“Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali, kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara..” Penggalan lirik lagu di atas sudah tentu tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Lagu ciptaan Saridjah Niung atau yang lebih kita kenal dengan Ibu Sud ini biasa dinyanyikan oleh anak-anak, utamanya saat bepergian ke gunung. Letak Indonesia di Cincin Api Pasifik, membuat banyak gunung api tersebar di seantero negeri ini. Oleh karenanya, gunung menjadi salah satu obyek wisata yang paling banyak ditemui Indonesia. Akan tetapi, banyaknya gunung terutama gunung berapi seharusnya juga membuat kita menjadi waspada. Letusan gunung api di Indonesia merupakan ancaman yang mematikan dan tidak dapat dihindarkan. Gunung api ibarat dua sisi uang koin, ia dapat mematikan manusia, namun di sisi lain juga dapat menguntungkan manusia. Selain dapat menjadi objek wisata, gunung api menciptakan tanah subur yang cocok ditanam berbagai macam produk pertanian.
Banyak cerita di Indonesia yang mengisahkan tentang bencana letusan gunung api. Misalnya kisah tentang dahsyatnya letusan Tambora dan Krakatau. Kisah lain terjadi di masa klasik. Ada pendapat yang menyatakan bahwa letusan Gunung Merapi pernah membuat pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (2013) dijelaskan jika letusan Merapi pada awal abad X terjadi sangat dahsyat. Letusannya membuat ibukota kerajaan rusak, begitu juga dengan daerah persawahan. Rusaknya ibukota dan daerah persawahan membuat pusat kerajaan dipindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok.
Selain Merapi, salah satu gunung api aktif yang ada di Indonesia adalah Gunung Kelud. Gunung ini terletak di antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang. Menurut data yang diperoleh dari Die Erdbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857 (1918) dan dari situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sejak tahun 1000 hingga 2014 Gunung Kelud tercatat sudah 34 kali meletus. Aktifnya Kelud rupanya sudah disadari oleh masyarakat di sekitarnya sejak lama. Menurut Dwi Cahyono (2012) terdapat bendungan dan aliran sungai buatan yang dibangun untuk jalur lahar dingin letusan Kelud di masa lalu. Bendungan dan aliran sungai tersebut dibangun pada tahun 804 Masehi. Hal ini diketahui berdasarkan Prasasti Harinjing atau Sukabumi yang bertahun 921 Masehi. Prasasti ini ditemukan di Desa Siman, Kabupaten Kediri dan kini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D.173. Aliran sungai buatan yang dibangun oleh Bagawanta Bhari ini sekarang dikenal dengan Sungai Serinjing.
Salah satu letusan Kelud yang besar terjadi antara 19 dan 20 Mei 1919 tengah malam. Letusan ini membuat 5.160 orang meninggal dunia, merusak 104 desa, 9.000 rumah, 135 km2 lahan subur, dan menyebabkan 1.571 hewan peliharaan mati seperti yang dicatat Dwi Cahyono dalam Vulkano-Historis Kelud: Dinamika Hubungan Manusia-Gunung Api. Material yang keluar dari letusan Kelud membuat banyak kerusakan terjadi. Salah satu daerah yang paling para kerusakannya adalah Blitar. Tercatat rumah-rumah penduduk, bangunan pemerintahan, jalan, jembatan, dan infrastruktur publik lainnya hancur seperti yang ditulis Ulin Nihayatul dkk dalam The Eruption of Mount Kelud and It’s Impacts in Blitar 1919-1922.
Dampak parah yang diakibatkan letusan Kelud membuat pemerintah Hindia Belanda lekas bertindak dengan mendirikan Vulkaan Bewaking Dienst (Dinas Penjagaan Gunung Api) pada 16 September 1920. Dinas ini berada di bawah kendali Dienst van Mijnwezen (Dinas Pertambangan) dan dipimpin oleh Georges Laure Louis Kemmerling seorang ahli Geologi lulusan Universitas Freiburg kelahiran Maastricht Belanda 26 Januari 1888. Kemmerling, pada awalnya adalah seorang pegawai perusahaan minyak Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij.
Tujuan utama pemerintah mendirikan Vulkaan Bewaking Dienst yang kemudian pada 1922 diubah namanya menjadi Volcanologische Onderzoek (VO) adalah untuk melakukan pengamatan dan memberikan informasi kepada pemerintah dan penduduk yang berada di sekitar gunung berapi jika muncul tanda-tanda letusan seperti yang ditulis Peter de Ruiter dalam disertasinya yang berjudul Het Mijnwezen in Nederlands-Oost-Indië 1850-1950. Ada beberapa gunung yang menjadi perhatian Vulkaan Bewaking Dienst saat itu Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Krakatau, Gunung Merapi, Gunung Ijen, dan Gunung Kelud.
Vulkaan Bewaking Dienst langsung bergerak dengan membangun terowongan di sekitar Kelud untuk mengurangi dampak letusan yang kiranya akan terjadi di masa mendatang. Sebelumnya, pada 1905 dibangun dam di sekitar Kali Badak untuk mengubah arah aliran lahar. Sementara itu, pada tahun 1907 dibangun saluran untuk mengurangi volume air, namun masih belum bisa mengurangi volume air yang ada. Harian Kompas dalam laporannya bertajuk Ekspedisi Cincin Api 2011: Mengelola Banjir Lahar mencatat saat letusan tahun 1915 volume air di kawah Kelud adalah 1.800.000 m3 membuat lahar meluncur sejauh 6,5 km dan memakan tujuh korban jiwa. Sementara itu, letusan tahun 1919 volume air di danau kawah sejumlah 40.000.000 m3 membuat lahar meluncur sejauh 37,5 km dan memakan 5.000-an korban jiwa. Dari catatan tersebut, dapat diketahui semakin besar volume air di kawah Kelud maka jarak luncur lahar akan semakin jauh. Terowongan dibangun untuk mengurangi volume air yang ada di kawah Kelud untuk kemudian dialirkan menuju Kali Badak.
Total, ada tujuh terowongan yang dibangun oleh pemerintah. Pembangunan terowongan dimulai pada 1920 dengan menggali kedua dinding sisi kawah saat kondisi air di kawah Kelud sedang kering (Van Bemmelen, 1949). Namun, pengerjaan pembangunan terowongan yang dipimpin oleh Von Steiger sempat terhenti pada 1923 karena runtuhnya terowongan. Peristiwa ini mengakibatkan beberapa pekerja tewas. Di tahun yang sama, pembuat terowongan dilanjutkan oleh H. Tromp dengan menambahkan pipa penyedot agar mempercepat penyedotan air kawah seperti yang dijelaskan oleh Commission of Volcanic Lakes dalam Kelud Volcano. Terowongan sepanjang 955 m ini selesai dibangun pada 1926. Di kemudian hari, terowongan lain sepanjang 45 m dibangun pada 1966. Terowongan kedua ini dikenal juga dengan sebutan Terowongan Ampera. Terowongan Ampera dibangun tujuannya sama, yaitu untuk mengurangi volume air yang ada di kawah Kelud.
Pembangunan aliran sungai buatan dan terowongan di atas dilakukan sebagai salah satu cara manusia meminimalisir dampak bencana letusan gunung api. Kisah pembangunan tersebut dapat menjadi pedoman manusia sekarang dan di masa yang akan datang. Hidup diantara gunung api tidak serta merta membuat kita harus pasrah dengan keadaan yang ada. (Omar Mochtar, Subdit Registrasi Nasional)