Istana Kadriyah Pontianak

0
7231

Signifikansi Sejarah-Memori Kolektif-Identitas

Oleh: Ivan Efendi

PBA_1216-Istana KadriahPontianak adalah kota multikultur yang memiliki bentangan sungai terpanjang di Indonesia yang bernama Kapuas. Kemultikulturan Pontianak itu terlihat dari banyaknya suku, baik pendatang maupun asli, yang berbaur harmonis dan memberi warna indah kota ini. Ada dua peninggalan bersejarah di kota ini yang memiliki latar beda, yaitu Istana Kadriyah beserta Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman, dan Tugu Khatulistiwa.

Istana Kadriah berada di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Letaknya tidak jauh dari pusat Kota Pontianak, dan dapat dijangkau melalui jalur sungai dan darat. Istana Kadriah di sebelah kiri jalan dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman di sebelah kanan. Di sekitar kawasan peninggalan Kesultanan Pontianak ini adalah pemukiman yang cukup padat. Dengan rumah-rumah panggung yang tersebar di dataran banjir Sungai Kapuas.

Sekitar 25 menit dari Istana Kadriah menuju Mempawah terdapat tugu bersejarah yang dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda untuk menunjukkan letak nol derajat garis khatulistiwa. Sekarang tugu ini bernama “Tugu Khatulistiwa” yang menjadi ciri khas Kota Pontianak. Letaknya berada di sisi jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara. Setiap 21–23 Maret dan 21–23 September diperingati hari kulminasi matahari di tempat ini. Kulminasi adalah saat matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa sehingga bayangan benda di tempat ini hilang.

Kedua jenis peninggalan ini, meskipun berbeda latar, memiliki nilai penting yang sama. Tidak hanya bagi Pontianak, tetapi juga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keduanya menjadi identitas dan dapat menumbuhkan memori kolektif[1] dengan mewujudkannya menjadi museum situs dengan manajemen museum yang baik dan berorientasi kepada masyarakat.

[1]     Menurut Chen (2007:178–179) memori kolektif itu dapat dirangsang melalui bangunan bersejarah. Chen menguatkan pernyataannya dengan mengutip Halbwachs (1980:140) yang mengatakan bahwa memori kolektif selalu berasosiasi dengan suatu tempat atau lokasi.

Signifikansi Sejarah-Memori Kolektif-Identitas

Signifikasi sejarah dan identitas yang terkandung dalam dua peninggalan arkeologis, yang tidak hanya berlatar beda tetapi juga fungsi yang berbeda, akan menjadi bahasan menarik. Istana Kadriah memiliki sejarah yang sangat kental dengan tradisi, budaya, keislaman, bahkan nasionalisme; sedangkan Tugu Khatulistiwa memiliki sejarah yang kental dengan kolonialisme dan kesakithatian masa lalu. Sangat bertolak belakang. Akan tetapi keduanya berkolaborasi, bahu-membahu menumbuhkan memori kolektif dan identitas Pontianak, bahkan Indonesia.

Menurut Watson (2007:1631–65) identitas komunitas muncul dengan melihat, mengingat, dan mengalaminya melalui sangat penting, karena warisan budaya tidak selalu sampai pada suatu komunitas dalam bentuk materi budaya atau objek, tetapi melalui kehidupan sehari-hari yang di dalamnya teredapat interaksi dan ekspresi.

Akan tetapi, dalam tulisan ini hanya akan dibahas mengenai Istana Kadriah dan sedikit menyinggung Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Sementara Tugu Khatulistiwa akan dibahas pada essai lainnya dengan topik yang berbeda. Kalaupun dimasukkan dalam essai ini, maka jumlah kata dan halaman tentu akan menjadi banyak dan tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan.

Signifikasi Sejarah Istana Kadriah

Kesignifikansian sejarah tidak bisa kaji, jika tidak diketahui fakta sejarahnya, yang terfokus pada dua bagian. Bagian pertama mengenai awal berdirinya Kesultanan Pontianak, dan bagian kedua tentang masa berakhirnya Kesultanan Pontianak saat menyatakan bergabung dengan NKRI.

Signifikansi sejarah ini akan menjadi “bahan” untuk memupuk identitas, tidak hanya bagi Pontianak tetapi bagi NKRI. Istana Kadriah sebagai saksi sejarah menjadi memori kolektif masyarakat Kota Pontianak. Bahkan di akhir cerita sejarah tersebut jelas dapat dibaca tentang signifikansi ‘Pontianak’ tidak hanya bagi ‘Pontianak’, tetapi bagi ‘Indonesia’.

Jadi jelas bahwa bangunan bersejarah dapat mengingatkan masyarakat terhadap kejadian masa lalu yang seoah-olah bagian darinya. Masyarakat menyadari bahwa bangunan bersejarah itu adalah bukti dari rentetan cerita yang akan membentuk identitas Kepontianakan. Bahkan jika kita perhatikan bagian akhir dari cerita sejarah Pontianak, tidak menutup kemungkinan akan membentuk identitas keindonesiaan.

Signifikasi Arsitektur Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman

Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman yang berarsitektur tradisional memiliki nilai penting yang dapat membangkitkan memori kolektif. Menurut Chen (2007:178-179) memori kolektif itu dapat dirangsang melalui bangunan bersejarah. Sementara Halbwachs (1980:140) mengatakan bahwa memori kolektif selalu berasosiasi dengan suatu tempat atau lokasi. Jadi Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman sebagai bangunan bersejarah in situ yang berarsitektur tradisional berciri khas Melayu dapat menjadi stimulan memori kolektif.

PBA_1248-Masjid Jami Sultan AbdurrahmanMasjid Jami’ Sultan Abdurrahman yang merupakan masjid Kesulatanan terletak sekitar 200 meter di sebelah barat Istana Kadriah. Hampir 90 persen konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian. Di dalam Masjid Abdurrahman terdapat enam pilar kayu belian berdiameter setengah meter. Dua pelukan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai lingkaran pilar. Selain pilar bundar, ada enam tiang bujur sangkar penyangga yang menjulang ke langit-langit masjid.

Masjid itu memiliki mimbar tempat khutbah yang unik, mirip geladak kapal. Pada sisi kanan dan kiri mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon. Atapnya yang bertingkat empat menggunakan sirap, yang dibuat dari kayu belian (awalnya menggunakan rumbia). Pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran kecil. Di bagian atap paling atas mirip kuncup bunga atau stupa. Jendelanya berukuran besar berderet sejajar pintu Tinggi lantai masjid dengan tanah sekitar 50 centimeter.

Makna Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurraman tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi mencerminkan tradisi atau budaya Melayu Pontianak. Kedua bangunan yang berarsitektur tradisional, atau bisa juga dikatakan sebagai vernacular, memiliki makna filosofis yang tinggi. Sehingga dapat menjadi ikon budaya sekaligus identitas Kepontianakan. Keotentikannya pun tidak dapat diragukan lagi, selain in situ, kedua bangunan ini adalah living monument.

Signifikasi Koleksi Istana Kadriah

Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman memiliki koleksi, meskipun kedua bangunan ini bukanlah museum. Melainkah bangunan bersejarah. Akan tetapi, dalam praktis (dalam konteks wisata sejarah) kedua bangunan itu bertindak sebagai museum. Bahkan menurut pengamantan penulis, Istana Kadariah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman dapat dikatakan hampir memenuhi kriteria museologi baru. Tentu saja hal ini dilihat dari segi koleksi dan penataannya saja. Tidak banyak tulisan yang mendeskripsikan koleksi.seolah membiarkan pengunjung untuk member makna sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Koleksi-koleksi disusun berdasarkan konteksnya, baik dengan koleksi lalin, maupun dengan tempat atau ruang atau tempat. Berikut ini adalah uraian mengenai koleksi yang berada di Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman.

Istana Kadriyah memiliki koleksi antara lain foto-foto Sultan Pontianak, lambang kesultanan, lampu hias, kipas angin, keris, meja giok, serta singgasana sultan dan permaisuri. Di belakang ruang istana terdapat satu ruangan yang cukup besar. Di ruangan ini terdapat benda-benda warisan Kesultanan Pontianak, seperti senjata, pakaian sultan dan permaisurinya, foto-foto keluarga sultan, dan arca-arca. Di sisi kanan, tengah, dan kiri depan istana, ada 13 meriam kuno buatan Portugis dan Perancis.

Di dalam istana juga terdapat cermin pecah seribu yang dikatakan ajaib karena bisa melihat 1000 wajah kita. Selain itu ada Lancang Kuning[2] milik Kesultanan Istana Kadriyah. Dilengkapi dengan foto Sultan Muhammad AlKadrie mengenakan pakaian kesultanan warna putih. Terdapat juga kursi di istana ini yang sangat tegap, kukuh dan kuat hingga kini. Ada pula hierarki raja-raja yang bertakhta pada zaman kejayaan kesultanan Kutaringin. Yang paling menarik lainnya yaitu Al-Quran bertuliskan tangan baginda Sultan Syarif Abdurrahman al-Kadrie yang disiapkan sempurna hingga 30 juz. Dan ada pula harta-harta yang dipamerkan oleh Istana Kadriyah ini.

Dari kutipan tersebut dapat “ditangkap” makna yang ada di baliknya. Di antaranya ada meja giok yang langsung mengajak kita “terbang” ke Asia Timur, atau bahkan langsung muncul di benak kita kata ‘China’. Juga dengan kalimat “13 meriam kuno buatan Portugis dan Perancis”, yang tentu tidak perlu dijelaskan panjang lebar lagi. Lancing Kuning pun seolah tidak kalah. Keberadaannya menggambarkan bagaimana penguasaan transportasi air telah dimiliki oleh Kesultanan Pontianak.

[2]     Lancang kuning adalah alat transportasi laut tradisional Kesultanan Pontianak.

Kesimpulan

Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman seolah dapat membuat kita terbang ke masa lalu. Sejarahya yang memukau dan keindahan arsitektur yang menyiratkan hubungan harmonis antara manusia dan alam melekat secara intangible. Murphy (2005:71) mengatakan bahwa Museums as machines of time and memory. Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman layaknya museum yang dapat mengajak pengunjungnya melintasi waktu dan beragam memori yang bersemayam di dalamnya. Julian (2010: 28–29) mengatakan bahwa memori sejarah memberikan kontribusi pada struktur dari suatu situs sebagai parameter dasar untuk perencanaan spasial. Memori sejarah itu akan memperkaya suatu tempat, baik berupa cagar budaya yang kompleks maupun tidak.

Chen (2007:182) mengemukakan bahwa ternyata memori kolektif itu dapat tumbuh tidak hanya dari bangunan bersejarah, tetapi dari objek museum. Jadi ada keterikatan antara masa lalu dan masa kini dalam pikiran pengunjung. Pengunjung dengan aktif membandingkan masa lalu dengan masa kini. Pengunjung juga dapat memilah-milah mana yang positif dan baik baginya. Pengunjung menjadikannya koleksi museum sebagai “bahan” untuk bernostalgia. Isatana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman sudah melakukan itu, meski tampak tak sengaja. Kedua bangunan itu seolah membiarkan kita untuk menikmati koleksi-koleksinya sebagai bagian dari kehidupan kita.

Istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman sudah memiliki potensi luar biasa untuk dapat diwujudkan sebagai museum dengan konteks museologi baru. Namun tentu harus lebih ditingkatkan lagi dengan manajemen yang baik. Pengelola (dalam hal ini pemilik) harus berinisiatif dan lebih aktif mendekati komunitas. Komunitas yang dimaksud tidak hanya masyarakat di sekitarnya atau di Kota Pontianak, tetapi lebih luas lagi. Karena selama ini publikasi kedua bangunan ini hanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan para blogger yang aktif berbagi pengalaman di dunai maya. Agar museum menjadi bagian komunitas, dan sebaliknya, komunitas melakukan pemaknaan terhadap museum untuk membentuk identitasnya. Born (2006:7) mengatakan bahwa museum adalah lembaga yang sangat penting yang berperan menjadi “penjaga” komunitas sejarah, nilai-nilai, inovasi, bahkan ide-ide provokatif. Museum juga dapat menjadi partner dari suatu komunitas yang sebelumnya selalu menilai negatif pada museum. Museum dan komunitas harus melakukan dialog, karena keduanya memiliki sumber daya yang dapat mengubah, tidak hanya tatanan sosial di antaranya, tetapi lebih luas dari itu.

Cara ini dilakukan tidak hanya untuk komunitasnya pada saat ini, tetapi juga untuk generasi sesudahnya pada masa datang. Sungguh bijaksana. Ini seperti yang dikatakan oleh Marschall (2005: 103 dalam Bakker, dkk: 2010) yang menjelaskan bahwa representasi warisan tak benda adalah bagian dari bentuk identitas komunitas. Jadi komunitas membentuk identitasnya tidak hanya tergantung pada objek atau materi yang berwujud benda, tetapi juga yang tak benda.

Referensi:

Bakker, Karel Anthonie and Műller, Liana. (2010) “Intangible Heritage and Community Identity in Post-Apartheid South Africa”, dalam Museum International, Vol. 62, Issue 1–2, Mei 2010

Born, Paul. (2006), Community Collaboration: A New Conversation, dalam Journal of Museum Education, Vol. 31, No. 1,Spring 2006, hlm. 7–14.

Chen, Chia-Li (2007) “Museums and the Shaping of Cultural Identities. Visitors Recollectionns in Local Museums in Taiwan” dalam Simon J. Knell, et al. (eds.) Museum Revolutionn. London & New York. Hlm. 173–188

Halbwachs, M. (1980) The Collective Memor, trans. F.J. Ditter, Jr. dan V. Yazdi Ditter, New York: Harper Colophon Books.

Julien, Olsen Jean (2010) “Port-au-Prince: Historical Memory as a Fundamental Parameter in Town Planning”, dalam Museum International, No. 248, Vol. 62, No. 4, 2010, Oxford (UK), Malden (USA):  Blackwell Publishing.

Murphy, Bernice (2005) Memfory, History and Museums”, dalam Museum International, No. 227, Vol. 57, No. 3, 2005, Oxford (UK), Malden (USA):  Blackwell Publishing

Marschall, S.. (2005). “Making money with memories: The fusion of heritage, tourism and identity formation in South Africa”, dalam Historia, Vol. 50, No.1, hlm.103–122.

Watson, Sheila (2007) “History Museum, Community Identitas and a Sense of Place”, dalam Simon Knell (ed.) dalam Museum Revolution. London:Routledge, Hlm.160–172.