Damar dalam Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Sriwijaya

0
2867
Situs Bukit Siguntang berasal dari sekitar abad ke-8–10 Masehi. Di puncak bukit berdiri satu arca Buddha Sakyamuni yang tingginya lebih dari empat meter yang seolah-olah menjadi semacam landmark kota Śrīwijaya.
Situs Bukit Siguntang berasal dari sekitar abad ke-8–10 Masehi. Di puncak bukit berdiri satu arca Buddha Sakyamuni yang tingginya lebih dari empat meter yang seolah-olah menjadi semacam landmark kota Śrīwijaya.

Oleh: Retno Purwanti

Balai Arkeologi Sumatera Selatan

Pulau Sumatera adalah salah satu pulau terbesar di Indonesia. Di pulau inilah dikenal Kerajaan Sriwijaya, yang merupakan kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-7. Sebagai negara maritim, Kerajaan Sriwijaya menghasilkan komoditi perdagangan dari hutan dan sangat laku di pasaran internasional. Berdasarkan sumber berita Cina dan Portugis dapat diketahui, bahwa daerah-daerah penghasil komoditi tersebut antara lain Pulau Pisang, Karimun, Kundur, Sabang, Buaya, Lingga, Tiku, Pulau Berhala, Bangka, dan Monombay (Belitung). Tempat-tempat tersebut menghasilkan emas dalam jumlah yang sangat tinggi, baik mutu atau pun jumlahnya, kapur barus, lada, sutera, dan damar. Aneka jenis ramuan untuk obat-obatan juga disebutkan: madu, belerang, kapas, lilin, dan rotan yang digunakan sebagai bahan untuk furnitur. Dalam sumber berita asing tersebut belum disebutkan secara khusus daerah-daerah yang menghasilkan komiditi damar dan jaringan perdagangannya .

Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan daerah penghasil damar dan jaringan perdagangannya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Sementara itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan arkeologi sejarah.

Pendahuluan

Perdagangan interinsuler antara kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara dengan kerajaan-kerajaan di kawasan Asia telah terjalin sejak awal abad Masehi (Burger t.t.:15; Wheatley, 2010).  Hal itu terbukti dengan ditemukannya tinggalan arkeologis berupa tembikar dan manik-manik Arikamedu di Situs Karangagung Tengah, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan (Budisantoso, 2005:64–65). Adanya perdagangan Salah satu kerajaan  di kawasan Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang dikenal sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-7–10 Masehi. Dalam kurun waktu tersebut banyak pedagang asing datang dan pergi untuk melakukan pertukaran dengan para pedagang lokal dan dari daerah-daerah lain di Nusantara.

Hal ini bisa terjadi karena Sriwijaya merupakan pelabuhan antara (entreport) (Lapian, 1984; Amelia, 1989). Sebagai pelabuhan antara, Sriwijaya menyediakan barang-barang dagangan dari berbagai negara dan daerah-daerah  di Nusantara dalam jumlah yang melimpah (Hirth and W. W. Rockhill, 1966; Ambary, 1984; Reid, 1984; Amelia, 1989). Wilayah kekuasaan Sriwijaya juga kaya akan sumber daya alam nabati dan hewani memiliki peranan yang cukup penting dalam perdagangan. Sumberdaya alam itu kemudian dikumpulkan dan diolah sedemikian rupa untuk dijadikan komodite perdagangan yang menguntungkan bagi penduduknya (Mujib, 1997:168–169).

Komoditi Kerajaan Sriwijaya

Komoditi perdagangan Kerajaan Sriwijaya dihasilkan dari hutan dan sangat laku di pasaran internasional. Berdasarkan sumber berita Cina dan Portugis dapat diketahui, bahwa daerah-daerah penghasil komoditi tersebut antara lain Pulau Pisang, Karimun, Kundur, Sabang, Buaya, Lingga, Tiku, Pulau Berhala, Bangka, dan Monombay (Belitung). Tempat-tempat tersebut menghasilkan emas dalam jumlah yang sangat tinggi, baik mutu atau pun jumlahnya, kapur barus, lada, sutera, dan damar. Aneka jenis ramuan untuk obat-obatan juga disebutkan: madu, belerang, kapas, lilin, dan rotan yang digunakan sebagai bahan untuk furnitur. Dalam sumber berita asing tersebut belum disebutkan secara khusus daerah-daerah yang menghasilkan komiditi damar dan jaringan perdagangannya. Padahal dari hasil-hasil penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan sejak lima tahun terakhir membuktikan, bahwa damar ditemukan di beberapa situs masa klasik di daerah bawahan Sriwijaya.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daerah-daerah penghasil damar dan jaringan perdagangan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Untuk membahas mengenai daerah-daerah penghasil damar dan jaringan perdagangannya akan digunakan sumber data arkeologi dari hasil penelitian di beberapa situs arkeologi di Sumatera Selatan. Data arkeologi tersebut akan dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan bentuk, kronologi, dan konteksnya. Setelah itu kemudian dilakukan proses sintesis atau interpretasi sesuai dengan tujuan penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Berbagai komodite perdagangan di Sriwijaya yang paling sering disebut oleh para penulis asing adalah kain sutera, rotan, emas, lilin lebah, madu dan tuak, daging, jahe, onion (bawang merah), bawang putih. Seluruh komodite perdagangan itu diperoleh dan dikumpulkan dari daerah pedalaman yang berada jauh dari pusat kota. Masing-masing daerah pedalaman memiliki produk andalan untuk diperdagangkan, seperti: daerah aliran Sungai Lematang menghasilkan lada, beras, kapas; daerah aliran Sungai Musi menghasilkan beras, kapas, lilin, emas, gambir, lada; daerah aliran Sungai Ogan menghasilkan beras, lada, dan rotan; dan daerah aliran Sungai Komering menghasilkan lada dan beras (Husni Rahim, 1993:  34 ; Marsden, 1975:360).

Selain memerdagangkan komodite di atas, pada masa Sriwijaya juga memiliki banyak budak belian untuk diperdagangkan (Cortesao, 1944:156–157). Selain itu, Sriwijaya juga menghasilkan kapur barus, lada, gading gajah, belerang, kamper, cula badak, getah jerenang dan lain-lain (Hirth and W. W. Rockhill, 1966; Amelia, 1989). Catatan Tome Pires, seorang yang berkebangsaan Portugis menyebutkan bahwa damar hitam merupakan salah satu komodite perdagangan di Sriwijaya (Cortesao, 1944:156).

Menurut Tome Pires

Walaupun Tome Pires tidak menyebutkan bahwa Sriwijaya bukan penghasil damar, namun ia menyebutkan bahwa Sriwijaya pernah memerdagangkan damar (Cortesao, 1944:156). Artinya Sriwijaya dipandang sebagai tempat untuk memerdagangkan damar. Pernyataan Tome Pires itu dapat diartikan bahwa memang pusat kota Sriwijaya adalah bukan penghasil damar. Situs-situs masa Sriwijaya di Palembang yang menghasilkan damar adalah Situs Karanganyar dan Gedingsuro, Sriwijaya. Damar yang ditemukan di Situs Karanganyar berbentuk bongkahan besar berwarna putih dan masih menempel pada kayu dan sedikit bercampur dengan tanah seberat 725 kg.

Selain itu ditemukan juga bongkahan kecil damar dengan berat 10 gr berwarna putih bening. Sedangkan temuan damar dalam bentuk kecil-kecil dengan kondisi yang sudah rapuh berwarna hitam kecoklatan sebesar 25 gram di Situs Gedingsuro pada 1996. Selain temuan di Palembang, getah damar yang menempel pada kayu juga ditemukan di Situs Tingkip, Lesungbatu, Binginjungut dan Air Sugihan. Berdasarkan bukti arkeologis tersebut dapat diketahui, bahwa damar merupakan hasil hutan yang didatangkan ke Palembang (pusat Sriwijaya) dari daerah pedalaman.

Tiga kelas damar

Damar sebagai komoditi dagang masa Sriwijaya tetap bertahan pada masa kesultanan Palembang Darussalam. Pada masa kesultanan, damar yang diperdagangkan ada tiga kelas, yaitu damar kelas 3, damar kelas 2 dan damar kelas 1. (Sevenhoven, 2015:57). Dijelaskan juga, bahwa damar ini dikumpulkan dari hutan dan tepi-tepi sungai  (Sevenhoven, 2015:57; 88).

Menurut informasi Marsden (1975:159) damar dapat tumbuh di seluruh Sumatera. Yang meliputi daerah Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung). Wolters (1974) juga menyebutkan bahwa di pegunungan dekat Sriwijaya (Rawas, Lahat, Ogan Komering Ulu, dan Ogan Komering Ilir) menghasilkan damar hitam. Adapun penghasil damar terbesar adalah Sumatera bagian utara (Pase, Pedir, Barus, Tiku, dan Pariaman). Adapun penghasil damar yang bermutu tinggi dan sangat putih adalah Barus, Tiku dan Pariaman (Cortesao, 1944:186).

Di Sumatera Selatan, damar banyak tumbuh di Musi Rawas, Ogan Komering Ilir, Muaraenim, dan Lahat yang merupakan daerah pedalaman (hinterland) yang mudah dicapai melalui sungai dan mengandung potensi sumberdaya alam berupa tambang dan sumberdaya biotik yang dapat diperdagangkan seprti rotan dan damar (Kusumohartono, 1992).  Di daerah Padamaran, Ogan Komering Ilir, diduga merupaka toponimi daerah tempat pengumpul damar di daerah Sumatera Selatan.

Lokasi penghasil damar menurut Marsden dan Kusumohartono tersebut, ternyata sesuai dengan situs-situs penghasil damar, yaitu Situs Tingkip, Lesungbatu, dan Situs Binginjungut. Situs Tingkip dan Lesungbatu berada tidak jauh dari aliran Sungai Rawas, sedangkan Situs Binginjungut berada di tepi Sungai Musi. Selain damar yang ditemukan satu konteks dengan reruntuhan bangunan candi, di sekitar situs Tingkip, Lesungbatu dan Binginjungut sampai sekarang masih ditemukan pohon damar. Dari informasi penduduk diketahui, bahwa sampai 1980an, masyarakat setempat masih sering mengumpulkan getah damar yang banyak tumbuh di hutan-hutan yang dekat dengan aliran sungai.

Damar dalam Jaringan Perdagangan

Perdagangan interinsuler pada masa Sriwijaya melibatkan para pedagang dari Asia Tenggara daratan, Cina, Arab, India dan penduduk nusantara (Leong Sau Heng, 1990:17). Dengan mengacu pada sumber berita asing dapat diketahui, bahwa peta politik Asia Tenggara ditentukan tidak hanya oleh wilayah sekitar perbatasan (peripheral boundaries) melainkan oleh luasnya persebaran otoritas dari pusat-pusat kekuasaan yang awalnya terletak di pedalaman di sepanjang daerah yang dapat dilayari dan terletak di sepanjang tepi pantai dan muara sungai (Leong Sau Heng, 1990:18). Oleh karena itu dalam tulisannya, Sau Heng menjelaskan bahwa stidak-tidaknya dilihat dari peta persebaran situs-situs arkeologis yang ada di Semenanjung Malaya serta berdasarkan kronologi temuannya dapat ditentukan adanya 3 tahapan sistem perdagangan di Asia Tenggara, yang berkaitan dengan jaringan perdagangan.

Ketiga tahapan jaringan perdagangan tersebut adalah collecting centres, feeders points dan entreportCollecting centres yaitu daerah atau situs yang biasanya terletak di pantai maupun di sepanjang daerah aliran sungai di pedalaman. Sebagai pusat pengumpul, maka peranannya adalah sebagai penyedia komoditi khusus lokal (outlets for special produce). Situs ini biasanya terletak di daerah jalur utama perdagangan maupun tidak. Meskipun demikian, daerah ini umumnya terletak pada wilayah yang kaya sumber alam. Di lokasi inilah pada umumnya para pedagang menjemput produk-produk lokal yang dapat dijual ke tingkat perdagangan internasional (barat-timur) (Leong Sau Heng, 1990:23).

Yang disebut dengan  feeders points adalah pusat pelayanan dalam skala lokal kecil. Lokasi feeders points ditentukan oleh faktor hubungan (jarak termudah dan terdekat) untuk mencapai daerah produsen. Oleh karena itu, situs yang diperkirakan merupakan daerah feeders points dapat saja ditemukan di wilayah pedalaman yang dekat dengan sungai (daerah sungai di pedalaman atau daerah pantai). Bisanya situs yang menjadi feeders points itu ditandai dengan sedikitnya bukti adanya pengaruh budaya luar yang masuk (Leong Sau Heng, 1990:29).

Entreport tidak terletak di muara sungai

Entreport (pelabuhan antara) sudah dikenal  di wilayah Asia Tenggara sejak abad pertama masehi. Umumnya pelabuhan entreport itu terletak di muara-muara sungai (Leong Sau Heng, 1990:26).

Berdasarkan ketiga tingkatan dalam sistem perdagangan tersebut, maka situs-situs damar di Tingkip, Lesungbatu dan Binginjungut memiliki peran sebagai pusat pengumpul (collecting centres), karena letaknya di pinggir sungai di daerah pedalaman. Sedikitnya temuan ikut memerkuat asumsi tersebut. Dalam struktur kewilayahan Kerajaan Sriwijaya, pusat pengumpul terletak di daeah vanua (Kulke, 1985). Sebagai daerah pengumpul, maka masyarakat yang tinggal di sekitar ketiga situs hanya menjual damar kepada para pedagang yang kemungkinan datang dari kadatuan (pusat kota).

Dari lokasi ini, damar kemudian dibawa ke kadatuan di Palembang melalui sungai Musi. Pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya merupakan pelabuhan antara bagi komoditi yang ada di daerah-daerah bawahan dan negara-negara lain. Para pedagang (vaniyaga) yang disebut dalam prasasti Telagabatu yang kemudian membawa damar ini ke daerah-daerah lain, baik yang ada di Nusantara maupun mancanegara. Adanya puhavam (nahkoda) dalam prasasti Telagabatu memberikan bukti bahwa komoditi dagang pada masa Sriwijaya dipasarkan dengan menggunakan kapal atau perahu.

Pola ekonomi antara pusat dan pedalaman

Sriwijaya sebagai pelabuhan antara bagi daerah pedalaman berfungsi sebagai perantara  untuk memasarkan hasil buminya dalam perdagangan internasional. Pola ekonomi antara pusat dan daerah pedalaman berupa distribusi komoditi melalui jaringan sungai. Barang komoditi dari tempat asalnya dibawa ke pusat perdagangan yaitu di daerah hulu (tempat pertemuan cabang-cabang anak sungai). Fungsi pusat perdagangan di sini untuk mengawasi arus keluar masuknya komoditi dalam satuan yang kecil.

Dari lokasi ini, komoditi tersebut diangkut ke pusat perdagangan kedua, di pusat pengumpul (collecting centres), yang terdapat di pertemuan anak-anak sungai. Fungsi pusat perdagangan keddua adalah untuk mengawasi arus perdagangan yang keluar dan masuk melalui wilayahnya. Setelah itu, komoditi yang terkumpul diangkut dengan menggunakan kapal yang lebih besar menuju ke pelabuhan utama (Sriwijaya). Fungsi pelabuhan utama adalah mengawasi komoditi yang datang dan pergi dari seluruh wilayah kekuasaannya.

Simpulan

Damar merupakan komoditi dagang pada masa Sriwijaya yang dihasilkan dari daerah pedalaman dan merupakan daerah bawahan Sriwijaya. Damar tersebut dikumpulkan oleh masyarakat di tepi-tepi sungai untuk kemudian dijual kepada para pedagang. Produsen damar adalah Tingkip, Lesungbatu, dan Binginjungut. Ketiga situs tersebut merupakan pusat perdagangan kedua, pusat pengumpul (collecting centres). Dari lokasi inilah damar dibawa melalui Sungai Rawas dan Musi ke pusat Sriwijaya yang ada di Palembang untuk kemudian dipasarkan ke mancanegara.

Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.

Daftar Pustaka

Ambary, Hasan Muarif. 1984. “Archaeology Research in Indonesian Related to Commodity Products and Maritim Trade”, dalam SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritim Shipping and Trade Networks in Southeast Asia. Cisarua Bogor, West Java, Indonesia, November 20–27, 1984. P. 81–88.

Amelia. 1989. “Sriwijaya sebagai Pelabuhan Antara Sekitar Abad 7–13 Masehi”, dalam Proceeding Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, 47 Juli 1989. Jilid I. Studi Regional. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 1–13.

Christie, Jan Wisseman. 1990. “Trade and State Formation in The Malay Peninsula and Sumatra, 300 B.C.–A.D. 700.” Dalam J. Kathirithamby Wells & John Villiers, The Souteast Asian Port and Polity. Singapore: Singapore University Press. P. 39-60.

Budisantosa, Tri Marhaeni S. 2005. Pemukiman Pra-Sriwijaya di Pantai Timur Sumatera Kawasan Karangagung Tengah Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 13. Sriwijaya: Balai Arkeologi Sriwijaya.

Hirth, F. And W.W. Rockhill. 1966. Chau Jua Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in The Twelft and Thirteenth Centuries, entitled ‘Chu Fan Chi’. St. Petersburg.

Greneveldt, W. P. 1960. Historical Notes on Indonesian and Malaya Compiles from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.

Lapian, A. B. 1984. “The Maritim Network in The Indonesian Archipelago in The Fourteenth Century.” dalam SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritim Shipping and Trade Networks in Southeast Asia. Cisarua Bogor, West Java, Indonesia, November 20–27, 1984. P. 71–80.

Leong Sau Heng. 1990. “Collecting Centres, Feeder Points and Entreport in The Malay Peninsula, circa 1000 B. C.–A. D. 1.400.” Dalam J. Kathirithamby Wells & John Villiers, The Souteast Asian Port and Polity. Singapore: Singapore University Press. P. 17-38.

Kusumohartono, Bugie. t.t. Potensi Lingkungan Regional dan Pertumbuhan Peradaban Kuna di Sriwijaya, dalam Himpunan Penelitian Arkeologi Sriwijaya Tahun 19841992. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 28–43 (Tidak terbit).

———.1985. Strategi Adaptasi Lingkungan, Pola Ekonomi dan Pelestarian Kekuasaan. Paparan mengenai Beberapa Data Jaman Indonesia Kuna, dalam Berkala Arkeologi Th. VI (2), Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 33–47.

———–. 1992. Potensi Lingkungan Regional dan Pertumbuhan Peradaban Kuna di Sriwijaya, dalam Himpunan Hasil Penelitian Arkeologi di Sriwijaya Tahun 19841992. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. (Tidak terbit).

———–. 1995. Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna: Kajian (Pengujian) Arkeologis, dalam Manusia dalam Ruang: Studi Kawasan dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi Th. XV Edisi Khusus. Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 96–104.

Mujib. 1997. Damar Sebagai Komodite Perdagangan Kuna di Sriwijaya, makalah suplemen dalam Laporan Penelitian Arkeologi Situs Gedingsuro. Depdikbud Kanwil Provinsi Sumatera Selatan, PT. Pupuk Sriwijaya, Balai Arkeologi Sriwijaya, dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera selatan, dan Bengkulu. H. 166-178. Tidak terbit.

Reid, Anthony. 1984. “Trade Goods and Trade Routes in Southeast Asia: C. 1300–1700.” dalam SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritim Shipping and Trade Networks in Southeast Asia. Cisarua Bogor, West Java, Indonesia, November 20–27, 1984. P. 249–272.

Whealey, Paul. 2010. The Golden Khersonese. Kuala Lumpur: University of Malaya.

Sevenhoven, J.L. van. 1971. Lukisan tentang Ibukota Sriwijaya. Yogyakarta: Ombak.