Melacak seni arsitektur Islam melalui makam dan nisan
Dalam perkembangannya, bentuk seni arsitektur Islam juga dapat dilacak pada bentuk makam dan nisan kubur. Dari penelitian Hasan Muarif Ambary diketahui bahwa nisan kubur di satu daerah memiliki perbedaan dengan daerah lainnya. Di Aceh nisan kubur dibagi atas tipe (bentuk); bucrane-aile, tipe campuran bucrane-aile, dan tipe cylindrik. Tipe-tipe tersebut dibedakan dengan tipe-tipe nisan kubur di Demak, Tralaya, Bugis-Makasar, Ternate yang dikatagorisasikan sebagai tipe (bentuk) lokal.
Bentuk-bentuk nisan kubur yang berada di daerah Aceh maupun di Malaysia secara garis besarnya dibagi atas bentuk pipih, bentuk kerucut tegak, bentuk persegi tegak dengan pelebarannya. Sejumlah besar nisan kubur lebih rinci ia bagi atas 14 sub-tipe yang diberi nama tipe-Othman A sampai tipe-Othman N. Disesuaikan dengan data angka tahun yang terdapat pada nisan kubur itu secara kronologis. Dikatakan bahwa tipe-A berasal dari 1400 A.D.. Tipe-B sampai G berasal dari 1500 A.D.. Tipe-H berusia dari 1600 A.D.. Tipe-I sampai dengan N. berasal dari 1700 A.D. sampai 1800 A.D.
Dari uraian tentang tipe-tipe sejumlah nisan kubur dengan distribusi dari suatu tempat ke tempat lainnya, seperti ditunjukkan oleh nisan yang disebut Batu Aceh tipe-A sampai tipe-N, jelas bahwa pada masa-masa lampau, sejak abad ke-13 sampai abad ke-19 Masehi, mobilitas sosial di antara daerah-daerah di Nusantara memang sudah terjadi. Dengan adanya bentuk-bentuk nisan kubur yang menunjukkan persamaannya dengan yang terdapat di daerah Aceh, di Malaysia bahkan di Brunei Darussalam serta di Patani, memberikan bukti bahwa mobilitas sosial itu nyatanya bukan hanya terjadi antara sesama masyarakat di wilayah Nusantara, tetapi juga dengan masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara.
Letak makam
Jika kita perhatikan keletakan makam orang-orang yang dianggap suci, apakah itu Wali, Raja-Raja atau Sultan-Sultan, tampak bahwa ada yang dimakamkan di dekat mesjid di dataran rendah. Ada pula di dataran tinggi atau di atas bukit-bukit. Makam-makam yang mengambil tempat di atas bukit-bukit antara lain makam Sunan Giri di Gresik, makam Ratu Ibu dengan Raja-Raja Madura di Aer Mata, makam Asta Tinggi (Bangkalan-Sumenep Madura), makam Sunan Sendang di Sendang Duwur (Lamongan-Jawa Timur), makam Sunan Murio di Colo (Jawa Tengah), makam Sunan Bayat di Tembayat (Klaten), makam Sultan Agung dengan Sultan-Sultan Yogyakarta dan Surakartad di Imogiri, Makam Sunan Gunung Jati dan Sultan-Sultan Cirebon di Bukit Sembung.
Dekat masjid
Makam-makam yang lokasinya di dataran dekat Mesjid Agung, bekas kota pusat kesultanan antara lain makam Sultan-Sultan Demak di samping Masjid Agung Demak, makam Raja-Raja Mataram-Islam Kota Gede (D.I. Yogyakarta), makam Sultan-Sultan Palembang, makam Sultan-Sultan di daerah Nanggroe Aceh: kompleks makam di Samudra-Pasai, makam Sultan-Sultan Aceh di Kandang XII, Gunongan dan di tempat lainnya di Nanggroe Aceh, makam Sultan-Sultan Siak-Indrapura (Riau), makam Sultan-Sultan Palembang, makam Sultan-Sultan Banjar di Kuin (Banjarmasin), makam Sultan-Sultan di Martapura (Kalimantan Selatan), makam Sultan-Sultan Kutei di Kutei-Negara (Kalimantan Timur), makam Sultan Ternate di Ternate, makam Sultan-Sultan Goa di Tamalate, kompleks makam Raja-Raja di Jeneponto dan kompleks makam di Watan Lamuru (Sulawesi-Selatan) makam-makam di berbagai daerah lainnya di Sulawesi Selatan, dan kompleks makam Selaparang di Nusa Tenggara.
Di daerah dataran
Sementara beberapa makam yang meski tokoh yang dikubur termasuk Wali atau Syekh namun penempatannya di daerah dataran. Beberapa makam tersebut di antarnya: makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Leran di Gresik (Jawa Timur). Makam Datuk ri Bandang di Takalar (Sulawesi Selatan), Syekh Burhanuddin (Pariaman), dan Syekh Kuala atau Nuruddin ar-Raniri (Aceh). Masih banyak para Da’i lainnya di Tanah Air yang dimakamkan di dataran.
Di tempat tinggi atau bukit
Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukit-bukit antara lain makam Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Bayat, Sunan Murio, Sunan Sendang, Raja-Raja atau Sultan-Sultan Yogyakarta dan Surakarta dan lainnya. Makam-makam itu, sebagaimana telah dikatakan, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan pada ruh-ruh nenek moyang. Kepercayaan seperti ini sebenarnya sudah dikenal dalam penjawantahan pendirian punden-punden berundak Megalitik.
Indonesia memiliki bantuk nisan kubur
Terkait nisan kubur, diketahui bahwa Indonesia dikenal sebagai wilayah yang memiliki banyak nisan kubur dan mengandung unsur-unsur bentuk dan dekorasi kelanjutan dari masa Pra-Islam. Bentuk nisan kubur yang tegak silindrik mengingatkan kita pada tradisi Megalitik. Seperti ditemukan pada sejumlah nisan kubur di Sulawesi Selatan contohnya di Soppeng, Jeneponto, Bontobiraeng, Tallo, Watan Lamuru. Di kompleks Jeneponto di atas kubur terdapat arca tradisi Megalitik. Demikian bentuk menhir, bentuk keris, tameng, gada dan juga aling-aling jirat di bagian kepala dan kaki berbentuk seperti gunungan atau kekayon hampir umum didapatkan pada kubur-kubur di Sulawesi Selatan.
Di daerah Sulawesi Selatan terutama di Goa-Tamalate ada dalam cungkup berbentuk lengkung dengan bentuk nisan-semu di atasnya, sedangkan kubur sebenarnya ada di dalam cungkup. Di daerah Sulawesi Selatan kubur Sultan-sultan atau Raja-raja dibuat bersusun atau berundak membentuk susunan. Sedangkan kijing kubur Sultan-sultan di Jawa dan Madura, meskipun juga disusun secara piramida, namun tidak setinggi kubur-kubur semu di Sulawesi-Selatan.
Susunan bangunan kubur di Jawa dan di Madura umumnya dihiasi simbar-simbar dengan ragam hias pattra. Di atasnya ditandai nisan yang bentuknya bervariasi. Ada yang lengkungnya menyerupai kala-makara. Ada yang tegak lurus pipih seperti batu-batu tegak biasa (menhir). Ada pula yang menyerupai bentuk gunongan. Bentuk nisan kubur-nisan kubur dari bekas Kota Majapahit di Troloyo banyak yang angka tahunnya ditulis dalam huruf Jawa-Kuno. Namun ada pula yang berbahasa Arab dan angka tahun Arab.
Sumber:
Burhanuddin, Jajat, dkk, 2015, Sejarah Islam Nusantara, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Hlm. 64–67. (belum terbit)