Setelah seperempat abad silam ditemukan oleh penambang pasir dalam kondisi runtuh dan terpendam tanah, tepatnya pada 24 September 1993, akhirnya Candi Kedulan selesai dipugar. Pemugaran yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY) telah berhasil mengembalikan kondisi fisik candi yang berada di Dusun Kedulan, Tirtomartani, Kalasan, Sleman itu, baik dari sisi struktur dan juga arsitekturnya. Penataan kembali batu-batu penyusun Candi Kedulan tak lengkap rasanya, jika tidak dibarengi dengan ikhtar merekonstruksi sejarah pendiriannya. Hal itu perlu dilakukan guna menguak jati diri Candi Kedulan yang sebenarnya.

      Pada Sabtu (2/3/2019) bertempat di Kompleks Candi Kedulan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta bersama National Geographic Indonesia mencoba menelusuri sejarah pendirian candi bercorak agama Hindu yang dibangun sekitar abad ke-9 masehi itu melalui acara sarasehan budaya bertajuk “Misteri Negeri Tiga Daun”.

Arkeolog BPCB DIY, Yoses Tanzaq (paling depan) memandu peserta sarasehan menuju Candi Kedulan

     Acara tersebut menghadirkan empat narasumber. Satu dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Yoses Tanzaq (Arkeolog) dan dua dari National Geographic Indonesia yaitu Transpiosa Riomandha (penulis) dan Dwi Oblo (fotografer). Yoses Tanzaq mengawali sarasehan dengan mengajak peserta yang hadir, berjumlah lebih kurang 100 orang melakukan ekskursi berkeliling Candi Kedulan. Peserta yang terdiri atas para peminat arkeologi, sejarah, dan budaya tersebut dipandu Yoses menuju lokasi Candi yang terletak enam meter di bawah permukaan tanah. Sambil mengitari candi bersama para peserta, Yoses menerangkan bagaimana proses pemugaran Candi Kedulan.

 

 

 

 

 

     Setelah selesai mengajak peserta menikmati Candi Kedulan secara intim, Yoses kemudian mengulas tentang jati diri Candi Kedulan yang sebenarnya. Kata Yoses, ada tiga prasasti yang dapat menjadi rujukan untuk mengetahui sejarah Candi Kedulan yaitu Prasasti Pananggaran (869 Masehi), Prasasti Sumundul (869 Masehi), dan Prasasti Tiga Ron (900 Masehi). Dari ketiga prasasti tersebut, diketahui bahwa nama asli Candi Kedulan adalah Parahyangan i Tigaharyyan (Tiga Ron).

Yoses saat mengungkapkan nama asli Candi Kedulan

     Yoses lebih lanjut menerangkan, bahwa Prasasti Penanggaran dan Prasasti Sumundul ditulis dengan huruf Jawa Kuna dan bahasa Jawa Kuna, berisi tentang pembangunan bendungan (dam) di Pananggaran yang digunakan untuk mengaliri ladang di Desa Penanggaran dan Sumundul sehingga hasilnya dapat dipakai untuk biaya operasional bangunan suci di Tigaharryan.

 

     “Prasasti Tiga Ron ditulis dengan huruf Jawa Kuna, berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Berisi tentang pembangunan saluran irigasi untuk mengairi ladang di Desa Kalikalihan yang pajaknya digunakan untuk memperbaiki bangunan suci di Tiga Ron (Tlu Ron). Dikisahkan pula, Raja Balitung pernah mandi di mata air dekat bangunan suci tersebut,” Yoses menambahkan.

Transpiosa Riomandha bercerita tentang proses kraetif menulisnya

      Dua narasumber lainnya yakni Transpiosa Riomandha dan Dwi Oblo, secara bergantian bercerita tentang proses kreatifnya masing-masing dalam berkolaborasi melahirkan feature berjudul “Lelakon Negeri Tiga Daun”. Feature tersebut mengulik tentang Candi Kedulan. Transpiosa bercerita dari sisi penulis, sedangkan Dwi Oblo berbagi kisah dari sudut pandang fotografer. “Saya mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengumpulkan data tentang Candi Kedulan sebagai bahan penulisan. Mulai dari membaca jurnal dan laporan, sampai melakukan wawancara,” kata Riomandha.

Dwi Oblo berbagi tips fotografi

      Di sisi lain, Oblo pun tak kalah seru menceritakan perjuangannya mendapatkan foto-foto indah yang merekam proses pemugaran Candi Kedulan. “Menjadi fotografer harus sabar dan siap selalu dalam merekam peristiwa. Sebuah momen tidak datang dua kali. Apalagi dalam proses pemugaran candi. Saya harus bisa menangkap setiap tahapan-tahapan pengerjaannya,” jelasnya.

    Jerih payah Riomandha dan Oblo memadupadankan hasil karyanya masing-masing akhirnya berbuah manis. Tulisan dan foto mereka bersatu menjadi feature yang enak dibaca. Feature tersebut juga diganjar menjadi fokus utama majalah National Geographic Indonesia edisi Maret 2019.

      Dari tiga topik bahasan yang dibawakan oleh ketiga narasumbe, ternyata mampu memantik diskusi. Tidak terasa sarasehan diisi tanya-jawab antara narasumber dengan peserta hingga petang. Acara sarasehan ditutup dengan pemutaran perdana film berjudul “Pemugaran Candi Kedulan” persembahan Bioskop Keliling Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. (Fry).