Pada saat pelajar yang lain menikmati hari libur, 250 pelajar pramuka tingkat penegak perutusan kwartir cabang se-Daerah Istimewa Yogyakarta justru tetap beraktivitas dan berkreativitas. Mereka mengikuti kegiatan Jelajah Budaya yang diselenggarakan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta pada Minggu, 28 April 2019. Jelajah Budaya yang digelar ke-14 ini menggaungkan tema “Mengenali Jati Diri Warisan Budaya dan Kiprah Kasultanan Yogyakarta”.

     Tema kegiatan Jelajah Budaya “Mengenali Jati Diri Warisan Budaya dan Kiprah Kasultanan Yogyakarta”diangkat berdasarkan realitas bahwa sebagian besar bangunan-bangunan warisan budaya peninggalan Kasultanan Yogyakarta telah mengalami perubahan pada aspek bentuk fisik dan juga fungsinya. Wujud bangunan-bangunan warisan budaya sudah tidak utuh lagi, karena beberapa komponennya telah rusak akibat faktor alam dan lingkungan sekitar, sehingga keberadaannya tidak diketahui lagi. Seiring berjalannya waktu, pemanfaatannya pun kini sudah berbeda dengan fungsi aslinya ketika dibangun sesuai dengan konteks zamannya. Sebagai contoh di antaranya yaitu pesanggrahan yang dulu berfungsi sebagai tempat pesiar bagi raja beserta keluarganya dan juga ndalem sebagai tempat tinggal kerabat raja dan bangsawan, sekarang telah beralih fungsi menjadi objek wisata dan perkantoran.

     Dalam kegiatan Jelajah Budaya peserta menempuh jarak sejauh lebih kurang 8 kilometer. Peserta berjumlah 250 orang dibagi menjadi 50 kelompok yang terdiri atas 25 kelompok putra dan 25 kelompok putri. Setiap kelompok terdiri atas 5 orang. Rute perjalanan Jelajah Budaya mengantarkan peserta untuk singgah di beberapa bangunan warisan budaya peninggalan Kasultanan Yogyakarta yang ada di wilayah Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta, antara lain: Pesanggrahan Ambarbinangun, Masjid Dongkelan, Panggung Krapyak, Plengkung Gading, nDalem Wiranegaran, dan nDalem Jayadipuran.

Upacara Pembukaan

    Rangkaian kegiatan Jelajah Budaya diawali dengan upacara pembukaan di Pesanggrahan Ambarbinangun yang terletak di Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Kepala Subbagian Tata Usaha Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Indung Panca Putra menjadi pembina dalam upacara. Selain melaksanakan upacara, beberapa tamu undangan juga melakukan bakti lingkungan dengan menanam pohon dan melepas burung di lingkungan sekitar pesanggrahan yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI tersebut. Aksi bakti lingkungan juga dilakukan peserta Jelajah Budaya dengan menebar benih ikan di sungai yang ada di Dusun Tegalkenanga, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.

Penanaman pohon
Bersiap Menebar Ikan

 

 

 

 

     Ada beberapa giat prestasi yang dilakukan peserta di bangunan-bangunan warisan budaya di sepanjang perjalanan menyusuri rute Jelajah Budaya antara lain: lomba yel-yel kebangsaan di Pesanggrahan Ambarbinangun, mengerjakan soal wawasan sejarah dan kepurbakalaan di Masjid Dongkelan, Panggung Krapyak, dan Plengkung Gading.

Lomba Yel-Yel Kebangsaan
Lomba Yel-Yel Kebangsaan

 

 

 

 

 

 

 

 

      Masjid Dongkelan terletak di Kampung Kauman Dongkelan, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul yang didirikan oleh Kiai Syihabudin I pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Masjid Dongkelan merupakan satu dari lima masjid Pathok Nagoro yang dimiliki Keraton Yogyakarta yaitu Masjid Babadan, Masjid Wonokromo, Masjid Mlangi, dan Masjid Ploso Kuning. Selain berfungsi untuk kepentingan religius, masjid-masjid Pathok Nagoro juga berfungsi sebagai tempat pertahanan rakyat. Berdasarkan arti kata Pathok Nagoro, masjid-masjid tersebut juga berfungsi sebagai tanda kekuasaan raja.

Memulai perjalanan
Menyusuri jalan

 

 

 

 

   Panggung Krapyak merupakan bangunan warisan budaya peninggalan Kasultanan Yogyakarta yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Secara administratif bangunan ini berada di Desa Krapyak, Kalurahan Panggungharjo, Sewon, Bantul. Panggung Krapyak dahulu merupakan salah satu fasilitas bagi keluarga raja apabila berkunjung ke tempat berburu binatang, karena pada saat itu di sekitarnya merupakan kawasan hutan yang lebat.

Tiba di Panggung Krapyak
Swafoto di depan Panggung Krapyak

 

 

 

 

Istirahat di Plengkung Gading

     Plengkung Gading adalah satu dari lima gapura pintu utama Keraton Yogyakarta yang dahulu berfungsi sebagai akses untuk masuk dan keluar keraton. Kini plengkung ini berada di Patehan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta. Plengkung Gading atau disebut Plengkung Nirbaya merupakan gapura pintu yang berkedudukan di sisi selatan. Empat gapura lainnya yaitu Plengkung Tarunasura di sisi utara, Plengkung Madyasura di sisi timur, Plengkung Jagabaya di sisi barat daya, dan Plengkung Jagasura di sisi barat. Plengkung Gading merupakan satu-satunya akses yang digunakan sebagai pintu keluar bagi raja yang wafat untuk kemudian disemayamkan di Makam Raja-raja di Imogiri. Oleh karena itu, konon selama Sultan Kasultanan Yogyakarta  masih hidup, tidak diperkenankan melewati Plengkung Gading.

Berfoto di Plengkung Gading
Singgah di Pojok Beteng

 

 

 

Dalem Wiranegaran

 

 

 

 

 

   Rasa lelah yang dirasakan para peserta selama menyusuri rute perjalanan akhirnya dilepaskan saat tiba di nDalem Wiranegaran. Di pendapa tempat kediaman Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi, putri sulung Sultan Hamengku Buwana X itu para peserta berisitirahat dan menyantap makan siang. Pada mulanya nDalem Wiranegaran adalah kediaman BPH Suryomataram, yaitu putra ke-55 Sri Sultan Hamengku Buwono VII dari Ibu Retno Mandoyo. Selanjutnya nDalem ini ditempati oleh BRAy. Condrodiningrat, yaitu putri ke- 15 Sultan Hamengku Buwono VIII dari ibu GBRAy. Srengkarahadiningdiah. Sekarang nDalem ini ditempati oleh GKRMangkubumi, putri pertama Sultan Hamengku Buwono X, yang menikah dengan KPH Wironegoro, sehingga nDalem ini disebut nDalem Wiranegaran.

Belajar Cagar Budaya bersama Arkeolog dari BPCB DIY, Yoses Tanzaq

     Sebelum rasa kantuk hinggap di setiap pasang mata peserta yang merasa kenyang dan capai, peserta diajak berdialog dalam acara sarasehan budaya yang menghadirkan dua narasumber yaitu putri keempat Sultan Hamengku Buwana X, Gusti Kanjeng Ratu Hayu dan Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Yoses Tanzaq. Gusti Kanjeng Ratu Hayu berbagi kiat-kiat membuat konten kreatif kepada peserta. Ia menyampaikan strategi bagaimana  mempublikasikan anera ragam kebudayaan yang ada di Yogyakarta melalui media sosial. Sedangkan Yoses Tanzaq menjelaskan aspek historis dan arkeologis bangunan-bangunan warisan budaya yang disinggahi peserta di sepanjang rute perjalanan.

Belajar mengelola medsos bersama GKR Hayu
Berfoto bareng setelah belajar bersama

 

 

 

 

 

     Rute Jelajah Budaya berakhir di nDalem Jayadipuran. nDalem Jayadipuran semula bernama nDalem Dipawinata yang dibangun tahun 1874 oleh Raden Tumenggung Dipawinata, seorang abdi dalem Bupati Anom di Keraton Yogyakarta. Pada 1917 tanah dan nDalem Dipawinata dihadiahkan kepada KRT Jayadipuran, seorang seniman dan arsitek Keraton Yogyakarta. Bangunan tersebut diperbaiki dan diubah bentuknya, dan akhirnya dikenal dengan nama “nDalem Jayadipuran”.

      Di bangunan yang sekarang digunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta tersebut dipilih menjadi tempat untuk melaksanakan upacara penutupan Jelajah Budaya, sekaligus penyerahan trofi kepada kelompok yang berhasil menjuarai giat prestasi. Di sana hampir setiap wajah para peserta tak mengekspresikan rasa lelah, namun berlomba-lomba menyunggingkan senyuman. Kelompok yang menang maupun kalah, semua melebur dalam kebersamaan sebagai generasi muda yang mencintai warisan budaya bangsa.

Menanti pengumuman lomba
Para juara kegiatan Jelajah Budaya

 

 

 

 

      Meskipun telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi, namun jati diri warisan budaya tersebut masih dapat dikenali malalui jejak yang ditinggalkannya, berupa bagian-bagian komponen bangunan aslinya yang masih tampak hingga sekarang. Di dalam jejak itulah terkandung nilai-nilai penting: sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan hasil karya budaya leluhur yang berguna bagi generasi muda untuk menjadi pedoman dalam menggapai masa depan. (fry)