Prasasti tentang Pengelolaan Tanaman dan Kayu

0
2067

Masyarakat Indonesia kuno tampaknya sangat peduli dengan masalah-masalah lingkungan. Berbagai ketentuan telah diatur dalam sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan maslah lingkungan dalam arti luas. Penduduk tidak diizinkan secara semena-mena menembang pohon yang tumbuh di wilayahnya. Ketentuan mengenai penebangan pohon tersurat dalam beberapa prasasti Bali Kuno. Dalam prasasti Tengkulak A yang berangka tahun Saka 945 atau 1023 Masehi terdapat ungkapan sebagai berikut. 6a.5 …. Niwang dadyangrugakna kamiri, bodhi, waringin, skar kuning, mende, jirk kamukus, kapulaga, huno, wungkudu, sakweh ning kayu larangan yang katngahana 60. kalinya ngabehi sawah umah pohonan makading tirisan tan panwita tan pangdadyakna dosa, …[1]. Artiya: “Lagi pula diizinkan menebang pohon kemiri (Alereitas maluccan, Willd), bodhi, beringin (Ficus benyamin, linn), sekar kuning (?) mende(?), jirek (?), kemukus, kapulaga, enau, wungkudu dan semua jenis kayu yang dikatogerikan sebagai kayu larangan, apabila kayu tersebut tumbuh di tengah (lahan tempat pembuatan) saluran irigasi atau kali/sungai, menauingi sawah, rumah, tempat suci, terutama sekali pohon kelapa, agar (penebangan pohon tersebut) tidak dikenai denda.

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sejumlah tanaman yang dikategorikan sebagai kayu larangan tampaknya dilindungi dan tidak diperbolehkan menebang secara sewenang-wenang. Yang menjadi pertanyaan, mengapa tanaman atau kayu tersebut diproteksi atau dilarang menebang oleh pemerintah. Apakah tanaman tersebut sangat langka sehingga keberadaanya perlu mendapat perlindungan dari pemerintah atau tanaman itu mempunyai nilai religius dan ekonomis yang cukup penting bagi masyarakat. Pertanyaan ini belum dapat dijawab dengan tuntas atau memuaskan karena terbatasnya data yang sampai kepada kita.

Pohon kelapa (Cocos nucifera, linn) mendapat perlakuan yang cukup istimewa pada masa Bali Kuno. Hal ini dapat dipahami karena pohon kelapa mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Buah kelapa dapat digunakan untuk minyak dan keperluan upacara, batang dan daunnya dapat digunakan untuk bahan bangunan, serta niranya digunakan sebagai bahan gula merah, minuman/arak dan keperluan upacara.

Perlu kiranya dicatat bahwa pada masa Bali kuno terdapat pejabat khusus yang mengurusi kayu. Dalam beberapa prasasti Bali Kuno dijumpai nama jabatan “hulu kayu”. Menurut Dr. R. Goris[2] hulu kayu merupakan jabatan tinggi kerajaan yang berkaitan dengan kayu, atau sejenis menteri kehutanan. Sebutan hulu kayu juga dijumpai dalam prasasti Sawaan atau Blantih B yang berangka tahun Saka 987[3]. Apakah pejabat tersebut mengurusi kayu yang tumbuh di sepanjang jalan? Hal ini masih belum jelas.

[1] (Ginarsa 1961:6)

[2] (Goris, 1954:246)

[3] (van der Tuuk, 1885:613)

(Sumber: Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II)