Oleh: Dian Trihayati
Westzijdsche Pakhuizen
Sebelum dijadikan sebagai Museum Bahari, bangunan ini dahulu merupakan gudang yang dikenal dengan nama Westzijdsche Pakhuizen yang berarti ‘Gudang-gudang bagian barat sungai’. Bangunan ini awalnya dibangun oleh seorang arsitek yang bernama Jacques de Bollan pada 1652. Oleh VOC, bangunan ini digunakan sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah serta komoditi lain seperti kopi, teh dan kain dalam jumlah yang sangat besar. VOC juga memanfaatkan bangunan ini sebagai tempat menyimpan persediaan tembaga dan timah. Adolf Heuken dalam bukunya Historical Sites of Jakarta menuliskan bahwa logam-logam berharga ini diamankan dari hujan pada serambi gantung pada lantai kedua gudang yang menghadap ke pelabuhan (Heuken, 1997: 36-37).
Museum Bahari diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Letjen (Marinir) Ali Sadikin pada 7 Juli 1977. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 134 Tahun 2002 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Museum Bahari merupakan salah satu UPT di lingkungan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang bertugas melayani masyarakat dan pengunjung serta mengadakan, menyimpan, merawat, mengamankan, meneliti koleksi, memperagakan dan mengembangkan untuk kepentingan pendidikan, sejarah kebudayaan, rekreasi, sosial, ekonomi baik langsung maupun tidak langsung.
Sejarah
Secara historis, Museum Bahari merupakan salah satu bagian dari perjalanan sejarah kebaharian bangsa Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta[1]. Museum Bahari terletak di kawasan pelabuhan Sunda Kalapa, yang merupakan pelabuhan terpenting pada masanya. Dari berita Portugis, antara lain de Barros, wilayah Jakarta pada masa berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) disebutkan memiliki lima pelabuhan dan salah satunya adalah Sunda Kalapa. Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang sangat megah dan paling baik di antara pelabuhan lainnya, sehingga pedagang-pedagang berdatangan dari Sumatera, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa, Madura dan tempat-tempat lainnya (Haris, 2007:30-32).
Falatehan
Pada saat Sunda Kalapa jatuh ke tangan penguasa muslim, yakni Fadillah Khan atau Falatehan dan nama Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta, kegiatan ekonomi perdagangan di wilayah pesisir utara Pulau Jawa banyak dipengaruhi oleh Demak yang pada waktu itu menjadi pusat kerajaan Islam yang besar di Pulau Jawa. Meskipun Jayakarta merupakan vasal (daerah dibawah perlindungan/kekuasaan) Banten, namun pengaturan pemerintahan sehari-hari oleh bupati-nya yaitu Tubagus Angke lebih bersifat otonom. Sehingga sebagaimana pemerintahan pusatnya yakni Banten, Jayakarta mempunyai struktur birokrasi yang hampir sama yakni mempunyai pejabat-pejabat bawahan di antaranya patih dan syahbandar.
Jayakarta Wijayakrama
Setelah meninggalnya Tubagus Angke dan dan kepemimpinan di wilayah Jayakarta digantikan oleh puteranya yang menurut naskah Purwaka Caruban Nagari bernama Pangeran Jayawikarta atau Pangeran Widiakrama atau disebut juga Jayakarta Wijayakrama, pedagang-pedagang asing seperti Belanda dan Inggris diijinkan berdagang dan mendirikan faktori (loji) atau gudang sebagai pusat perdagangan mereka. Akibat dari adanya hubungan dagang dengan bangsa asing lambat laun Jakarta lebih maju dan sering disinggahi kapal-kapal dari berbagai negeri.
Usaha Pangeran Jayakarta Wijayakrama menjalin hubungan dengan orang-orang Belanda dan bangsa asing lainnya menimbulkan akibat yang kurang baik dalam hubungannya dengan Banten. Sehingga pada saat wilayah Jayakarta diserang oleh VOC di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen pada 28 April 30 Mei 1619 Kesultanan Banten tidak mau membantu dan bahkan menarik mundur Pangeran Jayakarta dari kekuasaannya. Tidak adanya perlawanan yang berarti dari pasukan Jayakarta terhadap VOC menyebabkan Coen dengan mudah merebut Bandar Jakarta. Penguasaan Bandar Jakarta oleh VOC juga berarti perpindahan peranan ekonomi perdagangan dari penguasa pribumi ke tangan penguasa kolonial, yakni bangsa Belanda (Haris, 2007:34–38)
Kebaharian
Berdasarkan uraian sejarahnya, sejak masa lalu wilayah Jakarta memang terkait erat dengan aktivitas kebaharian. Sebagai kota pelabuhan yang strategis menyebabkan wilayah Jakarta dijadikan pusat pemerintahan sejak masa VOC di Nusantara. Sehingga Jakarta berkembang pesat menjadi kota yang sangat dinamis. Aktivitas perdagangan tiada henti dengan keberagaman suku bangsa, termasuk suku bangsa asing. Keberadaan bangunan Museum Bahari yang dahulu adalah gudang tempat menyimpan rempah-rempah sebagai barang komoditi perdagangan serta keberadaan bangunan-bangunan bersejarah lainnya, seperti Menara Syahbandar, Pelabuhan Sunda Kalapa, Galangan Kapal VOC dan Pasar Ikan yang berada di wilayah sekitar Museum Bahari merupakan bukti-bukti adanya aktivitas kebaharian di Jakarta pada masa lalu.
Dilihat dari konteks sejarah, bangunan dan lingkungannya, Museum Bahari Jakarta sangat tepat untuk mengusung tema kebaharian. Sebab, sebagai negara bahari tentunya bangsa Indonesia memiliki identitas kebaharian yang berasal dari unsur-unsur budaya baik yang bersifat tangible maupun intangible. Bangunan cagar budaya yang bersifat tangible merupakan simbol yang berhubungan dengan masa lalu. Simbol tersebut memiliki peranan penting dalam melestarikan masa lalu (Chen, 2007:178–179).
Museum
Bangunan merupakan bukti sekaligus dokumentasi yang menceritakan siapa kita pada masa lalu dan sekarang. Sementara museum merupakan tempat yang mendokumentasikan, melestarikan sekaligus mengomunikasikan berbagai tinggalan masa lalu yang menceritakan perubahan kita sepanjang waktu. Oleh karena itu, museum yang menggunakan bangunan bersejarah sebagai tempat penyelenggaraan kegiatannya dan juga landskap di sekitarnya tidak dapat dipisahkan (Museum and Galleries Fondation of NSW, 2004:5). Untuk itu, museum harus mampu menyampaikan pesan-pesan sosial, budaya maupun sejarah melalui pemaknaan objek koleksi museum yang dibentuk melalui pemahaman kontekstual.
Dalam penyelenggaraan pamerannya, Museum Bahari memiliki 10 ruang pameran yang digunakan untuk memamerkan koleksinya. Kesepuluh ruangan tersebut dinamakan sebagai berikut: 1). Ruang Sejarah dan Bahari, 2). Ruang Pelayaran dan Pelabuhan, 3) Ruang Foto-foto, 4). Ruang Teknologi Perkapalan, 5). Ruang Model Perahu Nusantara, 6). Ruang kapal dan Perahu, 7). Ruang Teknologi Menangkap Ikan dan Biota Laut, 8). Ruang Perahu Tradisional, 9). Ruang Navigasi dan 10) Ruang Kolonial VOC[2]. Total koleksi yang dimiliki museum sebanyak 573 koleksi dan tidak semua koleksi tersebut dipamerkan. Sebagian koleksi yang dipamerkan tidak sesuai jenisnya dengan penamaan ruang pamerannya.
Visi Museum Bahari, “Museum Bahari adalah institusi yang berperan sebagai pusat dokumentasi, informasi serta pelestarian budaya bahari Nusantara dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat akan eksistensi Indonesia sebagai Negara Bahari”[3].
Baca juga: Pengembangan Model Edukasi Museum Bahari
Catatan kaki:
[1] Selama sejarahnya Jakarta dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Daerah ini dahulu merupakan Bandar Sunda Kalapa yang sibuk sejak abad ke-14 dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Setelah pasukan Demak menyerang dan merebut Sunda Kalapa (1527) dari arah Banten dan Cirebon, tempat itu berganti nama menjadi Jayakarta yang artinya ‘kemenangan sempurna’. Tetapi pada satu abad kemudia Jayakarta dihancurkan oleh serbuan tentara Belanda pimpinan Jan Pieterszoon Coen dan wilayah ini dinamakan Batavia. Nama Batavia dikenal cukup lama, yakni hampir tiga setengah abad. Baru pada masa pendudukan Jepang (1942) nama Ja(ya)karta dihidupkan kembali (Heuken, 1997:16).
[2] Berdasarkan informasi pada Brosur Museum Bahari.
[3] Visi Museum Bahari dalam Laporan Data Koleksi Museum Bahari 2013.
Daftar Pustaka
Chen, Chia Li. 2007. “Museum and The Shaping of Cultural Identities”. Museum Revolution. Ed. Simon J. Knell, Suzanne MacLeod dan Sheila Watson. New York: Routledge. Hlm. 173–188.
Haris, Tawalinuddin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (Abad XVI-XVIII). Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Heuken SJ, Adolf. 1997. “Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta”, saduran dan revisi Historical Sites of Jakarta, 1995. Jakarta: Cipta Loka Caraka.