Oleh: Rusmiyati
Muarajambi
Kawasan Muarajambi[1] merupakan salah satu Cagar Budaya yang dimiliki oleh Indonesia yang terletak lebih kurang 40 kilometer dari Kota Jambi, atau 30 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Muarojambi. Secara astronomis situs ini berada pada 103o22’ BT hingga 103o45’ BT dan 1o24’ LS hingga 1o33’ LS. Secara administratif daerah-daerah yang tercakup dalam Kawasan Muarajambi meliputi tujuh wilayah desa, yaitu Desa Dusun Baru, Desa Danau Lamo, Desa Muarajambi, Desa Kemingking Luar dan Desa Kemingking Dalam, Desa Teluk Jambu, dan Desa Dusun Mudo. Ketujuh desa tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Maro Sebo dan Taman Rajo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi.[2]
Kawasan Muarajambi[3] merupakan tinggalan arkeologi dari Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya yang pernah menjadi pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Asia setelah Nalanda (India). Selain itu, tinggalan arkeologi di Kawasan Muarajambi ini merupakan yang terluas dan terlama masa berfungsinya. Tidak saja di Sumatera tetapi juga di Indonesia.
Candi dan menapo
Tinggalan arkeologis yang paling sering dibicarakan dan diteliti yang terdapat di Kawasan ini adalah reruntuhan bangunan kuno yang diidentifikasikan sebagai candi dan menapo–menapo[4]. Dari sekian banyak reruntuhan bangunan kuno tersebut sembilan di antaranya telah dibuka dan dilakukan penanganan pelestarian secara intensif. Kesembilan bangunan candi itu adalah Candi Gumpung, Candi Tinggi I, Candi Tinggi II, Candi Kembarbatu, Candi Astano, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Candi Kedaton, dan Candi Kotomahligai serta danau tua, yaitu Danau Telagarajo (Kemendikbud, 2013).
Tinggalan lain berupa kanal-kanal kuno penanggulangan banjir musiman, sekaligus sebagai batas antara kawasan hunian dengan lingkungan sekitarnya, pemukiman kuno[5], puluhan menapo yaitu gundukan tanah berisi bata kuno dan parit-parit melingkar sebagai bekas lokasi bangunan. Kawasan Muarajambi juga didukung lingkungan alam berupa hutan sekunder, rawa, dan saluran air yang masih terjaga kelestariannya. Sungai Batanghari sebagai aliran utama melintasi kawasan ini. Selain itu juga ditemukan benda-benda keramik, arca batu, peralatan kehidupan sehari-hari, dan perhiasan yang berasal dari masa berbeda. Ditemukan pula sisa industri manik-manik dan tembikar dan sisa rumah tinggal (Kemendikbud, 2013).
Penelitian
Nama Muarajambi kali pertama muncul dari laporan seorang perwira angkatan laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke pada 1820. Crooke melaporkan bahwa ia melihat reruntuhan bangunan dan menemukan satu arca yang menggambarkan arca Buddha. Keterangan Crooke ini kemudian dilengkapi oleh T. Adam, seorang Belanda yang berkunjung ke Jambi pada 1921. Adam juga tidak menyebutkan peninggalan-peninggalan lain di luar bangunan dan arca. Tiga belas tahun kemudian, F.M.Schnitger mengunjungi Jambi. Ia menambahkan beberapa informasi tentang nama-nama candi baru selain Astano, yaitu Gumpung, Tinggi, Gunung Perak, Gudang Garem, Gedong I, dan Gedong II. Schnitger sempat melakukan ekskavasi pada bagian dalam sejumlah candi (Mundardjito, 1995, 1996; SPSP Jambi, 1999, 2000).
Schnitger juga merupakan peneliti pertama yang menghubungkan Kawasan Muarajambi dengan kerajaan Melayu (Mo-lo-yeu) yang disebut dalam naskah Cina abad ke-7. Ia menggunakan sungai kecil bernama Melayu di sebelah barat Desa Muarajambi sebagai dasar pemikirannya.
Naskah kuna
Informasi tertua yang berhubungan dengan daerah Jambi ditemukan pada Naskah Berita Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan Kerajaan Mo-lo-yeu ke Cina pada 644 M dan 645 M. Pendeta I-Tsing pada 672 M sebelum melanjutkan perjalanannya ke Nalanda, India menyempatkan singgah selama 2 bulan di Mo-lo-yeu untuk memperdalam bahasa sansekerta. Ketika beliau kembali dari India dikatakan Mo-lo-yeu pada 692 telah menjadi bagian Shih-li-fo-shih (Sriwijaya).
Suatu keadaan yang ditafsirkan terkait erat dengan Prasasti Karangbrahi (686 M) yang ditemukan di wilayah Jambi hulu. Berita Cina pada 853 dan 871, menyebut kedatangan misi dagang dari Chan-pi atau Pi-chan. Berita Dinasti Sung (960-1279 M) menyebutkan bahwa Chan-pi merupakan tempat bersemayamnya Maharaja San-fo-tsi (Sriwijaya), rakyatnya tinggal di rumah-rumah panggung di tepi sungai, sedangkan raja dan para pejabatnya bermukim di daratan.
Sekitar awal abad ke-11 Masehi Chan-pi menobatkan raja di negerinya sendiri dan mengirim utusan ke Cina pada 1079, 1082, serta 1088 M sebagai pemberitahuan bahwa Chan-pi telah menjadi negeri yang berdaulat (Mundardjito, 1995, 1996; SPSP Jambi, 1999, 2000; Sutikno, 1992).
Pelestarian
Pada 1954, kawasan ini diteliti oleh tim dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah pimpinan R. Soekmono. Tim melakukan pengambilan foto-foto baru dan menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kawasan ini dengan kerajaan Sriwijaya. Kemudian pada 1975, kegiatan pemugaran candi-candi yang telah runtuh mulai dilaksanakan oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Selama pembersihan hutan berlangsung, pekerja di lapangan berhasil menampakkan kembali tujuh reruntuhan kompleks candi berukuran relatif besar, yaitu Kotomahligai, Kedaton, Gedong I dan II, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, dan Astano. Pada 1985, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional melakukan pemotretan udara kawasan ini. Tampak jelas dalam peta bahwa Kawasan Muarajambi memiliki sistem kanal yang dibuat mengelilingi tanggul alam (SPSP Jambi, 1999, 2000).
Sementara itu, dari aspek pemugaran bangunan di Kawasan Muarajambi ini telah dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah) sejak 1978 sesudah dilakukan pembersihan besar-besaran di beberapa bangunan candi. Pemugaran pertama di lakukan di Candi Tinggi pada 1978/1979, lalu Candi Gumpung pada 1982 hingga 1988. Mulai 2009 hingga sekarang dilanjutkan kegiatan pemugaran dan pelestarian pada bangunan Candi Astano, Candi Kembarbatu, Pagar Candi Gedong I, Pagar Candi Gedong II, Candi Tinggi I, dan Candi Kedaton[6].
Nilai Penting
Kawasan Muarajambi memiliki nilai penting dari berbagai aspek[7], di antaranya adalah aspek arsitektur, kronologi, fungsi dan identitas. Dalam kaitannya dengan arsitektur diketahui bahwa berdasarkan tinggalan berupa kompleks percandian yang sudah dilakukan pengupasan dan pemugaran terdapat berbagai macam bentuk, ukuran, ragam hias dan gaya bangunan candi. Selain itu, masing-masing kompleks juga memiliki bentuk, ukuran, dan penataan bangunan yang berbeda-beda.
Dalam kaitannya dengan kronologi diketahui bahwa Kawasan Muarajambi terdapat di kawasan yang sangat luas dan memiliki karakteristik yang khas. Sebagian dari bangunan-bangunan bata tersebut mengelompok di suatu tempat yang dikelilingi tembok pagar keliling, misalnya Candi Teluk, Kembarbatu, Gedong, Gumpung, Tinggi, Kotomahligai, dan Kedaton. Sebagian lagi merupakan suatu bangunan tersendiri yang letaknya terpisah-pisah, misalnya Candi Astano, Manapo Melayu, dan beberapa manapo (bukit kecil) lainnya.
Di Candi Gumpung pernah ditemukan arca tanpa kepala dan kedua lengan. Berdasarkan jenis kelamin dan sikap tangannya (mudra), arca ini diduga sebagai arca Prajnaparamita (Dewi Pengetahuan dalam sistem pantheon Buddha). Arca ini mirip dengan arca serupa yang ditemukan di Jawa yang bergaya Singhasari berasal dari sekitar abad ke-13 Masehi. Di candi ini juga pernah ditemukan kertas emas.
Berdasarkan bentuk aksara pada kertas emas diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-9–10 Masehi. Sementara itu, di sekitar kawasan percandian ini banyak pula ditemukan pecahan keramik Cina yang sebagian besar berasal dari masa Dinasti Song-Yuan (abad ke-11–14 Masehi), di samping dari masa yang lebih tua, yaitu dari Dinasti T’ang (abad ke-8–9 Masehi).
Sementara itu, dalam kaitannya dengan fungsi diketahui bahwa Kawasan Muarajambi terdapat berbagai indikator menarik. Sebagai contoh, pada waktu dilakukan pembongkaran bagian dasar bangunan Candi Gumpung, di bagian tengahnya ditemukan 13 lubang yang berdenah bujursangkar berisi barang-barang berupa kertas emas. batu mulia, kertas emas bertulisan dengan aksara Jawa Kuna, dan cepuk emas. Konstelasi lubang-lubang ini menuruti delapan penjuru mata angin. Pertulisan pada kertas emas tersebut menyebutkan mantra-mantra agama Buddha sesuai dengan penempatan pada arah mata-angin.
Artefak
Di halaman Candi Kedaton ditemukan satu kuali yang dibuat dari bahan perunggu. Ukurannya cukup besar dengan garis-tengah sekitar 1 meter dan tinggi 1 meter. Di bagian tepinya terdapat kupingan untuk menggantungkannya pada sebatang balok kayu. Kuali dengan ukuran bentuk yang unik ini tentunya memiliki fungsi khusus pada masa lalu. Selain itu, sebagaimana halnya candi-candi di Jawa, halaman candi di Muarajambi agaknya ditempatkan sepasang arca dwarapala (arca penjaga). Di dekat pintu masuk halaman Candi Gedong ditemukan satu arca dwarapala yang dibuat dari batu.
Berbeda dengan temuan di Jawa, arca dwarapala di situs ini memiliki raut wajahnya tidak menyeramkan bahkan lebih terkesan jenaka. Temuan-temuan lain dari Kawasan Muarajambi yang cukup menarik adalah berbagai bentuk perhiasan dari bahan emas dan batu-batu mulia. Temuan ini sebagian besar ditemukan di halaman bangunan candi. Sementara, di daerah sepanjang tepian Batanghari ditemukan petunjuk permukiman kuna berupa pecahan-pecahan keramik dan tembikar. Barang-barang tersebut merupakan barang yang biasa dipakai untuk keperluan sehari-hari, misalnya untuk memasak dan makan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa Kawasan Muarajambi memiliki ciri yang khas dibandingkan dengan kawasan atau situs lainnya. Ciri-ciri ini tercermin dari tinggalan budaya materinya serta lingkungan alam Kawasan Muarajambi itu sendiri. Seperti diketahui bahwa hampir seluruh tinggalan budaya materi di Kawasan Muarajambi mempunyai latar belakang agama Buddha.
Selain itu juga berdasarkan sumber asing, dalam hal ini sumber berita Cina, dikatakan bahwa Kawasan Muarajambi merupakan kawasan yang dahulunya digunakan sebagai pusat pendidikan agama Buddha. Seperti ditulis I-Tsing ketika beliau tinggal di Fo-Shih: “Di kawasan berpagar tembok di Fo-Shih, tinggal ribuan bhikshu yang tekun belajar dan beribadah.” Maka dapat disimpulkan bahwa Kawasan Muarajambi memiliki nilai identitas sebagai Kawasan yang memiliki latar belakang keagamaan Buddha dan sebagai pusat pendidikan agama Buddha.
Hasil Kegiatan penelitian yang dilakukan di Kawasan Muarajambi tentunya bukan hanya untuk kepentingan peneliti bagi ilmu pengetahuan semata, namun juga harus dapat dimanfaatkan secara luas untuk kepentingan masyarakat umum. Masyarakat juga memiliki kepentingan dan tanggung jawab terhadap hasil penelitian tersebut, bukan hanya negara dan institusinya. Dengan demikian tinggalan budaya bukan milik publik yang tunggal, namun jamak (Cleere 1989:5–10; Hodder 1999).
Pemanfaatan
Oleh sebab itu pemanfaatan hasil penelitian Kawasan Muarajambi ini sesungguhnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan menyalurkan informasi hasil penelitian melalui publikasi, pengeluaran kebijakan, pengembangan wisata, program pendidikan, konsep baru dan lain sebagainya. Salah satu media penting untuk penyampaian informasi hasil penelitian Kawasan Muarajambi adalah melalui lembaga museum (baca museum situs Muarajambi).
Pada saat ini di Kawasan Muarajambi telah ada satu bangunan yang diberi nama Pusat Informasi Kawasan Percandian Muarajambi yang berfungsi sebagai tempat menyimpan dan memamerkan temuan hasil penelitian di Kawasan Muarajambi. Selain itu pusat informasi ini juga berfungsi sebagai tempat penyebarluasan informasi mengenai Kawasan Muarajambi. Koleksi yang terdapat di pusat informasi ini merupakan kumpulan bukti material manusia dan lingkungannya yang berkaitan dengan Kawasan Muarajambi yang berlatar Buddhistik. Di Pusat Informasi ini terdapat 1057 koleksi, baik yang dipamerkan maupun yang disimpan di gudang.
Referensi
[1] Penulisan kata Muarajambi mengacu pada Cagar Budayanya, sedangkan kata Muarojambi mengacu pada wilayah administarsi tempat Cagar Budaya tersebut berada.
[2] Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. (2004). Naskah Master Plan Wilayah I Situs Muarajambi, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Hal. 1. Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala jambi.
[3] Berdasarkan hasil inventaris BPCB Jambi pada 2012, Kawasan Muarajambi memiliki 121 tinggalan budaya berupa candi-candi, menapo, kolam kuno, danau, sungai-sungai buatan, dan sisa-sisa pemukiman yang menempati ruang geografis lebih kurang 3.981 hektar.
[4] Menapo merupakan sebutan masyarakat Desa Muarajambi terhadap gundukan tanah atau reruntuhan bata kuno sisa aktivitas manusia.
[5] Pemukiman kuno di Kawasan Muarajambi indikasinya berupa dataran yang di dalamnya ditemukan sisa-sisa perkakas rumah tangga, seperti keramik asing, genting atap rumah, benda-benda logam, perhiasan, manik-manik, dan artefak lainnya.
[6] Disarikan dari laporan-laporan pemugaran candi-candi dan menapo di sekitar Kawasan Muarajambi yang dilakukan oleh Ditlinbinjarah melalui SPSP Jambi.
[7] Nilai penting dari berbagai aspek ini disarikan dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli dan instansi, di antaranya adalah: M.G. Coedès pada 1918 menerbitkan tulisan “Le Royaume de Çrïvijaya.” Satu tahun kemudian, Prof. Krom melakukan hal serupa yang kemudian diikuti oleh Ferrand, tiga tahun kemudian. Sementara itu, sarjana-sarjana lain juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap berbagai aspek yang berbeda mengenai sejarah Sriwijaya. Di antaranya yang cukup menonjol adalah Vogel, W.F. Stutterheim, Mus, J. L. Moens, F.D.K. Bosch, F.M. Schnitger, dan dari India adalah R.C. Majumdar dan Nilakanta Sastri. Belakangan ini studi dan penelitian yang intensif dilakukan oleh J.G. de Casparis, O.W.Wolters, P-Y. Manguin dan E. Edwards McKinnon.
Sementara dari Indonesia, penyidikan dan penelitian dipelopori oleh Prof. Dr. Satyawati Suleiman (Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional), Prof. M. Boechari, Prof. Dr. Slamet Muljana, Prof. Dr. R. Soekmono, Prof. Dr. R. P. Soejono, Prof. Dr. Edi Sedyawati (UI), Dr. Endang Sri Hardiati (Ex Director of the Museum National, Jakarta), Prof. Harry Truman Simanjuntak (LIPI), Prof. Dr. Mundardjito (UI), Junus Satrio Atmodjo, Prof. Dr. Timbul Haryono (UGM), Dr. Daud Aris Tanudirdjo (UGM), Nurhadi Rangkuti.
Daftar Pustaka
Cleere, Henry F. (1989). “Introduction: the rational of archaeological management” dalam Henry F.Cleere (Ed.). Archaeological Heritage Management in the Modern World, London: Union-Hyman.
Hodder, I. (1999). The Archaeological Process, An Introduction, Oxford: Blackwell
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). “Salinan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 259/M/2013 tentang Satuan Ruang Geografis Muarajambi Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional”
Mundardjito. (1995). Hubungan Situs Arkeologi dan Lingkungan Wilayah Jambi. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi dan Geologi Provinsi Jambi 1994–1995. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jambi.
Mundardjito. (1996). Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit Trowulan. Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jakarta. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi. (1999). Laporan Ekskavasi Penyelamatan Menapo-Menapo di Situs Muarajambi. Jambi: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi.
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi. (2000). Laporan Ekskavasi Penyelamatan Menapo-Menapo di Situs Muarajambi. Jambi: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi.
Sutikno, Aris Poniman, Maulana Ibrahim. (1992). “Tinjauan Geomorfologi-Geografis Situs Muarajambi dan Sekitarnya”. Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi, 7–8 Desember 1992. Kerjasama Pemda Tingkat I Jambi dan Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Jambi.