Keistimewaan dan Kiprah Perempuan dalam Naskah Kuna

0
3390
Relief Hariti di Candi Mendut, yag berada di Jawa Tengah yang menggambarkan peran perempuan.
Relief Hariti di Candi Mendut, yag berada di Jawa Tengah yang menggambarkan peran perempuan.

Oleh: Shalihah S.P.

Perempuan-perempuan pembaharu

Gema peringatan Hari Ibu masih terasa hingga hari ini. Masyarakat memaknainya dalam berbagai bentuk apresiasi terhadap peran perempuan dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Umumnya, Hari Ibu dikaitkan dengan R.A. Kartini, Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, Keumalahayati, dan perempuan-perempuan pembaharu lainnya.

Awal abad ke-19 adalah masa kebangkitan rakyat, dan memiliki makna khusus bagi kaum perempuan Indonesia. Dalam rangka menyuarakan haknya dalam masyarakat, khususnya pada aspek pendidikan dan perkawinan, para perempuan Indonesia kemudian menyelenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pada 22–25 Desember 1926. Berhasilkah? Tentu. Walaupun prosesnya sangat panjang bagi mereka untuk memperjuangkan haknya, upaya ini tidak sia-sia. Pada peringatan Ulang Tahun Kongres Perempuan yang ke-25, Presiden Sukarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1953. Tanggal yang kemudian menjadi perayaan rasa cinta terhadap kaum Ibu melalui hadiah-hadiah dan berbagai perlombaan bertema perempuan.

Isu gender yang melatarbelakangi Kongres Perempuan ini muncul akibat adanya pembagian kerja, serta peran secara seksual dalam urusan domestik dan publik yang berkembang di masyarakat. Lelaki dianggap lebih kuat fisiknya, sehingga lebih cocok untuk peran publik,. Sementara perempuan lebih cocok dalam urusan domestik. Konsep dikotomi peran perempuan dan laki-laki ini dikenal sebagai oposisi biner atau binary opposition (Nastiti, 2009). Masyarakat Indonesia yang menganut konstruksi patriarki sangat berperan dalam menyuburkan konsep stereotip tersebut. Walaupun begitu, peran perempuan dan laki-laki serta keberimbangannya tentu tidak sama dalam setiap kebudayaan.

Tahukah anda bahwa isu gender telah muncul pada abad ke-8 Masehi?

Dari data tekstual dan artefaktual bisa dibayangkan bagaimana kehidupan masyarakat Jawa Kuno pada masa dahulu. Terutama bagaimana dan apa saja peran gender dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Dalam prasasti Waringin Pitu (1477 Masehi) dan prasasti Jurunan (876 M), misalnya, dituliskan deretan pejabat laki-laki dan perempuan dalam pemerintahan. Dalam sumber lain juga digambarkan bagaimana perempuan dan laki-laki secara bersama-sama mengikuti kegiatan sosial keagamaan, ekonomi, kesenian, dan kegiatan lainnya.

Dalam aspek hukum, peran perempuan pada masa dahulu digambarkan dengan jelas dalam prasasti Guntur (907 M). Ketika seorang perempuan menjadi saksi (tatra saksi) dan pemutus suatu perkara hukum (pinariccheda gunadosa).

Kesibukan perempuan dalam menjalankan perannya di dalam masyarakat pada masa Jawa Kuna juga bisa dilihat dalam panil-panil relief berbagai candi. Seperti pada candi Mendut, Borobudur, dan Kalasan. Kesibukan tersebut tak hanya terbatas pada aspek domestik kerumahtanggaan semata, namun juga pada aspek publik. Pada relief Candi Borobudur diperlihatkan perempuan yang menampilan pertunjukan kesenian secara profesional, seperti tari-tarian, musik, sulap, dan lain-lain. Mereka dibayar untuk keahliannya dan dibebani pajak atas pekerjaannya tersebut.

Jangan lupakan pula bahwa pada masa raja Hayam Wuruk, terdapat Dewan Pertimbangan Kerajaan yang beranggotakan permaisuri, ibunda raja, serta adik perempuan raja. Juga pada masa raja Pu Sindok yang memberikan ruang bagi istrinya dalam kegiatan publik, yaitu kegiatan peresmian suatu daerah menjadi sima. Hal ini jelas diuraikan dalam prasasti Wulig (935 M) yang menyebutkan bahwa Rakai Mangibil, selir Pu Sindok, meresmikan bendungan di Desa Kahulunan, Wuatan Wulas, dan Wuatan. Terlihat sekali bahwa peran perempuan tidak diabaikan, dan diberikan ruang pada masa-masa itu.

Macak, manak, dan masak

Walaupun demikian, peran perempuan untuk dapat berkiprah dalam dunia kemasyarakatan tentu saja tidak selalu ada dalam setiap wilayah dan kebudayaan. Serat Candrarini, misalnya, menyebutkan bahwa peran perempuan dalam aspek domestik keluarga meliputi tiga hal. Macak (berhias dan berbusana sebaik-baiknya), manak (menjaga, memelihara, dan mendidik anak), dan masak (mengurusi dapur). Dalam Sastra Jawa, karya raja dan pujangga keraton abad ke-18 dan ke-19 Masehi, memperlihatkan keterbatasan peran dan kedudukan perempuan di sektor domestik.

Peran perempuan dalam masyarakat Bali

Di Bali banyak data artefaktual yang memberikan gambaran bagaimana peran perempuan dalam masyarakat dan pemerintahan.

Dalam agama Hindu, perempuan memiliki kedudukan yang istimewa daripada lelaki. Seloka-seloka pada kitab lontar Manu Dharmmasastra atau Manawa Dharmmasastra, misalnya. Beberapa kali menyebutkan betapa istimewanya perempuan Seloka 57 mengisahkan bahwa kebahagiaan keluarga terletak pada kebahagiaan perempuan yang ada dalam keluarga tersebut. Seloka 58 menyebutkan bahwa keluarga yang tidak memuliakan perempuan akan dihancurkan oleh kekuatan gaib. Seloka 59 mengajarkan bahwa seseorang yang ingin hidup sejahtera harus selalu menghormati perempuan dengan memberinya hadiah perhiasan, pakaian, dan makanan pada hari raya.

Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa, yang memerintah pada periode 955–967 M menyebutkan pula nama permaisurinya, Sri Subhadrika Dharmasewi, dalam semua prasasti yang diterbitkannya. Gelar raja dan permaisurinya ini dimuat dengan lengkap dalam prasasti Manik Liu AI (955 M), Manik Liu BI (955 M), Manik Liu C (955 M), dan Kintamani A (977 M).

Dalam sejarah pemerintahan raja-raja Bali Kuno tidak ditemukan adanya peralihan kekuasaan secara paksa. Apabila raja wafat, permaisuri memiliki hak untuk menduduki tahta. Hal ini terdapat pada prasasti Babahan, Klandis, dan Babi A yang diterbitkan oleh Raja Sri Walaprabhu pada periode 1079–1089 Masehi. Rupanya Sri Walaprabu ini adalah istri mendiang Sri Aji Wungsu, yang naik tahta setelah suaminya mangkat. Juga prasasti Sembiran (1016 M) yang menyebut nama raja Sri Ajnadewi. Sejarah juga mencatat bahwa pengganti Anak Wungsu setelah ia wafat adalah perempuan yang bergelar Sri Maharaja Sakalendukiranan Isanna Gunadharma Laksmidhara Wijayottunggadewi yang bertahta pada periode 1077–1115 Masehi.

Kesetaraan telah ada sejak dulu

Kesetaraan peran perempuan rupanya telah dikenal sejak masa Indonesia Kuna. Perempuan dipandang istimewa dan diberikan ruang yang cukup untuk mengekspresikan dirinya. Perempuan diposisikan sebagai mitra lelaki yang memiliki keleluasaan bergerak, baik di ranah publik maupun domestik. Perempuan memiliki hak dalam menuangkan pemikiran kritis dan upaya-upaya penting bagi kemajuan masyarakat. Perempuan, sebenarnya sudah memiliki andil besar jauh sebelum negara Indonesia ini merdeka.

Peringatan Hari Ibu di Indonesia sebenarnya sarat dengan pesan pemberdayaan bahwa kaum perempuan pun bisa memiliki ide dan mimpi besar bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Selamat Hari Ibu, para perempuan Indonesia!

Sumber foto: arkeologi.fib.ugm.ac.id