Makam Tuanku Imam Bonjol dan Makam Kyai Mojo Menjadi Cagar Budaya Nasional

0
5897
Makam Imam Bonjol-Minahasa. Sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id
Makam Imam Bonjol-Minahasa. Sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id

Pemerintah telah menetapkan Makam Tuanku Imam Bonjol dan Makam Kyai Mojo sebagai Cagar Budaya peringkat nasional. Direkomendasikan sebagai Cagar Budaya peringkat nasional karena jasa-jasa yang telah dilakukan.

Makam Tuanku Imam Bonjol

Penetapan Makam Tuanku Imam Bonjol dengan nomor registasi RNCB.20070326.03.000951, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 266/M/2016 tentang Struktur Cagar Budaya. Sebelumnya telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui SK nomor SK Menteri NoPM.22/PW.007/MKP/2007.

Nisan Makam Imam Bonjol. Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id

Makan Tuanku Imam Bonjol, yang bernama asli Muhammad Shahab, berada di Jalan Pineleng-Kali, Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Muhammad Shahab lahir di Bonjol pada 1772. Ayahnya bernama Bayanuddin dan ibunya bernama Hamatun.

Makam ini adalah satu-satunya bangunan berbentuk rumah adat Minangkabau di Minahasa. Berukuran 15 meter x 7 meter. Di Batu nisannya tertulis:

Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin bergelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional. Lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol Sumatera Barat, wafat tanggal 6 November 1854 di Lota Minahasa, dalam pengasingan pemerintah kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan tanah air, bangsa dan negara”.

Perbedaan pandangan antara kaum Padri dengan kaum Adat

Kehadiran Tuanku Imam Bonjol ke daerah Minahasa tidak terlepas dari Perang Padri yang terjadi di Sumatera Barat (1821-1837). Perang Padri sendiri terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara kaum Padri dengan kaum Adat. Perang terjadi dalam tiga masa. Pertama tahun 1821-1825 ditandai dengan meluasnya perlawanan Padri di seluruh Minangkabau. Kedua, 1825-1830 adalah masa dimana pertempuran mulai mereda karena Belanda mengadakan perjanjian-perjanjian dengan kaum Padri. Kaum Adat yang mulai terdesak saat itu meminta bantuan kepada Belanda melawan Kaum Padri. Masa ketiga, 1830-1838 adalah masa dimana perlawanan kaum Padri kepada Belanda kembali meningkat. Belanda kemudian melakukan penyerbuan besar-besaran.

Salah satu tempat yang diserbu Belanda adalah Benteng Bonjol. Dalam benteng tersebut, terdapat salah satu pemimpin kaum Padri, yaitu Tuanku Imam Bonjol. Menghadapi pasukan yang jumlahnya lebih banyak dan dengan persenjataan yang lebih lengkap, pasukan Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah pada 25 Oktober 1837. Setelah ditangkap, Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur. Tak lama di Cianjur, kemudian dipindahkan ke Ambon pada 1839.

Dua tahun di Ambon, Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Minahasa hingga meninggal. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Kondisi Makam masih terawat dan terjaga. Makamnya kini dijaga oleh keturunan pengawal setia Imam Bonjol bernama Apolos Minggu. Kini di kompleks sekitar makam Tuanku Imam Bonjol, terdapat sedikitnya 20 kepala keluarga. Merekalah yang setiap hari mengurus keberadaan makam Imam Bonjol.

Makam Kyai Mojo

Makam Kyai Mojo telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya peringkat nasional, karena jasa yang telah dilakukan oleh Kyai Mojo membantu Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Selain itu, keberadaan Kyai Mojo dan pengikutnya di Tondano membuat munculnya komunitas Jawa Tondano atau, yang disebut juga dengan Jaton. Banyak pengikut-pengikut Kyai Mojo kemudian menikah dengan masyarakat sekitar saat mereka ikut diasingkan ke Tondano.

Makam Kyai Mojo. Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id

Makam Kyai Mojo ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 267/M/2016 tentang Situs Cagar Budaya.

Makam Kyai Mojo terletak di atas Bukit Tondata dan menempati luas lahan 44.560 m². Kyai Mojo terlahir dengan Nama Kyai Muslim Muhammad Halifah. Ia lahir pada 1764 dan wafat pada 20 Desember 1849.

Di lokasi makam ini terdapat dua cungkup berbentuk bangunan Jawa dengan atap bersusun dari sirap. Cungkup yang besar terdapat makam Kyai Mojo beserta pengikutnya. Sedangkan cungkup lainnya merupakan cungkup makam Syeh Maulana (asal Cirebon). Di timur laut makam Kyai Mojo terdapat makam Mbah Kamil (Kyai Demak).

Makam yang unik

Makam Kyai Mojo beserta keluarga asli dari Jawa memiliki keunikan tersendiri. Bentuk makamnya memiliki lubang memanjang pada bagian tubuh makam. Berbeda dengan makam lain dari makam kerabat, yang merupakan keturunan Minahasa, yang tidak memiliki lubang memanjang. Dibuat demikian agar dapat diketahui perbedaan keluarga dari Jawa dan yang lahir dan besar di Minahasa.

Makam Kyai Mojo adalah satu-satunya makam di kompleks ini yang kijingnya memiliki sembilan undakan. Makam ini diberi hiasan pelipit genta dan kaligrafi. Di dalam cungkupnya terdapat beberapa makam keluarga dan pengikutnya. Nisannya ditutup dengan kain penutup berwarna putih.

Kyai Mojo merupakan salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Meskipun hubungan mereka berdua dekat, pada 1828 terjadi konfllik di antara mereka. Pada waktu itu, Pangeran Diponegoro memerintahkan Kyai Mojo untuk kembali ke Pajang. Dalam perjalanannya itu, Kyai Mojo terbujuk oleh rayuan muridnya, Kyai Dadapan, agar mau bertemu perwakilan Belanda, Letnan Kolonel Wironegoro.

Sebelumnya Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya termasuk Kyai Mojo telah menolak ajakan Jenderal de Kock untuk mengakhiri perang. Kyai Mojo kemudian bertemu dengan Letnan Kolonel Wironegoro pada Oktober 1828 dengan mengajukan beberapa permintaan. Letnan Kolonel Wironegoro pun menyetujuinya asalkan Kyai Mojo bersedia menghentikan perang. Kyai Mojo melaporkan pertemuan itu kepada Pangeran Diponegoro melalui surat. Setelah membaca surat dari Kyai Mojo, Pangeran Diponegoro marah. Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Mojo kembali ke markas Pangeran di daerah Pengasih.

Pada akhir 1828, Kyai Mojo beserta pasukannya berhasil ditangkap Belanda. Ini adalah pukulan telak bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Kyai Mojo bersama dengan pasukannya kali pertama ditahan di Semarang. Kemudian dipindahkan ke Ambon lalu ke Minahasa. Kyai Mojo meninggal dalam pengasingan di Minahasa pada 20 Desember 1849 dan dimakamkan di Tondano. Pada 1978/1979 hingga 1981/1982 Makam Kyai Mojo telah dipugar oleh Bidang Sejarah, Museum, dan Purbakala (Muskala) Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara. Kini Situs Cagar Budaya Makam Kyai Mojo dalam kondisi terawat.