Beginilah Gua-gua di Perbukitan Karst Pangkep-Maros-Bone Terbentuk

0
8100

Proses terbentuknya gua-gua pada perbukitan karst Pangkep-Maros-Bone telah berlangsung sejak terjadinya proses pengendapan karbonat di dasar laut purba. Proses pembentukan gua tersebut merupakan hal yang lazim terjadi pada perbukitan karst, baik pembentukan gua yang berupa gua sisi cadas (clift side cave) maupun gua-gua kaki cadas (clift foot cave). Akibat terjadinya letusan gunung api yang terjadi di dasar permukaan laut purba, menyebabkan terjadinya instrusi magma dan gerakan tektonik, sehingga muncullah batuan-batuan ke atas permukaan. Pemunculan tersebut menyebabkan terganggunya struktur batuan tersebut (Sunarto, 1977:16–20).

Berdasarkan ciri-ciri geologis tersebut gua-gua karst Pangkep–Maros—Bone diketahui berbentuk struktur geologi kekar (joint), baik berupa kekar tiang (columnar joint) maupun kekar lembaran (sheet joint). Gua dengan struktur karst kekar tiang umumnya memiliki ukuran ruang yang tidak luas, memiliki jarak dari lantai ke langit-langit tinggi, memiliki lantai yang miring atau berundak-undak, memiliki mulut gua yang tidak lebar tetapi tinggi, dan sering terlihat adanya lorong-lorong (vertikal dan horizontal) yang panjang dan sempit. Gua dengan struktur kekar tiang ini cenderung memiliki proses travertin yang sangat aktif, sehingga pembentukan stalaktit, stalagmit, dan pilar atau sinter (gabungan antara stalaktit dan stalagmit) sangat cepat. Proses travertin yang cepat itu pada umumnya disebabkan oleh tingginya kelembaban dan rendahnya suhu di dalam gua (ibid.).

Tingginya kandungan air pada batu gamping di dalam ruang gua disebabkan oleh rekahan-rekahan vertikal dari puncak bukit, sehingga air dapat dengan mudah mengalir ke bawah. Pembentukan stalaktit, stalagmit, dan pilar menyebabkan ruang gua menjadi sempit, lantai miring dan curam. Sementara itu, ruang gua yang terdapat pada gua kekar lembaran pada umumnya luas, namun jarak dari lantai ke langit-langit rendah. Secara horizontal, ruang gua cukup panjang, dan mulut gua lebar. Pada gua ini pembentukan stalaktit, stalagmit, dan atau pilar kurang aktif, bahkan ada beberapa gua yang pembentukannya tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena air sebagai mediator utama tidak langsung dapat mencapai langit-langit, tetapi bergerak horizontal sesuai dengan rekahan. Dengan demikian, proses terbentuknya travertin pada gua-gua kekar lembaran cenderung banyak terjadi pada dinding-dinding gua (ibid.).

Gambar Cadas-Maros Pangkep-Sulawesi Selatan-5

Gua-gua berdasarkan keletakannya pada perbukitan karst di daerah Pangkep umumnya dijumpai pada kelompok Bukit Bulu Matojeng. Pada kelompok bukit ini terdapat Leang Tukka, Lessang, Limbubuka, Cadia, Lambuto, Tinggia, Lompoa, Kassi, Kajuara, Patenungan, Jeumpang, Tanaraje, Sakapao, Bujung, Bayya, Buluribba, Cammingkana, Ujung Bulu, Sassang, Batang Lamara, Sapiria, dan Ulu Tedong. Beberapa gua di wilayah Pangkep ditemukan di kelompok Bukit Bulu Biringere (terdapat Leang Biring Ere I dan Biring Ere II), dan kelompok Bukit Bulu Bitta (terdapat Leang Bulu Sumi dan Sumpang Bita).

Gua-gua pada perbukitan di daerah Maros umumnya dijumpai pada kelompok Bukit Bulu Bontosunggu. Pada kelompok bukit ini terdapat Leang Timpuseng, Balimukang, Bembe, Lompoa I, Lompoa II, Canggoreng, Cabu, Boddong, Ambe Pacco, Balang, Jin, Tanre, Barugayya, Batukarope, Ulu Leang, dan Bettue. Beberapa gua di daerah Maros ditemukan pada kelompok Bukit Bulu Manjailing (terdapat Leang Karassa, Saripa, Tampuang, dan Jarie), Bulu Tengae (terdapat Leang Tengae), dan Bulu Kamase (terdapat Leang Kamase). Secara fisik, gua-gua baik di daerah Pangkep maupun Maros memiliki karakteristik yang sama. Gua-gua tersebut terdapat pada bagian bawah atau kaki dari perbukitan karst yang berbentuk gundukan-gundukan dengan bagian atasnya berujung tumpul dan berdinding terjal. Sementara itu, pada bagian depannya yang mengarah ke laut merupakan daerah yang rata (sekarang berupa rawa, tambak, persawahan, ladang, permukiman, dan lain-lain).

Keadaan Geologi dan Lingkungannya

Lingkungan alam daerah Sulawesi Selatan secara umum terbagi atas dua bagian, yakni bagian utara dan bagian selatan. Dua bagian lingkungan alam ini dipisahkan oleh Lembah Sungai Walanae menjadi rangkaian pegunungan bagian barat dengan Gugusan Maros (ketinggian 1.377 meter dari permukaan air laut), Gugusan Tondong Karambu (1660 meter), dan Gugusan Bulu Lasapo (1270 meter). Sementara itu, rangkaian pegunungan bagian timur terdapat hanya satu gugusan, yaitu Gugusan Bone (800 meter) (Bemmelen, 1970). Kedua rangkaian pegunungan ini, baik bagian barat maupun timur, memiliki topografi karst yang merupakan pencerminan adanya kandungan batuan gamping. Di antara topografi ini, terutama pada bagian barat, terdapat daerah perbukitan yang dibentuk oleh batuan masa pratersier. Rangkaian pegunungan ini di sebelah barat daya dibatasi oleh daratan rendah Pangkajene-Maros yang luas sebagai kelanjutan dari dataran rendah yang terletak di bagian selatan (Sukamto, 1982).

Pada akhir zaman Pliosen, dataran Sulawesi Selatan terbentuk akibat pengangkatan muka bumi dipisahkan oleh dataran rendah dan rata bersifat rawa-rawa dan air dangkal yang dialiri oleh berbagai pola aliran serta penirisan sungai yang berlangsung sampai dengan zaman Plestosen. Pada zaman Plestosen terjadi penurunan air laut, sehingga Sulawesi bergabung menjadi satu dataran dengan dataran Asia. Akibatnya antara Taiwan, Philipina, dan Sulawesi terbentuk jembatan darat yang digunakan sebagai jalur migrasi. Selama zaman ini beberapa kali Sulawesi mengalami pengangkatan dan terjadi intensitas erosi serta denudasi oleh aliran sungai. Pada zaman ini pula, bukit-bukit kapur di daerah Sulawesi Selatan dipisahkan daerah rendah dan rata, bersifat rawa-rawa dan air dangkal berjauhan dengan garis pantai (Sartono, 1982:556).

Setelah zaman Plestosen berlalu, maka berakhirlah zaman es untuk kemudian disusul dengan zaman Pasca-glasial zaman Holosen. Pada zaman ini, kembali air laut naik serta menggenangi daerah-daerah yang tadinya berubah menjadi daratan. Dengan naiknya muka air laut dan tergenangnya kembali Selat Makassar, mengakibatkan daerah rendah-rata, rawa-rawa, dan air dangkal tergenang menjadi laut. Dengan demikian, gugusan bukit gamping di daerah Sulawesi Selatan dengan ketinggian yang sama berbatasan dengan pantai (Sartono, 1982:557).

Pada zaman Holosen tua (sub-Holosen) terjadi lagi proses pengangkatan, mengakibatkan tergesernya garis pantai di sebelah barat daya ke arah barat kembali, sehingga lautan di sekitar Maros hingga Pangkep dan Bone serta sepanjang pantai barat Sulawesi Selatan berubah menjadi daratan yang datar dan luas berawa-rawa. Dataran yang berawa-rawa secara perlahan-lahan tertutup oleh endapan aluvial. Lantai hutan maupun semak belukar di dataran aluvial yang tadinya tergenang air laut dan terpisah-pisah, kembali bersatu dan berubah menjadi dataran yang subur. Gugusan pegunungan kapur kembali berupa jurang-jurang dalam dengan tebing-tebing tinggi tertutup pohon-pohon hutan bercampur dengan semak belukar dengan cukup lebat. Permukaan pantai semakin jauh melebar ke arah barat Selat Makassar.

Dengan demikian, gugusan bukit gamping (karts) di daerah Maros hingga Pangkep, pada waktu itu berbatasan atau merupakan kesatuan dengan daratan rata yang luas berawa-rawa serta dataran tinggi aluvial (Sartono, 1982:558–559). Dataran rendah-rata sekarang merupakan dasar laut pada masa sebelumnya dapat dibuktikan dengan banyaknya ditemukan karang-karang yang tersebar di tengah hamparan sawah dan pemukiman saat ini. Karang-karang yang alamiah dengan beragam bentuknya mengingatkan pemandangan di bawah dasar laut dan mempercantik panorama dataran rendah-rata sekitar Pangkep dan Maros.

Pada wilayah administratif Pangkep sekarang, bentang alam sebelah baratnya terdiri atas dataran aluvial yang berupa daerah persawahan, rawa-rawa dan sungai, serta perkampungan penduduk. Di sebelah timurnya berupa pegunungan terjal yang terbagi menjadi perbukitan karts dan pegunungan vulkanik. Pada bagian dataran aluvial terdapat beberapa sungai besar seperti Sungai Pangkep, Sungai Soreang, Kali Bone, dan Sungai Pute, yang semuanya bermuara di Selat Makassar. Sementara itu, pada bagian timur perbukitan karts terdiri atas beberapa bukit terjal antara lain Bulu (Bukit) Campalagi, Bulu Ballang, Bulu Matojeng, dan Bulu Jota. Titik ketinggian perbukitan karts itu berkisar antara 61 hingga 342 meter dpl, sedangkan titik ketinggian dataran aluvial berkisar antara 1 hingga 12 meter dpl. Pada dataran aluvial di bagian barat ini, juga terdapat beberapa kelompok kecil bukit karts seperti Bulu Sipong, Bulu Matampa, Bulu Biring’ere, Bulu Sipoko, Bulu Matanru, dan Kompleks Bulu Lasita’e.

Secara morfologis, perbukitan karst di daerah Pangkep ini mempunyai puncak bukit yang melengkung tumpul dengan dinding yang terjal dan lembah yang sempit. Morfologi tersebut terjadi akibat proses pelarutan dan erosi pada kurun waktu yang panjang antara kala tertier hingga quarter. Seiring dengan adanya proses tersebut sering dihasilkan bentukan gua dalam dan gua dangkal (ceruk). Sementara itu, dataran aluvial yang membentang di bagian barat dan utara Pangkep berupa endapan rawa-rawa dan pantai berasal dari hasil pengendapan sungai berupa lempung, lanau, lumpur, pasir, dan kerikil. Sedimen tersebut umumnya terendapkan di atas lapisan batuan gamping. Makin ke arah barat (ke pantai), susunan sedimen itu tampak makin tebal (van Bemmelen, 1949:432-433).