Senja di Kaimana
“Senja di Kaimana” begitu judul lagu yang dinyanyikan oleh Alfian pada 70an. Lagu tersebut menggambarkan keindahan panorama Kaimana saat senja. Senja di Kaimana memang sangat indah, tetapi Kaimana menyimpan keindahan lainnya selain panorama saat senja, apa itu?? Lukisan dinding di tebing-tebing pulau di Kaimana. Ya, lukisan tebing tersebut yang belum diketahui banyak orang.
Lukisan di dinding tebing tersebut kali pertama ditemukan oleh Johannes Keyts, kepala pedagang VOC, pada 1678. Lukisan-lukisan tersebut sudah pernah didokumentasikan dalam bentuk buku oleh UNESCO yang bekerjasama dengan salah satu arkeolog Indonesia, Karina Arifin. Sedikitnya dokumentasi mengenai lukisan dinding tersebut mewajibkan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Tahun ini kami akan membuat film dan buku mengenai lukisan dinding prasejarah yang ada di Indonesia, salah satunya Kaimana.
Kegiatan pendokumentasian lukisan dinding di Kaimana berlangsung selama 8 hari dari 29 Maret sampai 5 April. Diikuti oleh tim Direktorat Pelestarian Cagar Budaya, Karina Arifin (penulis), R. Cecep Eka Permana (penulis), Feri Latief (fotografer), Putra Apriandy Dendang (videographer), dan Fahmi M Syarief (sutradara). Melakukan perjalanan yang lumayan panjang dari Jakarta ke Kaimana, berangkat pukul 01.30 WIB dan sampai di Kaimana pukul 10.15 WIT, kami disambut dengan lukisan-lukisan dinding tebing yang indah, tak kalah indah dengan saat senja di kaimana.
Lukisan tebing sepanjang puluhan kilometer yang membentang sepanjang Desa Lobo sampai Tanjung Bicari diperkirakan berumur 3000–10.000 tahun, sejaman dengan manusia Austronesia yang melakukan perjalanan ke arah timur Nusantara.
Dibagi ke dalam 3 situs
Untuk memudahkan pendokumentasian lukisan tebing tersebut kami bagi menjadi 3 situs, pertama situs kampung Maimai yang terdiri atas dua sisi, sisi selatan dan utara. Sisi selatan meliputi tebing Nusuamoi, Ermamare, Refis, Omborcene, Memnemba, Memnemnambe, Werfora1, Werfora 2, Werfora 3 sampai Werfora 4 tebing yang paling tinggi. Sisi utara kampung Maimai meliputi Sasereoyomo, Sasereinabo, Munfuritnus, Munfuriti, Netnarai dan Weretwarom.
Dekat desa bernama Lobo, dua setengah jam perjalanan dari pelabuhan Kaimana, 2 tebing di dekatnya yaitu tebing Ganggasa dan Irisjawe menjadi situs kedua kami. Situs ketiga dekat dengan desa Namatota. Desa ini berada di utara kp maimai. Namun, karena waktu dan bahan bakar yang terbatas kami tidak sempat untuk mendokumentasikan situs ketiga ini.
Dari 18 tebing bergambar yang kami kujungi hanya ada 4 tebing yang dapat kami naiki dan didokumentasikan dari dekat, yaitu tebing weretwarom, sasereinabo, memnemnambe, dan werfora 1. Tebing-tebing lainya hanya bisa didokumentasikan dari atas speedboat karena tebing tidak memungkinkan untuk dinaiki dan tidak ada pijakan untuk kami berdiri mendokumentasikannya.
Vandalisme
Lukisan-lukisan tersebut sudah mulai mengelupas dan tertutupi oleh coretan-coretan dari tangan-tangan jahil masyarakat sekitar. Mereka mencoret mengunakan cat berbahan kimia dan menutupi lukisan prasejarah dengan nama mereka. Mereka menuliskan nama mereka untuk menandakan bahwa mereka pernah berasa di sana. Dinas Budpar Kaimana, pada 2010 lalu pernah melakukan kegiatan konservasi terhadap beberapa dinding tersebut. Kegiatan tidak dilanjutkan karena bahan penghapus menggunakan bahan kimia akan menghapus lukisan prasejarah yang terbuat dari oker.
Penggambaran ikan, manusia, kadal dan cap tangan mendominasi lukisan dinding di tebing kaimana. Lukisan-lukisan tersebut bercerita mengenai upacara-upacara adat, kehidupan sehari-hari, dan binatang-binatang yang dianggap penting oleh manusia prasejarah. Manusia digambarkan dengan bermacam-macam bentuk seperti menggunakan topeng, manusia dengan kepala berhias, manusia sedang menari, dan penggambaran sepasang manusia lengkap dengan alat vitalnya. Penggambaran ikan disatukan dengan gambar-gambar alat pancing seperti kail, jaring, dan keranjang penangkap ikan.
Pendokumentasian ini diharapkan akan memberikan informasi mengenai pelestarian terhadap lukisan dinding agar tidak ada vandalisme berkelanjutan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Hasil pendokumentasian ini akan dipublikasikan untuk masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang berada di desa-desa terdekat dengan lukisan-lukisan dinding. Dengan adanya dokumentasi tersebut diharapkan masyarakat sekitar dapat lebih menghargai dan menjaga Cagar Budaya di lingkungannya. (Mita Indraswari)