Mencolok di antara rumah penduduk
Masjid seluas 29,3 x 19,5 meter ini berbalut warna kuning. Tampak mencolok di antara bangunan rumah penduduk yang mendiami pulau kecil seluas 240 hektar. Berdiri di atas lahan seluas 54,4 x 32,2 meter. Tebal dindingnya hampir 50 centimeter. Lantainya terbuat dari ubin tanah liat. Atapnya ditopang dengan empat tiang beton.
Mimbar dari Jepara
Di dalam mihrab terdapat mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara. Satu daerah di pesisir utara Pulau Jawa yang terkenal dengan kerajinan ukirnya. Ada informasi bahwa ada dua mimbar yang didatangkan dari Jepara saat itu. Satu untuk Masjid Sultan Riau ini, dan yang lebih kecil, untuk Masjid Sultan Lingga di daerah Daik Lingga.
Masjid berkubah pertama di Nusantara
Ada 13 kubah di atas masjid ini yang tersusun berbaris. Ada juga empat menara di setiap sudut masjid. Menara itu beratap kerucut berwarna hijau menjulang setinggi 18,9 meter. Di kanan dan kiri halaman depan masjid dengan tujuh pintu dan enam jendela ini terdapat bangunan panggung tanpa dinding yang disebut balai-balai. Denahnya empat persegi panjang. Memanjang timur-barat. Kira-kira mirip pendopo di Jawa. Berfungsi sebagai tempat menunggu waktu shalat, berbuka puasa saat Ramadhan, atau tempat beristirahat bagi musafir.
Dua bangunan lainnya yang lebih besar daripada balai-balai berada di halaman depan kiri dan kanan. Menempel dengan sudut pagar masjid yang menyerupai bastion berdenah lingkaran. Bangunan ini disebut dengan rumah sotoh. Bangunan beratap genting bercat hijau ini berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal pada masa itu, di antaranya Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin, pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini.
Dibangun oleh cucu seorang pahlawan
Masjid Raya Sultan Riau dibangun dengan megah pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman (1831–1844) pada 1832. Ia adalah cucu seorang pahlawan nasional dari Riau, Raja Haji Fisabililah. Mulanya masjid yang dibuat dari kayu itu tidaklah terlalu besar. Dibangun pada 1761–1812 dengan berlantaikan bata. Satu menara setinggi kira-kira enam meter melengkapi masjid sederhana ini. Oleh karena tidak lagi dapat menampung jamaah, Raja Abdurrahman memerintahkan untuk membangun masjid ini menjadi lebih besar. Seperti yang dapat kita lihat sekarang.
Saat Hari Raya Iedul Fitri 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 M), Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman menyeru seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Membangun masjid yang megah agar jemaah dapat beribadah di dalamnya dengan nyaman. Dikisahkan, karena antusias rakyatnya, fondasi masjid dapat dibangun dalam waktu tiga minggu.
Baca juga
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/tacbn-bersidang-di/
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/pulau-penyengat-sebagai-pusat-perkembangan-bahasa-melayu-modern/