Adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi (Turan Mete, Vernacular Architecture, 1990).
Arsitektur vernakular merupakan bentuk perkembangan dari arsitektur tradisional, yang mana arsitektur tradisional masih sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup, tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat serta tata laku yang berlaku pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum (Dial Thespider ‘Arsitektur Vernakular Sumatera Barat’, In de_concept, diakses dari de- arch.blogspot.com).
Ade Sahroni (2011) dalam makalahnya menguraikan bahwa di Indonesia, berbagai jenis rumah tradisional dianggap sebagai tradisi vernakular Indonesia dan dipercaya memiliki kesamaan asal muasal dari tradisi pembangunan kuno. Hal ini terutama dirujukkan pada tradisi arsitektur Austronesia yang dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekspansi budaya Austronesia. Asal muasal dari tradisi arsitektur ini dapat dirunut kembali hingga budaya manusia kuno yang mendiami daerah pantai dan sungai-sungai Cina Selatan dan Vietnam Utara kurang lebih 4000 tahun SM. Pada masa itu, kelompok-kelompok masyarakat melakukan migrasi dan diperkirakan memiliki kesamaan tradisi arsitektur yang dinamai dengan tradisi arsitektur Austronesia, dan sebagai konsekuensinya, maka hampir di seluruh kepulauan Indonesia rumah tradisional yang merupakan warisan arsitektur vernakular memiliki kesamaan bentuk, baik dari bentuk bangunan serta dari bentuk morfologis struktur dasarnya.
Bentuk struktur dan fitur morfologis rumah-rumah tradisional Indonesia terdiri atas dua macam, yaitu rumah tradisional yang dibangun berdasarkan prinsip tipikal tradisi arsitektural Austronesia kuno yaitu: struktur kotak yang didirikan di atas tiang fondasi kayu, dapat ditanam kedalam tanah atau diletakkan di atas permukaan tanah dengan fondasi batu, lantai panggung, atap miring dengan jurai yang diperpanjang dan bagian depan atap yang condong mencuat keluar. Sedangkan di bagian timur kepulauan Indonesia banyak tipe rumah tradisional digolongkan sebagai bagian dari tradisi arsitektur vernakular, yang bentuk bangunannya biasanya memiliki: lantai berbentuk lingkaran dan berstruktur atap kerucut tinggi seperti bentuk sarang tawon atau struktur atap berbentuk kubah elips.
Rumah tradisional di seluruh kepulauan Nusantara, baik yang berbentuk kotak maupun yang berstruktur atap kubah, biasanya dibangun dengan kayu dan material alami lainnya seperti bambu, daun palem, rumput, dan serat yang semuanya diambil langsung dari lingkungan alaminya. Selain itu, rumah dibangun oleh penghuninya sendiri atau masyarakat yang kadang dibantu oleh pengrajin terlatih atau dibawah petunjuk pengawas bangunan yang berpengalaman atau keduanya. Berbeda dengan konstruksi fisiknya, rumah tradisional di seluruh kepulauan nusantara memiliki kesamaan ciri dalam terminologi makna simbolik yang dikandung oleh rumah, dimana ukuran dan bentuk rumah mengindikasikan tingkat sosial dan status dari pemiliknya didalam masyarakat. Rumah juga sering dipandang sebagai tempat bersemayam nenek moyang dan digunakan sebagai tempat ritual dan upacara untuk menghormati mereka, dan juga digunakan saebgai tempat penyimpanan benda-benda pusaka nenek moyang. Ciri penting umum lainnya adalah penggunaan berbagai jenis oposisi polar dalam ruang, seperti depan dan belakang, timur dan barat, kiri dan kanan, serta dalam dan luar yang disesuaikan dengan pembedaan kelas diantara berbagai kelompok sosial masyarakat kesukuan secara umum.
Dikutip juga dari Ade Sahroni (2011) “Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 2011″, diunggah dari https://iaaipusat.wordpress.com/2012/03/19/arsitektur-vernakular-indonesia-peran-fungsi-dan-pelestarian-di-dalam-masyarakat/