Dalam prasasti Sukawana AI yang berangka tahun Saka 804 (882 Masehi) terdapat ungkapan sebagai berikut: Iib. Ana krangan mabalu ya, suhunan tanggungan ulihangen humatur drbyanya prakara, maruhi dua bhagi, haturangnya babini habhagi.[1] Artinya: “Apabila ada suami istri salah satu di antaranya meninggal, maka ketentuan mengenai pengembalian hak miliknya dan lain-lain sebagai berikut: bila yang laki-laki meninggal maka dua bagian miliknya dihaturkan, bila wanita yang meninggal hanya satu bagian yang dihaturkan”.
Fenomena yang sama juga tersirat dalam prasasti Bebetin AI yang berangka tahun Saka 818 (896 Masehi). Antara lain disebutkan sebagai berikut. IIIa2 suhuna 3. tanggungan ulihhangen humatur drabyanya prakara maruhani duang blagi, babini habhag.[2] Artinya: “Ketentuan mengenai pengembalian harta milik dan lain-lain dihatur sedemikian rupa jika yang laki (suami) meninggal agar dikembalikan dua bagian, sedangkan apabila wanita (istri) yang meninggal yang dihaturkan hanya satu bagian”. Kutipan di atas mengindikasikan bahwa laki-laki (suami) mempunyai hak lebih besar (dua kali) dibandingkan wanita.
[1] (Ardhika dan Sutjiati Beratha, 1996:44).
[2] (ibid.,:50).
(Sumber: Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II)