Sekilas tentang Mata Uang Aceh sekitar Abad ke-16

0
9614
Koin atau mata uang Aceh koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh.
Koin atau mata uang Aceh koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh.

Uang Aceh

Seorang pelaut Inggris yang bernama John Davis yang bekerja pada kapal Belanda mendarat di pelabuhan Aceh pada Juni 1599. Ia mengemukakan bahwa di Aceh tedapat berbagai macam alat pembayaran. Seperti cashes (bahasa Aceh: keueh, bahasa Portugis: caxa), mas, cowpan (kupan), pardaw dan tayel (tahil). Ia hanya melihat dua keping mata uang logam, yang satu lagi terbuat dari timah, disebut caxas. Ia menambakan bahwa 1600 cashes sama dengan 1 mas. Empa ratus cashes sama dengan 1 kupan. Empat kupan sama dengan 1 mas. Lima mas sama dengan 4 shilling sterlig. Empat mas sama dengan 1 pardaw, dan 4 pardaw sama dengan 1 tahil.

Satu tail adalah 16 mas dirman

Pada 1691 ada satu buku mengenai perhitungan nilai emas dan perak serta mengenai ukuran dan berat di Benua Timur. Buku itu berjudul “Ujtrekening van de Goude en Silvere Munts Waardye, Inhout der illfaten en Swoorte der Gewigten, in de Respective Gewesten van Indien”.  Dalam buku itu disebutkan bahwa di Aceh satu tail adalah 16 mas dirman. Satu ringgit Spanyol atau biasa disebut reyal atau ringgit meriam sama dengan empat mas. Selain itu, Van Langen, seorang poejabat tinggi Belanda pada 1888 menyebutkan bahwa nilai dirham Sri Sultanah Taj al-Alam Safiat  ad-Din (1641-1675) di Kerajaan Aceh Dar as-Salam adalah E.O,625 (enam puluh dua setengah sen Hindia Belanda).

Satu tail sama dengan 4 pardu

Kreemer, seorang pakar mengenai Aceh, berdasarkan sumber dari John Davis menulis bahwa 1 tail sama dengan 4 parduPardu adalah mata uang perak yang ditempa oleh Portugis di Goa. Satu Pardu sama dengan 4 dirham (mace, mas), 1 dirham sama dengan 4 kupan (mata uang perak yang kecil), dan 1 kupan sama dengan 400 keueh. Dalam bahasa Portugis keueh atau caxa terbuat dari kuningan dan timah, yang dalam bahasa Belanda disebut kasja atau kasje.

Sumber:

Teuku Ibrahim Alfian. 1998. “Bandar-bandar Niaga di Sekitar Selat Malaka”, dalam Supratikno Rajardjo (ed.) Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi), Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direkorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Baca juga: Kompleks makam kuno Leubok Tuwe makam syuhada awal Samudra Pasai