Bangunan rumah sandi negara terletak di Dusun Dukuh, Desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Rumah sandi terdiri atas dua bangunan yaitu bangunan bagian depan dan belakang. Bangunan depan dibangun pada 1970, sedangkan bangunan belakang merupakan bangunan lama yang dahulu digunakan sebagai rumah sandi.

         Riwayat mengenai berdirinya rumah sandi tidak lepas dari sejarah perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan, yakni pada saat terjadi agresi militer Belanda ke-II tanggal 19 Desember 1948 di ibukota Yogyakarta. Di daerah Kulon Progo,  pedesaan juga memiliki peran dalam masa revolusi, salah satunya Dusun Dukuh. Dusun tersebut menjadi tempat penting dalam usaha melakukan taktik perang gerilya, dan juga merupakan bagian dari eksistensi persandian nasional yang mengawal perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

        Agresi militer Belanda membuat situasi pemerintahan di Yogyakarta tidak stabil. Hal ini juga berpengaruh terhadap eksistensi kegiatan hubungan code (komunikasi sandi) yang saat itu berkantor di Jalan Batanawarsa 32 (sekarang Jalan I Dewa Nyoman Oka). Pada saat Belanda menyerang kantor sandi negara tersebut, beberapa personil berhasil selamat,  di antaranya Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Muda Soedijatmo. Keduanya kemudian pergi menuju ke Dekso yaitu sebuah desa di tepi barat Kali Progo di kaki pegunungan menoreh. Di daerah dekat Dekso terdapat Markas Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP TB. Simatupang), yang berkedudukan di Desa Banaran (sekitar 5 km dari Dekso).

      Selang beberapa hari dr. Roebiono Kertopati, Letnan II Harjoko, dan Wijonarko yang bermaksud meneruskan perjalanan ke Jawa Barat tiba di Dekso. Dalam rangka mengadakan hubungan code maka dr. Roebiono Kertopati menentukan tugas masing-masing. Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Muda Soedijatmo tinggal di Dekso, kemudian mendirikan bagian code yang berkedudukan di bawah PHB Angkatan Perang yang kemudian pindah ke desa Dukuh.

        Pada saat itu Letnan II Soemarkidjo ditunjuk sebagai Kepala Kamar Code dan mendapat tugas tambahan dalam rangka pengamanan terhadap KSAP. Tamu-tamu KSAP harus mendaftar dulu di “check-point I” di Staf PHB Angkatan Perang di Dekso, kemudian di “check-point II” di Dukuh (Letnan Soemarkidjo).

      Berdasarkan catatan kisah pengalaman perjuangan Kolonel TB Simatupang selama perang kemerdekaan disebutkan bahwa staf penerangan dari markas MBKD di Boro dan markas sandi negara di Dukuh membuat pemancar-pemancar kecil yang disambungkan dengan pemancar radio PHB PC-2 yang ada di Banaran, Playen, Gunung Kidul dan Balong. Berbagai komunike perjuangan tersebut dapat direlay melalui pemancar radio dan dapat diterima sampai ke Jakarta, Sumatra, dan New Delhi.

     Hubungan komunikasi code tersebut berjalan sampai kembalinya Yogyakarta ke pangkuan Republik Indonesia, pasca persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB). Penanda tanganan hasil Konferensi meja Bundar (KMB) dapat dikatakan merupakan titik pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda.