Bila menengok catatan sejarah, disebutkan bahwa Majapahit pernah menjadi imperium di Nusantara. Sebagaimana digambarkan dalam kitab Nagarakertagama, meski hanya berdiri sekitar 200 tahun, kekuasaan Majapahit membentang dari wilayah paling barat Pulau Sumatera hingga Maluku di bagian timur.
Tome Pires dalam Suma Oriental pada abad ke-15 pun menulis, “Di masa itu ‘Negeri Jawa’ sangat berkuasa karena kekuatan dan kekayaan yang dimilikinya, juga karena kerajaan ini melakukan pelayaran ke berbagai tempat yang jauh”. Tetapi, catatan-catatan sejarah tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan, apa saja artefak peninggalan Majapahit yang mendukung ia bisa disebut kemaharajaan? Di mana letak istana atau ibukota Majapahit sebagai representasi kebesarannya?
Mungkin banyak yang menjawab, Kawasan Trowulan sebagai ibukota Majapahit. Kawasan Cagar Budaya Trowulan adalah peninggalan terbesar dari Kerajaan Majapahit. Dengan luas sekitar 100 km2, situs yang terletak di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur tersebut memiliki beberapa peninggalan kuno Majapahit seperti Candi Brahu, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, Candi Wringin Lawang, Kolam Segaran, situs-situs terakota seperti Situs Sumur Upas dan situs terakota Pusat Informasi Majapahit, serta ribuan temuan terangkat seperti peralatan rumah tangga hingga keramik.
Sayangnya, segera menyimpulkan bahwa Trowulan merupakan pusat Ibukota atau lokasi utama istana Kerajaan Majapahit bisa menjebak kita pada anakronisme. Pasalnya, Nagarakertagama sebagai rujukan utama dalam penyusunan sketsa Ibukota Majapahit oleh Adipati Kromojoyo dan Henri Maclaine Pont, tidak menyebutkan nama Trowulan.
Dengan banyaknya tinggalan di Kawasan Trowulan, mengindikasikan bahwa area Trowulan merupakan pemukiman yang padat pada masa Majapahit. Tetapi untuk menyimpulkannya sebagai ibukota Majapahit masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Kepastian mengenai di mana kedaton dan Ibukota Majapahit yang masih diliputi misteri tersebut tidak jarang membuat kita bertanya-tanya, mengapa kerajaan yang dianggap terbesar ini tidak meninggalkan prasasti-prasasti dan peninggalan megah nan monumental, seperti halnya kerajaan Mataram Kuno yang mewariskan Borobudur dan Prambanan?
Secercah Harapan Melalui Situs Kumitir
Konsep kekuasaan kerajaan Jawa Kuno sangat kental dipengaruhi oleh konsep “dewaraja” dari India. Raja merupakan wujud ilahiah dewa di dunia. Ia absolut, sebagai hukum yang harus ditaati. Ia sakti, sebagai sosok yang harus disembah. Hal ini kemudian menghasilkan konsekuensi-konsekuensi sosial, salah satunya pemakaian gelar untuk menambah keagungan. Sebagai contoh Raden Wijaya, raja pertama Majapahit yang bergelar Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana. Begitu pula Hayam Wuruk, yang dianggap sebagai raja dalam puncak kebesaran Majapahit bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Jejak pemakaian gelar ini pun masih bisa ditemukan hingga masa-masa kerajaan setelahnya, bahkan sampai ke masa kerajaan Islam.
Meski begitu, pengaruh dari konsep dewaraja bukan saja soal pemakaian gelar. Tetapi juga hingga struktur kota dan pola pemukiman. Daya tarik raja sebagai pusat semesta, menjadi magnet bagi para raja bawahan (vassal), kaum pemuka agama, bangsawan, dan petinggi kerajaan untuk tinggal di sekitar raja. Oleh karena itu, tempat tinggal raja, oleh Prapanca dalam Nagarakertagama disebut pura dikelilingi oleh puri, yaitu tempat tinggal para petinggi yang membentuk sebuah lingkungan istana atau kedaton yang disebut bhumi. Diyakini, semakin dekat dengan bhumi, maka siapa pun bisa semakin dekat dengan nirwana atau swargaloka. Di luar kompleks istana sendiri disebut negara. Bisa disetarakan zaman sekarang sebagai provinsi yang dipimpin oleh bhre. Untuk membedakan antara kosmos bhumi dan negara ini, Nagarakertagama memberikan keterangan, “pura Majapahit dikelilingi tembok batu merah, tebal, dan tinggi”.
Jika mengikuti pemetaan dari konsep dewaraja dan keterangan dari Nagarakertagama ini, Trowolan tidak cukup memenuhi syarat dianggap sebagai pusat istana Majapahit sekaligus ibukota kerajaan. Pasalnya, hingga kini belum ditemukan artefak atau prasasti yang menerangkan adanya benteng atau tembok yang mengelilingi situs. Tidak ada pula ditemukan, setidaknya keterangan tempat tinggal para raja vassal atau bhre juga kerabat kerajaan Majapahit di Trowulan.
Meski begitu, adanya Candi Wringin Lawang yang berbentuk gapura bentar (pintu masuk terbuka tanpa atap) dan Candi Bajangratu, serta Kolam Segaran yang dianggap sebagai sumber pengairan utama kota dan pertanian, cukup kuat mendukung hipotesis bahwa Trowulan merupakan bagian dari Ibukota Kerajaan Majapahit – tapi belum dapat dikatakan sebagai pusatnya.
Dua orang pengrajin bata merah asal Desa Kumitir, awalnya tidak menyangka bahwa dalam penggalian tanah sebagai bahan pembuatan mata merah, mereka menemukan sebuah struktur bata kuno. Didorong oleh kepedulian dan khawatir aktivitas penggaliannya dapat merusak, mereka melaporkan temuan itu ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Selanjutnya Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kemdikbud bersama BPCB Jawa Timur kemudian melakukan ekskavasi tahap pertama pada 2019 yang kemudian dilanjutkan dengan ekskavasi tahap kedua pada tanggal 4 Agustus-9 September 2020. Kegiatan ekskavasi tahun 2020 mencakup lebih dari 300 kotak ekskavasi dengan luasan mencapai 5.412 m2. Hasil ekskavasi ditemukan dinding talud berbentuk persegi panjang, dengan panjang sisi utara dan selatan 316 m, dan sisi timur dan barat 216 m, dengan ketebalan struktur mencapai 140 cm dan ketinggian antara 100-120 cm. Ekskavasi juga menemukan struktur sisa reruntuhan bangunan di sisi tengah situs.
Andi Muhammad Said, arkeolog BPCB Jawa Timur sekaligus penanggungjawab proyek ekskavasi menyimpulkan bahwa situs tersebut merupakan peninggalan kerajaan Majapahit. Hal ini didasarkan pada penemuan talud kuno berbahan dasar bata merah yang persis sama dengan yang digunakan di Situs Trowulan. Berbeda dengan bangunan masa kerajaan-kerajaan sebelumnya seperti Mataram Kuno dan Singasari yang menggunakan batu andesit.
Sementara ekskavasi Situs Kumitir tahap tiga akan dilaksanakan pada tahun 2021, sebagaimana dijelaskan oleh Abi Kusno dari Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kemdikbud. Ekskavasi lanjutan tersebut, selain melibatkan beberapa disiplin ilmu guna membuka tabir Situs Kumitir khususnya dalam hubungan dengan kedaton Majapahit, juga akan menggunakan uji Geofisika yaitu Georadar, Geolistrik, dan Lidar. Uji Geofisika ini guna efisisensi ekskavasi dan melihat keberadaan tinggalan yang masih terpendam di areal seluas 6 hektar tersebut.
Penemuan Situs Kumitir ini terbilang fenomenal bahkan dianggap sebagai penemuan benda purbukala peninggalan Majapahit terbesar pasca kolonial. Namun, arti pentingnya bukan sebatas luasnya yang mencapai 6 hektar. Lebih dari itu, Kumitir bisa menjadi petunjuk baru dalam upaya penelusuran letak keraton dan Ibukota Majapahit.
Wicaksono Adi Nugroho, Ketua Tim Ekskavasi menjelaskan, Situs Kumitir bisa menjadi titik tolak pencarian kotapraja. Wicaksono juga menelusuri naskah-nahkah kuno dan menemukan nama Kumitir di dalam Nagarakertagama dan Pararaton.
Di dalam Nagarakartagama, Kumitir disebut sebagai tempat berdirinya sebuah bangunan suci pendharmaan berlatar agama Hindu dengan arca Siwa yang indah. Ia adalah pendermaan Narasinghamurti yang meninggal setelah tahun 1268 M. Nagarakartagama memberikan keterangan bahwa bangunan suci tersebut dibangun oleh Bhre Wengker yang sekaligus menjadi istananya.
Sementara dalam Pararaton ditemui perbedaan nama Kumitir yang disebutkan sebagai Kumeper, Narasinghamurti atau Mahesa Cempaka meninggal dan didharmakan di Kumeper. Kumeper memiliki kemiripan dengan nama Kumitir seperti yang dijelaskan dalam Nagarakeṛtagama. Oleh sebab itu, besar kemungkinan yang dimaksud dalam Pararaton adalah Kumitir masa sekarang.
Keterangan dari Nagarakertagama sangat menarik dicermati. Sebab, jika betul Kumitir merupakan tempat tinggal Bhre Wengker, hal ini dapat menguatkan dugaan bahwa Kumitir merupakan bagian dari hierarki struktur kekuasaan Majapahit yaitu negara yang ditinggali oleh seorang bhre atau raja vassal.
Namun, tidak tertutup kemungkinan juga Kumitir merupakan bagian dari kompleks istana atau bhumi. Alasannya, Bhre Wengker merupakan suami dari Rajadewimaharajasa adik dari Tribhuwannatunggadewi, penguasa Majapahit yang ketiga. Sebagai bagian dari kerabat dekat kerajaan, tidak mustahil ia bertempat tinggal di lingkungan istana dan memiliki tempat tinggal yang megah.
Dari sini, sah-sah saja jika menafsirkan bahwa Kumitir merupakan bagian dari Kedaton dan Ibukota Majapahit. Pertama, berdasarkan konsepsi hierarkis kakuasaan Majapahit di mana Bhre adalah raja bawahan dan bertempat tinggal di sekitar ibukota. Kedua, berdasarkan relasi kekerabatan, sebagai adik ipar raja, yang tinggal di kompleks istana.
Lalu, di mana tepatnya lokasi kedaton dan Ibukota Majapahit? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus lebih sabar menunggu sampai proses ekskavasi selesai dan penemuan diuji secara akademis oleh berbagai disiplin ilmu. Ekskavasi Situs Kumitir tahap dua sendiri baru menyelesaikan 30% dari total area situs.
Oleh:
Budi Harjo Sayoga, Staf Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, Kemdikbud