Wanua dan Thani

0
5031

Jika kasus Jawa dijadikan contoh, sekurang-kurangnya ada dua tingkatan yang dikenal dalam sistem pemerintahan masa Hindu-Buddha di Indonesia. Tingkatan paling bawah dan mungkin sekali merupakan bentuk aslinya adalah pemerintahan wanua, yaitu sistem pemerintahan semacam desa sekarang. Dalam prasasti-prasasti abad ke-8 hingga abad ke-10, khususnya di wilayah Jawa Tengah sistem pemerintahan wanua diselenggarakan oleh semacam dewan yang terdiri atas para rama. Dasar keanggotaan mereka tidak jelas benar, tetapi kemungkinan didasarkan atas status sosial, misalnya keturunan penduduk asli. Kemungkinan lainnya adalah pemilikan atas tanah, atau atas dasar status mereka sebagai kepala keluarga sebagaimana masih berlaku di desa-desa Bali Aga sekarang.[1]

Jumlah anggota dewan ini berbeda-beda dari satu wanua dengan wanua lain, tetapi dapat mencapai sekitar seratus. Dari istilah-istilah yang dipakai untuk menyebutkan kelompok ini dapat ditafsirkan bahwa di antara mereka ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lain, misalnya sebagaimana tercermin dalam sebutan-sebutan gusti dan tuha wanua. Selebihnya digunakan istilah-istilah yang menunjukkan kedudukannya dalam sistem pemerintahan desa, misalnya hulu wras (pengawas urusan beras), hulu wuattan (pengawas jembatan), winekas (juru penerangan), huluair (pengawas irigasi), dll. Meskipun anggota karaman cukup banyak, namun demikian tidak pernah disebutkan adanya satu pimpinan desa pun yang muncul di antara mereka. Di samping mereka, terdapat sejumlah pejabat yang mewakili pemerintah pusat yang tinggal di desa. Di antara mereka yang paling sering disebut adalah para patih dan whluta.

Istilah wanua itu sendiri tampaknya merupakan istilah yang umum digunakan di wilayah Austronesia, sehingga tidak hanya dikenal di Jawa, tetapi juga di tempat-tempat lain di kawasan Indonesia. Sebutan tentang wanua ini juga dikenal dalam prasasti masa Sriwijaya dari abad ke-7. Demikian juga sampai sekarang istilah wanua untuk menyebut desa digunakan di Sulawesi Utara. Namun demikian, gambaran mengenai struktur pemerintahan wanua di daerah kewenangan Sriwijaya itu belum dapat digali dari sumber prasasti yang sangat sedikit dijumpai di wilayah bersangkutan. Di Jawa Tengah penggunaan istilah wanua sebagai satuan administrasi terendah dalam sistem pemerintahan kerajaan mengalami perubahan pada masa-masa kemudian.

Memasuki abad ke-11 ketika pusat pemerintahan berada di Jawa Timur, istilah thani lah yang digunakan. Dewan para rama tidak lagi disebut dengan istilah karaman, tetapi dapur. Penduduk desa yang semula disebut dengan anak wanua, di ‘masa Jawa Timur’ menjadi anak thani. Tentu saja masih dapat dipersoalkan apakah istilah thani merupakan istilah baru untuk menggantikan istilah wanua, ataukah memang istilah ini memang khas untuk menyebutkan satuan administrasi terendah yang sejak semula digunakan di wilayah Jawa Timur. Ada petunjuk bahwa pada masa tersebut sistem pemerintahan thani mengalami perubahan dengan mulai dikenal adanya tokoh pimpinan yang muncul di antara anggota dewan para rama. Jadi semacam kepala desa sekarang, yang menjalankan fungsi sebagai wakil atau ujung tombak bagi pemerintahan pusat. Tokoh ini baru jelas muncul pada masa Majapahit yang dikenal dengan sebutan buyut. Penyebutan istilah desa yang juga baru dikenal pada masa Jawa Timur jelas diambil dari istilah Sansekerta.

[1] (Christie 1983:14, 37; Casparis 1986:8)

 

Prasasti-prasasti awal masa Hindu-Buddha mengisyaratkan bahwa masa prasejarah yang langsung mendahului masa Hindu-Buddha itu, setidaknya di Jawa, telah mengenal sistem administrasi kemasyarakatan dua tingkat, yaitu yang pertama setingkat desa atau dusun, dan di atas itu semacam federasi antardesa. Struktur dasar semacam itu nampak pula merupakan warisan purba pada suku-suku bangsa lain di Indonesia, seperti terlihat dalam susunan wanua-walak di Minahasa, jorong-negari di Minangkabau, korong-huta pada orang Batak, dan lain-lain, seperti halnya wanua-watak di Jawa Tengah kuno atau thāni-wisaya di Jawa Timur kuno.

(Sumber: Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II)