Separatis saat Demokrasi Parlementer

0
3279

Kaleidoskop Presiden Republik Indonesia-Museum Kepresidenan “Balai Kirti”

Pada 1950, para politisi di Jakarta membentuk sistem parlementer yang dianggap paling cocok, yaitu demokrasi multi partai. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) yang jumlah anggotanya 232 orang guna mencerminkan apa yang dianggap sebagai kekuatan-kekuatan politik partai. Masyumi mendapat 49 kursi (21%), PNI 36 kursi (16%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), Partai Katholik 9 kursi (3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%), dan Murba 4 kursi (1,7%), sedangkan lebih dari 42 persen kursi dibagi di antara partai-partai atau perorangan-perorangan lainnya, yang tak satupun dari mereka ini mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan. Sukarno selaku presiden tidak memiliki kekuasaan riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.

Kabinet pertama (September 1950‒Maret 1951) yang dibentuk dipimpin Perdana Menteri Muhamad Natsir (pemerintahan koalasi Masyumi-PSI). Keadaan ekonomi cukup baik terutama komoditi eksport yang stabil dan meningkat. Pada September 1950, Indonesia diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa, tapi keadaan dalam negeri soal keamanan kacau. Gerakan pemberontakan separatis dilakukan oleh RMS (Republik Maluku Selatan), DI TII (Darul Islam Tentara Islam Indonesia). Soal Irian Barat tidak selesai karena tidak semudah seperti yang dipikirkan pasca KMB. Sukarno mengalami hambatan untuk bergerak. Sesuai dengan konstitusi, Natsir bersikeras agar Sukarno membatasi dirinya dalam peran Presiden sebagai lambang saja. Sukarno tidak begitu senang dengan peranan semacam itu. Kedudukan sentral sebagai pemimpin bangsa penting, sehingga merasa dirinya semakin cocok dengan pandangan PNI dan kelompok radikal lainnya dalam merebut kedaulatan atas Irian Barat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi.

Tim storyline Museum Kepresidenan “Balai Kirti”, Bogor