Kraton sebagai Wujud Seni Arsitektur Islam

0
10474
Keraton Amantubillah di Mempawah, Kalimantan Barat.

Selain masjid, bentuk seni arsitektur Islam juga dapat dilihat dari bentuk bangunan kraton atau istana. Selain sebagai tempat tinggal ratu, kraton atau istana juga berfungsi sebagai pusat kebudayaan sekaligus pusat pemerintahan bagi raja atau sultan di Pulau Jawa. Sama seperti rumah, keraton atau istana terdiri atas beberapa bagian bangunan atau tempat yang memiliki fungsi berbeda-beda yang tak jarang memiliki arti kefilsafatan, kebudayaan, dan keagamaan.

Berdasarkan babad-babad atau hikayat-hikayat lokal, pendirian keraton atau istana—di Banda Aceh disebut dalam— seringkali dihubungkan dengan pembuatan kota-pusat kerajaan atau kesultanan. Inilah yang misalnya terjelaskan dalam Babad Tanah Jawi terkait Pendirian keraton Bintara-Demak sebagai pusat Kesultanan Demak, ataupun pendirian keraton Surosowan sebagai pusat Kesultanan Banten yang diceritakan secara gamblang dalam Sajarah/Babad Banten.

Umumnya, bangunan keraton dilambangkan sebagai meru atau gunung suci dengan cirinya antara lain adanya parit asli dan parit buatan yang mengelilingi keraton. Di dalam keraton, terdapat bagian inti keraton—dalam bahasa Jawa disebut dalem dan di Banda Aceh disebut dalam—yang dianggap sakral atau suci yang tidak boleh dimasuki orang lain. Selain bagian inti keraton, ada pula pelataran keraton. Berdasarkan beberapa pengamatan terhadap denah pelataran keraton masa kesultanan di Indonesia, diketahui bahwa secara umum pelataran keraton umumnya di bagi atas tiga bagian yaitu pelataran pertama, berada di depan, pelataran kedua, umumnya dipisahkan oleh tembok atau pagar pemisah melalui pintu-pintu gerbang candi-bentar dan koriagung, dan pelataran ketiga yang merupakan lokasi berdiri keraton yang dianggap semi-sakral.

Penting dicatat bahwa sangat mungkin tiga bagian pelataran tersebut mengandung makna simbolik dari kesinambungan konsep Hindu/Buddha yaitu tribhuwana, triloka tiga dunia dalam pembagian mandala, yang kemudian mendapat interpretasi sufistik dalam Islam sebagai: alam nakut, alam jabarut, dan alam malakut, yaitu pencerahan tingkat rendah, tengah dan tertinggi. Terlepas dari analisa tersebut, pembagian tiga pelataran itu dapat diperhatikan misalnya pada denah beberapa kompleks keraton seperti Sultan Kasepuhan dan Kanoman, keraton Kaibon Banten, keraton Surakarta, dan keraton Yogyakarta.

Jika diamati lebih jauh, beberapa bagian yang terdapat dalam kompleks keraton di pulau Jawa, hampir memiliki persamaan dengan keraton yang ada di Kalimantan Selatan. Hal ini tampak misalnya dengan adanya Sitinggil, dalam bahasa Kalimantan Selatan disebut Sitilohor, yang umumnya dijadikan tempat raja atau sultan dengan para pembesarnya duduk menyaksikan upacara-upacara kenegaraan yang diselenggarakan di alun-alun.

Di beberapa kompleks keraton, keberadaan Sitinggil ada yang masih dapat disaksikan secara fisik tetapi ada juga hanya toponim. Sitinggil yang masih dapat kita saksikan secara fisik ialah di Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon, di Keraton Surakarta, di Keraton Yogyakarta. Sedangkan yang hanya toponim ialah di Demak, Plered, Kartasura, Kuta Gede, Nagardwipa Kalimantan Selatan.

Yang menarik dicatat adalah bahwa di Sitinggil Keraton Kasepuhan, tampak beberapa bangunan yang secara arsitektur, disesuaikan dengan seni Islam seperti bangunan dengan dua tiang disebut Semar Tinandu sebagai lambang Shahadat, bangunan yang bertiang duapuluh yang disebut Malang Semirang sebagai gambaran Sifat duapuluh, bangunan dengan tiang lima yaitu Pandawa Lima dilambangkan sebagai Arkan-ul-Islam, ataupun bangunan bertiang enam yang melambangkan Arkan-ul-Iman.

Bangunan-bangunan yang ada di lingkungan kompleks keraton-keraton di Pulau Jawa pada umumnya hampir sama adanya: srimanganti, paseban atau pendopo, dalem, kaputan dan kaputren dan sebagainya yang masih menggunakan sebutan bangunan setempat. Demikian pula di kraton/istana di Aceh, bangunan-bangunan keraton masih menggunakan serta disesuaikan dengan bahasa setempat seperti balairung, balai penghadapan.

Bangunan-bangunan keraton sebagian besarnya dibuat dari bahan bata dan bagian atasnya berlantai tegel bata-merah yang dengan pembaharuannya dengan marmer. Di bekas keraton Surosowan (Banten) dari abad ke-16–17 M masih jelas terdapat sisa-sisa lantai bata-merah berukuran besar 40 x 40 cm. Bagian atap keraton-keraton pada umumnya berbentuk limasan, kecuali pendopo dengan bentuk joglo yang antara lain didukung oleh saka-guru atau empat tiang utama dengan tiang-tiang lainnya yang umumnya dibuat dari kayu-kayu. Sementara dinding bangunan keraton sudah menggunakan bata, beratap genting atau jenis sirap.

Sumber:

Burhanuddin, Jajat, dkk, 2015, Sejarah Islam Nusantara, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Hlm. 61–63. (belum terbit)