ditanggung saat kalah dalam pengundian. Meskipun peran sebagai ucing kerap kali dihindari dan menjadi bahan olok-olok teman sehingga dipersepsi sebagai sesuatu yang buruk, permainan ini justru merupakan sarana pembuktian diri bagi seseorang yang berperan sebagai ucing berusaha mendayagunakan seluruh kemampuan dirinya agar dapat bangkit dari keterpurukan.
Kata ucing (kucing) dalam permainan tradisional anak direpresentasikan berkaitan dengan kolektif masyarakat yang menjadi identitas lokal masyarakat Sunda. Banyaknya permainan anak yang dimulai dengan kata ucing sebagai ikon kata dalam permainan tersebut mereprestasikan bahwa kucing merupakan hewan yang terdekat dengan manusia yang berada di dalam rumah maupun di luar rumah.
Katakter kucing yang lincah, lucu, baik, namun suka mencuri makanan dengan mengendap-ngendap dan mengejar-ngejar tikus merupakan simbol bahwa peran yang semestinya dalam kehidupan adalah sosok seperti kucing yang harus lincah berjuang untuk melepaskan dari keterpurukan. Hal ini berperan juga sebagai norma-norma sosial dan media pendidikan bagi anak.