Indonesia di Banda Neira

0
5710
Kota kecil Banda Neira, berlatar Laut Banda dan Gunung Api. Bangunan besar berdenah pentagonal adalah Benteng Belgica yang menjadi ikon kota.
Kota kecil Banda Neira, berlatar Laut Banda dan Gunung Api. Bangunan besar berdenah pentagonal adalah Benteng Belgica yang menjadi ikon kota.

Daratan kecil di antara gugusan Kepulauan Banda

Cerita tentang Banda Neira sudah lama menggugah rasa penasaran dan keinginan saya untuk pergi ke sana. Ya, Pulau Neira, daratan kecil di antara gugusan Kepulauan Banda, Maluku. Banda Neira adalah kota kecil (kota kecamatan) di Pulau Neira yang termasyur oleh sejarah panjang yang mengukirnya. Bermula dari kedatangan bangsa Cina dan Arab untuk berdagang. Lalu masuknya bangsa kolonial untuk mengambil rempah demi membangun kota-kota di Eropa. Hingga cerita pengasingan beberapa tokoh bangsa.

April ini saya dan teman-teman datang ke Neira. Kami beruntung bisa mendapatkan tiket pesawat perintis yang terbang dari Ambon ke Banda Neira hanya dua kali seminggu. Begitu mendarat di Banda Neira, kami dijemput oleh Kak Imelda, karyawan penginapan tempat kami akan tinggal di sana. Sepanjang perjalanan dari bandara ke penginapan yang berjarak kurang dari dua kilometer, Kak Imelda menunjukkan kepada kami bangunan-bangunan tua bersejarah. Saya mendapati diri saya terkagum-kagum oleh jalanan lengang di Banda Neira. Rumah-rumah penduduk yang tampak lawas namun asri, dan bangunan-bangunan bersejarah yang berdiri di setiap jengkal.

Orang-orang bersiap di atas kora-kora untuk menyambut kapal pesiar singgah di Neira.
Orang-orang bersiap di atas kora-kora untuk menyambut kapal pesiar singgah di Neira.

Enam Negeri

Banda Neira terbagi menjadi enam wilayah administratif negeri, tiga di antaranya bernama Negeri Nusantara, Negeri Dwiwarna, dan Negeri Merdeka. Sangat Indonesia! Negeri adalah istilah yang setara dengan desa atau kelurahan. Bangunan-bangunan tua terkonsentris di Negeri Nusantara dan Negeri Dwiwarna. Demikian juga dengan fasilitas publik seperti pasar, dermaga, sekolah, rumah sakit, dan perkantoran. Penginapan untuk wisatawan kebanyakan adalah di rumah-rumah penduduk yang dikembangkan menjadi tempat menginap (homestay). Biasanya merupakan rumah berusia puluhan tahun, dilihat dari bentuk atau desain bangunannya.

Masyarakat Neira ramah. Dari cerita yang kami dengar, karena pulau ini sering didatangi turis, masyarakatnya terlatih untuk ramah dan bersahabat kepada semua yang datang. Anak-anak mudanya bahkan terbiasa berbahasa Inggris. Sebagian dari mereka punya pekerjaan rutin, yaitu menyambut rombongan turis asing dari kapal-kapal pesiar yang berlabuh di Banda Neira setidaknya sekali dalam sebulan.

Istana Mini

Enam hari di Banda Neira, kami menjelajah ke hampir semua bangunan bersejarah. Istana Mini yang menjadi salah satu landmark pulau kami kunjungi pada awal kedatangan. Bangunan ini dikenal sebagai prototipe dari istana-istana buatan Belanda di Indonesia. Oleh karena didirikan paling awal, yaitu pada 1683. Dahulu Istana Mini merupakan tempat tinggal Gubernur VOC. Istana dibangun dekat dengan pantai, menghadap ke Laut Banda. Di sebelah barat istana berdiri kantor Gubernur VOC. Di timurnya terdapat rumah Deputi atau Wakil Gubernur VOC.

Ada sesuatu yang menarik perhatian saya saat masuk ke salah satu kamar di Istana Mini. Di suatu sudut kaca jendela, ada goresan tulisan tangan berbahasa Perancis. Saya hanya sedikit memahami bahasa Perancis. Saya tidak yakin dengan arti tulisan itu, hanya mengerti bahwa si empunya tulisan sedang sangat frustasi karena merindukan keluarganya. Ia mencurahkan isi hati dengan menulis di kaca jendela itu pada 1 September 1831. Sesaat setelah saya membaca tulisan itu, seorang teman menghampiri dan bercerita bahwa dahulu, di istana itu seorang pemuda Perancis bunuh diri. Saya tertegun.

Tempat tokoh bangsa diasingkan

Rumah-rumah pengasingan tokoh bangsa adalah magnet bagi turis domestik yang mengunjungi Banda Neira. Adalah mereka, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dr. Tjipto, dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Empat putra bangsa yang karena memberontak kepada Belanda kemudian diasingkan di Banda Neira. Rekaman aktivitas mereka selama di pengasingan dapat dilihat dari foto-foto dan koleksi benda-benda yang tersimpan di rumah pengasingan. Bung Hatta misalnya. Selama di pengasingan ia aktif mengajar anak-anak Neira. Bangku dan meja belajar murid-muridnya masih ada. Berjajar rapi di teras paviliun, di sisi belakang rumah.

Gereja Tua Neira. Dibangun di atas pusara orang-orang Belanda, prasastinya berjajar di lantai gereja.
Gereja Tua Neira dibangun di atas pusara orang-orang Belanda, prasastinya berjajar di lantai gereja.

Klenteng dan Gereja

Klenteng Sun Thien Khong dan Gereja Tua Neira adalah bangunan menarik berikutnya. Klenteng Sun Thien Khong didirikan jauh sebelum bangsa Portugis datang di pulau ini sekitar 1600-an. Artinya klenteng ini telah berumur lebih dari 400 tahun. Klenteng berdiri di area pasar, sehingga mudah ditebak bahwa dahulu wilayah itu merupakan pecinan. Saat ini Klenteng Sun Thien Khong masih digunakan untuk sembahyang umat Tionghoa Banda yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang saja.

Gereja Tua Neira dibangun VOC pada 1873. Gereja protestan ini didirikan di atas pusara orang-orang Belanda yang meninggal di Neira. Di lantai gereja terdapat 27 prasasti berbahasa Belanda. Prasasti-prasasti itu menjelaskan di antaranya nama, asal, dan profesi orang-orang yang meninggal dan dikuburkan di tempat itu. Hampir semua komponen bangunan masih utuh. Bangku-bangku umat semuanya masih asli. Gereja ini sekarang berfungsi menjadi gereja oikumene yang dipakai bersama oleh umat protestan dan katolik.

Kenari

Makanan adalah hal lain yang membuat kami semua betah berada di Neira. Oleh karena daerah pantai, tentu saja makanan laut menjadi santapan kami setiap hari. Penginapan kami memberikan fasilitas makan tiga kali sehari. Ada tiga pegawai perempuan yang bertanggung jawab mengerjakan urusan ini. Menurut saya mereka bertiga adalah koki yang piawai. Meski tak banyak pilihan bahannya, namun cita rasa dari setiap lauk dan sayur yang mereka hidangkan selalu mengejutkan. Saya hampir selalu bertanya apa saja bumbu yang dipakai di menu-menu mereka. Kenari adalah salah satu jawabannya. Mereka sering mencampurkan bubuk biji dari keluarga kacang-kacangan ini sebagai bumbu pada masakan. Kenari memang tumbuh subur di pulau-pulau di Maluku.

Hampir sepekan di Neira, Sabtu siang itu kami bersiap kembali ke Ambon dengan kapal cepat. Kami membeli tiket kapal cepat kelas ekonomi, yang harganya sama dengan tiket pesawat Susi Air saat berangkat. Waktu tempuh kapal cepat adalah enam setengah jam. Ini waktu normal, yaitu jika kondisi laut sedang tenang. Istilah penduduk setempat “seperti disetrika”, yang berarti lautnya tenang, tak bergelombang, sehingga kapal melaju dengan tenang. Sebaliknya, jika arus laut sedang kencang, mereka menyebutnya “barinso-rinso” karena riak gelombangnya seperti busa deterjen. (Ratna Yunnarsih-Subdit Registrasi Nasional)

Baca juga:

curtain-wall-ing (sedikit cerita tentang Benteng Belgica di Neira)

Benteng Belgica di Neira 1 dari 33 Cagar Budaya Peringkat Nasional telah Ditetapkan pada 2015