Drama Lima Tahun: 1960-1965

0
1402

Kaleidoskop Presiden Republik Indonesia-Museum Kepresidenan “Balai Kirti”

Selama lima tahun terakhir kepemimpinan Sukarno sebagai Presiden (1960-1965), tidak menutup mata bahwa hasil-hasil di bidang politik (bukan ekonomi) bisa dikatakan cukup baik. Seperti kembalinya Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi pada 1 mei 1962. Asian Games yang ke-4 yang diselenggarakan di Jakarta, pada 24 Agustus 1962 sampai 4 September 1962. Kemudian GANEFO I (Games of the New Emerging Forces) pada 10 hingga 22 November 1962. Di bidang pembangunan fisik kita masih menyaksikan saat ini Komplek Gelanggang Olah Raga Bung Karno, Monumen Nasional, TVRI, Hotel Indonesia dan sejumlah hotel bertaraf internasional lainnya. Bundaran HI dengan tugu Selamat Datangnya, Toserba Sarinah, Mesjid Istiqlal, Jembatan Semanggi, Gedung MPR-RI yang awalnya untuk gedung CONEFO (Conference of New Emergency Forces), dan Jembatan Ampera Palembang.

Tidak salah kalau pada hari kemerdekaan pada 17 Agustus 1962 Sukarno berpidato Tahun Kemenangan. Namun ada satu ganjalan, terkait berdirinya Negara Malaysia atau kemerdekaan Malaysia oleh Inggris. Maka pada 7 sampai dengan 11 Juni 1963 diadakan Persetujuan Manila atau juga disebut Manila Accord yaitu pertemuan antara Malaysia, Republik Indonesia dan Republik Filipina. Persetujuan itu ditandatangi di Manila pada 31 Juli 1963. Kekhawatirannya justru muncul pada tahun yang sama mengenai akan berdirinya Persekutuan Tanah Melayu (Federasi Malayasia), yaitu penggabungan Malaysia, Brunei, Sabah dan Sarawak. Ini soal serius yang tidak cocok dengan persetujuan Manila tersebut, yaitu Sabah dan Sarawak ingin merdeka sendiri dan akan diadakan pemilu bebas. Keinginan terbentuknya Persekutuan Tanah Melayu tersebut ditentang oleh Presiden Sukarno. Ia menganggap pembentukan Federasi Malaysia, yang sekarang dikenal sebagai Malaysia, sebagai “boneka Inggris”. Ini merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru, serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia. Istilah NEKOLIM (Neo Kolonialisme) menjadi popular, sehingga pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April 1963, sukarelawan Indonesia mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Pada 3 Mei 1964 dalam rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya: Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia; Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia.

Tim Storyline Museum Kepresidenan “Balai Kirti” Bogor