Masjid Tertua di Bojonegoro
Dikisahkan, seorang bangsawan bernama Wiroyudho (Haji Abdul Hamid) yang berasal dari Surakarta yang melarikan diri dari kejaran tentara Belanda dengan menaiki gethe. Dengan perahu bambu itu, ia menyusuri Bengawan Solo hingga membawanya ke Cangaan. Satu daerah yang berada di Bojonegoro. Di Cangaan lah beliau kemudian mendirikan satu masjid sederhana beratap ilalang. Tiang-tiangnya terbuat dari kayu jati yang diperolehnya dari hutan Sumberejo.
Masjid di Cangaan ini masih ada hingga saat ini. Meski keasliannya hampir hilang. Banyak bagian-bagian yang baru ditambahkan di masjid ini. Terutama di serambi depan dan atapnya. Pintu masjid yang masih asli dihiasi ukiran terawang sulur-suluran. Ambang pintunya berupa bidang berisi ukiran sulur-suluran membingkai tulisan huruf Arab berlafal Lailaha ilallah Muhammad Rasulullah di baris atas. Di bawahnya terdapat angka tahun Jawa dan arab, yaitu 1771, bertepatan 1 Muharam 1226 H, serta nama Astrowijoyo dan Astrodiporo. Kedua tokoh itu adalah keturunan dari Wiroyudho.
Empat saka guru yang menyangga masjid pun masih asli. Demikian juga dengan atapnya yang berbentuk limas dan tajug bertumpang satu. Puncak atap yang berhiaskan mustaka pun masih asli. Di dalamnya tersimpan satu bedug tua yang terjaga keasliannya, dan masih digunakan sampai saat ini.
Istiwa memandu datangnya waktu shalat
Ada satu benda di masjid ini yang kehadirannya mungkin tidak disadari. Benda itu adalah istiwa. Jam Matahari itu menjadi panduan waktu shalat. Bentuknya tidak terlalu besar. Seperti ubin lantai berbentuk segiempat. Dahulu benda ini sangat berguna bagi penduduk setempat. Tidak hanya untuk menunjukkan waktu shalat, tetapi untuk waktu-waktu kegiatan lainnya.
Selain itu, banyak hal-hal unik yang melekat di masyarakat Cangaan. Masjid dan penduduk asli di tempat ini bagaikan merpati. Ke mana pun burung merpati pergi pasti tahu ke mana dia akan kembali. Begitupun dengan masjid Cangaan ini. Selalu menjadi tempat pulangnya para penduduk yang merantau ke luar kota. Oleh karena itu, ada acara yang diselenggarakan rutin setiap tahun. Mereka ikut membantu dengan infaqnya untuk membiayai kegiatan sehari-hari masjid. Bahkan dengan infaq pula mereka melakukan perawatan dan pembangunan masjid.
Meskipun merupakan masjid tertua di Bojonegoro, namun tidak terlihat seperti masjid-masjid tua lainnya di Nusantara. Banyaknya penambahan telah mengaburkan keaslihannya. Menyembunyikan nilai-nilai sejarahnya, sehingga hampir tidak dapat lagi bercerita. Sangat disayangkan memang, suatu kenyataan yang harus ditanggun oleh suatu yang bernama living monument. Kebutuhan atas ruang ibadah yang nyaman telah mengalahkan ‘keinginanya” untuk tetap bertahan apa adanya. (Galang)