Liburan Asyik ke Museum Sangiran? Kenapa Tidak?

0
6784

Oleh: Shalihah Sri Prabarani

Pernah nonton Jurrasic Park? Pernah berimajinasi seperti arkeolog yang berpetualang bagaikan mengendarai mesin waktu ke era prasejarah? Bingung ingin liburan asyik tapi tetap edukatif? Ke Sangiran, saja!

Museum Situs Manusia Purba Sangiran, atau lebih populer dengan sebutan Museum Sangiran, adalah salah satu museum keren Indonesia yang terletak di daerah Kalijambe, kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah.

Untuk menuju museum ini, kita bisa melalui akses dari Surakarta atau Solo sejauh 17 kilometer menuju kecamatan Kalijambe. Selain itu bisa pula mengambil akses Semarang melalui Karanggede, Gemolong, Kalijambe, lalu Sangiran, selain alternatif lain melalui Purwodadi, Gemolong, Kalijambe, dan Sangiran, dengan jarak kurang lebih 100 kilometer. Gapura museum ini berada di jalur jalan raya Solo-Purwodadi dekat perbatasan antara Gemolong dan Kalioso, kabupaten Karanganyar. Gapura ini dapat dijadikan penanda untuk menuju situs Sangiran, dengan jarak sejauh kurang lebih 5 kilometer dari desa Sangiran.

Museum Sangiran mencakup dua wilayah kabupaten, yaitu kabupaten Sragen yang meliputi kecamatan Plupuh, Kalijambe, dan Gemolong, serta satu kecamatan Gondangrejo yang masuk wilayah administratif kabupaten Karanganyar.

Tiketnya relatif murah, hanya 5 ribu rupiah setiap wisatawan lokal, dan 11.500 rupiah untuk wisatawan mancanegara, sesuai Perda Nomor 2 tahun 2011 kabupaten Sragen. Untuk tarif parkir sepeda motor sebesar 2 ribu rupiah. Hal inilah salah satu daya tarik pengunjung, karena tanpa merogok kantong terlalu dalam pengunjung sudah bisa mendapatkan wisata pendidikan sekaligus wisata budaya. Harga tiket terbilang sangat murah, dan pengunjung mendapatkan suguhan wisata menarik yang sarat edukasi budaya yang mencengangkan dunia.

Pengunjung Museum

Museum ini rata-rata dikunjungi oleh 250 ribu orang setiap tahunnya. Pengunjung ini terdiri atas kelompok Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Akhir, mahasiswa peneliti, dinas yang menangani kebudayaan, masyarakat umum, dan wisatawan asing.

Tokoh-tokoh yang Membidani Kelahiran Situs Sangiran

Museum Sangiran didirikan di kawasan situs manusia purba yang terletak di tepi sungai Kali Cemara yang bermuara di sungai Bengawan Solo. Seorang tentara Royal Dutch East Iondies Army yang bertugas di Sumatera pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda, Eugene Dubois, merupakan salah satu tokoh yang memiliki andil dalam penemuan situs Sangiran. Terdorong oleh ketertarikannya pada teori bahwa bukti sejarah evolusi manusia paling banyak terhampar di kawasan Asia Timur, ia mulai melakukan eksplorasi di Sumatera. Sayangnya, upayanya tak membuahkan hasil, dan pada 1890 ia memutuskan untuk pindah ke pulau Jawa.

Ketika fosil tengkorak manusia di situs Sangiran ditemukan oleh G.H.R. (Gustav Heinrich Ralph) von Koenigswald pada 1934, area ini masih berupa perbukitan yang tandus. Tak hanya itu, von Koenigswald juga menemukan ribuan alat serpih yang dibuat dari batuan jaspis dan kalsedon, yang kemudian dinamainya “Sangiran Flakes Industry”. Tidak berapa lama, berbagai penemuan penting lainnya susul menyusul di situs ini, antara lain temuan rahang bawah atau populer disebut sebagai “mandibula” yang merupakan bagian dari fosil Meganthropus Palaeojavanicus dan fosil Pithecanthropus Erectus yang lebih populer dengan nama “Java Man”. Sejak itu, banyak peneliti yang datang untuk mengungkap misteri kehidupan manusia purba di situs ini pada masa prasejarah.

Kawasan ini menyimpan kekayaan masa prasejarah yang luar biasa, dan karenanya menjadi pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi manusia terbesar di Asia dan Dunia. Tak hanya fosil manusia, berbagai fosil belulang binatang bertulang belakang (vertebrata) seperti buaya purba (kelompok gavial dan crocodilus), kuda nil purba, berbagai jenis rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah modern). Selain itu, ditemukan pula berbagai sisa senjata dan peralatan lain yang digunakan oleh manusia purba sehari-hari. Berbeda dengan situs manusia purba lain di Cina seperti Zhudian, Yuan mo, dan Longhupa yang hanya menyajikan peninggalan purba berumur kurang dari dua juta tahun, situs Sangiran ini memuat kekayaan bernilai tinggi dari 2,4 juta tahun silam.

Situs Sangiran menyimpan misteri yang unik, salah satunya dapat dilihat dari stratigrafi tanahnya. Lapisan tanah terbawah situs ini disusun oleh lempung biru Formasi Kalibeng berumur Pliosen Atas (2,4 Ma) berlingkungan pengendapan laut (dalam). Pengangkatan tektonik yang disertai aktivitas vulkanik mengubah lingkungan Sangiran menjadi lingkungan rawa. Ini terjadi pada batas Plio-Pleistosen (1,8 Ma). Breksi lahar menandai peristiwa ini, yang diendapkan di atas lempung Kalibeng. Ketika kawasan Sangiran masih berupa rawa, lapisan tanah pada area ini diendapkan oleh lempung hitam Formasi Pucangan yang berlangsung sampai 0,9 Ma. Fosil paling tua ditemukan di bagian atas endapan ini berumur 1,0 Ma. Dengan demikian, asumsi bahwa ada fosil yang lebih tua dari Homo erectus di daerah ini, karena telah ditemukan artefak berumur 1,2 Ma. Antara 0.9–0.7 Ma, di sekitar wilayah Sangiran terjadi pengangkatan kembali. Daerah ini kemudian tererosi dan mengendapkan bahan rombakannya ke wilayah Sangiran berupa pecahan gamping dan materi vulkanik yang terkenal disebut lapisan Grenzbank (lapisan pembatas) sebab lapisan ini membatasi antara Formasi Pucangan di bawahnya dengan Formasi Kabuh di atasnya. Setelah 0,7 Ma, wilayah Sangiran merupakan daerah penampung endapan vulkanik hasil letusan gunung api-gunung api di sekitarnya (Lawu-Merapi-Merbabu purba). Pada masa itu, Sangiran telah menjadi daratan yang kering. Di dalam Formasi Kabuh-lah banyak ditemukan fosil Homo erectus dengan umur 700.000–300.000 tahun. Pada 0,25 Ma diendapkan lagi breksi lahar yang mengakhiri Formasi Kabuh. Letusan volkanik masih terus terjadi sampai menjelang Resen, mengendapkan pasir volkanik Formasi Notopuro.

Fosil hominid tertua yang ditemukan di Sangiran saat ini berumur 1 Ma, tetapi artefaknya telah ditemukan di lokasi Dayu (masih di Sangiran) dan berumur 1,2 Ma. Artinya, masih mungkin terdapat Homo erectus yang lebih tua daripada 1 Ma. Berdasarkan semua fosil Homo erectus yang telah ditemukan di Sangiran dan sekitarnya (Kedungbrubus, Sambungmacan, Ngandong, Trinil, Ngawi), Harry Widianto dalam trilogi buku “Sangiran Menjawab Dunia”, menyatakan bahwa Homo erectus di Sangiran ini bisa dikelompokkan menjadi tiga subspesies mengikuti penemuannya di lapisan tertua-termuda. Dari tua ke muda adalah: (1) Homo erectus arkaik-Plistosen Bawah 1,5–1,0 Ma ditemukan di bagian atas Formasi Pucangan, (2) Homo erectus tipikal -Plistosen Tengah 0,9–0,3 Ma ditemukan di seluruh Formasi Kabuh, dan (3) Homo erectus progresif-Plistosen Atas 0,2–0,1 Ma ditemukan di Formasi Notopuro. Homo erectus progresif tidak ditemukan di Sangiran, tetapi di wilayah2 lebih hilir dari Sangiran (Kedungbrubus, Sambungmacan, Ngandong, Trinil, Ngawi).

Mengapa Homo erectus progresif tidak ditemukan di Sangiran? Karena tak lama setelah pengendapan Notopuro, terjadi mud volcanism di Sangiran, sehingga subspesies selanjutnya bermigrasi ke wilayah lebih hilir dan ditemukanlah fosil-fosilnya di sana, termasuk yang pertama kali ditemukan Dubois di Trinil. Begitulah kira-kira hipotesis yang saya kemukakan dalam makalah yang dipresentasikan di PIT IAGI 2008 (“Sangiran Dome, Central Java: Mud Volcanoes Eruption, Demise of Homo erectus erectus and Migration of Later Hominid”)

Bila Homo erectus hanya ditemukan di lapisan bagian atas Pucangan dan Kabuh; berbagai fosil vertebrata ditemukan di semua lapisan (Kalibeng, Pucangan, grenzbank, Kabuh, Notopuro). jenis vertebrata yang paling sering ditemukan adalah jenis-jenis gajah purba, rusa, kerbau, sapi, banteng dan badak. Sebagian binatang ini sezaman dengan Homo erectus, mungkin menjadi binatang-binatang yang diburunya. Penjelasan di Sangiran diakhiri dengan cerita tentang perjuangan para ahli arkeologi dan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan Sangiran agar diakui sebagai situs warisan budaya dunia. Perjuangan itu berhasil dengan diakuinya Sangiran oleh Unesco PBB sebagai Warisan Budaya Dunia dengan nomor 593 (dokumen WHC-96/Conf.201/21) tahun 1996. Pemerintah Indonesia sendiri tentu saja telah mengakui Sangiran sebagai Kawasan Cagar Budaya sejak 1977 (SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nom 070/0/1977).

Kelahiran Museum Sangiran

Situs penelitian Sangiran yang populer disebut Kubah Sangiran menjadi pusat perhatian tak hanya peneliti tetapi juga para pemburu fosil. Sejak 1930-an, seorang antropologi Jerman yang fokus meneliti Sangiran pada masa itu, Von Koenigswald, banyak menerima laporan tentang praktik jual beli balung buta (tulang raksasa) secara sembunyi-sembunyi oleh warga setempat. Perdagangan fosil mulai ramai sejak penemuan tengkorak dan tulang paha pithecantrophus erectus (“Manusia Jawa” atau “Java Man”) oleh Eugene Dubois di situs Trinil, Ngawi, pada 1891. Untuk mengantisipasi hal serupa, Von Koenigswald kemudian meminta penduduk untuk mencari balung buta untuk ia beli dari mereka. Ia dibantu oleh Toto Marsono, seorang pemuda Sangiran yang kemudian menjadi Lurah Desa Krikilan.

Seiring waktu, Von Koenigswald kemudian melatih masyarakat Sangiran untuk mengenali fosil dan teknik memperlakukan fosil yang ditemukan dengan baik dan benar. Pada tahun-tahun selanjutnya, ditemukan lebih dari 60 fosil baru Homo erectus atau hominid lainnya, termasuk Megantrophus Palaeojavanicus di lokasi tersebut dan sekitarnya. Penggalian tim Koenigswald berakhir pada 1941. Sebagian koleksinya kemudian disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran hingga 1975, yang nantinya menjadi Museum Purbakala Sangiran, sedangkan sebagian lainnya dikirim ke kawannya di Jerman yang bernama Franz Weidenreich.

Museum Sangiran awalnya dibangun di atas lahan seluas 1000 m² yang terletak di samping Balai Desa Krikilan, dan kemudian berkembang menjadi museum yang representatif pada 1980. Pembangunan museum baru ini dilakukan untuk mewadahi koleksi fosil temuan yang semakin banyak dan untuk mengakomodir kebutuhan pengunjung. Bangunan baru ini dibangun di atas lahan seluas 16.675 m² dengan ruang museum seluas 750 m².

Ada Apa Saja di Museum Sangiran?

Menuju Museum Sangiran, mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan cantik di sepanjang kiri dan jalan sepanjang kali Cemara yang bermuara di Bengawan Solo. Daerah ini mengalami erosi tanah sehingga lapisan tanah yang terbentuk tampak jelas berbeda antara lapisan tanah yang satu dengan lapisan tanah yang lain. Kondisi alam yang masih asli dan asri, pemandangan hutan-hutan yang ada di sekitar area wisata, serta keaslian kehidupan masyarakat di sekitarnya menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Pemandangan ini bisa dinikmatib melalui menara pandang yang disediakan oleh museum dan dari sepanjang lorong-lorong jalan menuju ke museum. Museum juga menyediakan teleskop yang bisa disewa oleh pengunjung.

Museum ini dibangun dengan gaya arsitektur Joglo, dan terdiri atas ruang pameran, laboratorium, perpustakaan, ruang audio visual yang digunakan sebagai tempat pemutaran film tentang kehidupan manusia purba di masa prasejarah, gudang penyimpanan (storage), musala, toilet, area parkir, dan kios suvenir. Toko suvenir ini khususnya menjual hasil kerajinan tangan “batu indah bertuah” yang bahan bakunya didapat dari Kali Cemoro.

Di dalam museum kita juga dapat memanfaatkan fasilitas audio visual yang memberikan berbagai penjelasan tentang berbagai proses, misalnya proses ditemukannya situs purbakala Sangiran, proses evolusi manusia, proses alam raya, dan gugusan gunung-gunung berapi yang tentunya semua berhubungan dengan proses perkembangan manusia purba.

Di area museum juga tersedia fasilitas dasar tempat wisata seperti tempat bermain anak-anak, tempat nongkrong bagi remaja, taman-taman bunga yang ditata dengan sangat apik, dan toilet yang terjaga kebersihannya.

Bagi pengunjung yang ingin menginap tersedia pula fasilitas penginapan yang dapat disewa. Fasilitas ini terutama disediakan bagi para peneliti dari berbagai negara yang datang ke situs Sangiran.

Museum Sangiran menyajikan berbagai macam koleksi, diantaranya:

  1. Fosil manusia yang meliputi Australophitecus africanus (replika), Pithecantrophus mojokertensis atau Pithecantrophus robustus (replika), Homo soloensis (replika), Homo neanderthal Eropa (replika), Homo neanderthal Asia (replika), dan Homo sapiens.
  2. Fosil binatang bertulang belakang, diantaranya  Elephas namadicus (gajah), Stegodon trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinoceros sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
  3. Fosil binatang laut dan air tawar, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Moluska (kelas Pelecypoda dan Gastropoda), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera.
  4. Batuan, antara lain rijang, kalsedon, batu meteor, dan diatom.
  5. Artefak batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbas-penetak.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai pengemban amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, memiliki tanggung jawab dalam pelestarian cagar budaya dan permuseuman di Indonesia. Salah satu upaya pelestarian yang dilakukan melalui program revitalisasi cagar budaya dan pembangunan museum di Indonesia, salah satunya adalah pembangunan dan pengembangan Museum Sangiran. Misi yang diemban adalah pengembangan Situs Sangiran untuk menjadi pusat informasi peradaban manusia purba bertaraf internasional. Pengembangan ini dilakukan sedemikian rupa melalui perencanaan yang matang dan sejalan dengan prinsip-prinsip pelestarian agar Sangiran yang notabene merupakan padang gersang tapi kaya informasi tentang evolusi manusia ini dapat dinikmati dengan mudah oleh masyarakat umum. Selanjutnya dilakukan pembangunan pusat-pusat informasi yang terletak dekat situs-situs penggaliannya, dibagi ke dalam empat klaster (cluster): klaster Ngebung, Klaster Bukuran, Klaster Dayu dan Klaster Krikilan. Di setiap klaster akan didirikan berbagai sarana yang akan memudahkan pengunjung memahami makna paleoantropologi dan arkeologi Homo erectus, termasuk kesempatan untuk mengamati sendiri tempat-tempat ekskavasi (lubang penggalian) tempat para ahli mencari fosil dan artefak Homo erectus. Masyarakat dapat melihat secara langsung dan sekaligus belajar bagaimana cara menggali situs arkeologi serta bagaimana memperlakukan fosil temuan dengan metode dan teknik yang benar. Tak hanya berwisata, pengunjung dapat juga berimajinasi menjadi arkeolog yang berpetualang berburu fosil purba.

Jadi, masih bilang ke Museum nggak asyik, nih?