Tugu untuk Kebangkitan Nasional
Usaha untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional telah muncul sebelum kemerdekaan Indonesia. Pada 1933, untuk memperingati 25 tahun berdirinya Boedi Oetomo, Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) berinisiatif untuk mendirikan tugu. Seperti yang dijelaskan oleh Bambang Eryudhawan dalam 100 Tahun Kebangkitan Nasional Jejak Boedi Oetomo: Peristiwa, Tokoh, dan Tempat (2008). Berdasarkan prakarsa tersebut, dibentuklah panitia yang terdiri atas tujuh orang yang dipimpin oleh Mr. Singgih.
Rencana pembangunan tugu tersebut direalisasikan dengan perancangan tugu. Sayembara diadakan untuk mencari rancangan bangunan yang dapat menggambarkan semangat pergerakan kebangsaan Indonesia. Ada tiga orang yang mengikuti sayembara ini. Pada akhirnya, rancangan yang dibuat oleh Ir. Soetedjo dipilih oleh panitia. Karyanya dianggap memenuhi harapan mengungkapkan cita-cita kebangsaan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum.
Rancangan yang dibuat oleh Ir. Soetedjo adalah tugu berbentuk lilin yang akan dibangun di tanah lapang. Bentuk tugu menggambarkan kekuatan, dan lilin mempunyai arti sebagai penerang jalan. Izin pembangunan kemudian diberikan oleh penguasa Kasunanan, Sri Susuhunan Pakubuwono X pada akhir November 1933. Peletakan batu pertama dilakukan pada awal Desember 1933 dan pembangunannya diserahkan kepada R.M. Sosrosaputro. Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda menolak pembangunan tugu tersebut. Residen Surakarta sempat menghambat pembangunan tugu ini. Bahkan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu Bonifacius Cornelis de Jonge mengundang Sri Susuhunan Pakubuwono X untuk membahas masalah ini (Suara Merdeka, 28 Mei 2003).
Pembangunan Tugu
Tugu ini selesai dibangun pada Oktober 1934 dan diberi nama Toegoe Peringatan Pergerakan Kebangsaan 1908–1933. Akan tetapi, masalah kembali muncul. Nama tersebut ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda dan mengancam akan membongkar tugu tersebut. Sri Susuhunan Pakubuwono X sampai ikut turun tangan agar Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan izin. Akan tetapi, usahanya menemui jalan buntu. Pada April 1935 pemerintah kembali mengancam akan membongkar tugu ini jika usulan nama tugu yang diajukan pemerintah, yaitu Toegoe Peringatan Kemadjoean Ra’jat 1908–1933 tidak diterima. Pada akhirnya, usulan pemerintah ini terpaksa diterima seperti yang dijelaskan oleh Bambang Eryudhawan (2008) dalam bukunya.
Tugu lilin mempunyai nama resmi Tugu Kebangkitan Nasional. Namun, nama Tugu Lilin lebih dikenal karena bentuknya yang seperti lilin. Terletak di Penumping, Laweyan, Surakarta, di atas lahan seluas 140 m2 dengan tinggi 9 m. Tugu ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui keputusan Walikota Surakarta Nomor 646/116/I/1997. Pada 2017, Tim Ahli Cagar Budaya Nasional merekomendasikan tugu ini untuk menjadi Cagar Budaya peringkat nasional, karena merupakan bukti semangat kebangkitan nasional dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia kemudian memutuskan Tugu Lilin sebagai Cagar Budaya peringkat nasional melalui Surat Keputusan Nomor 369/M/2017. (Omar Mohtar-Sub Direktorat Registrasi Nasional)
Baca juga: Perhatikan Khusus Presiden untuk Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat