Apa Kata Arkeolog tentang Gaj Ahmada

0
24518
Hasan Djafar dan Agus Arus Munandar saat berdiskusi tentang Majapahit dan Gajah Mada.
Hasan Djafar dan Agus Arus Munandar saat berdiskusi tentang Majapahit dan Gajah Mada.

Apa kata Arkeolog tentang Gaj Ahmada dan Kesultanan Majapahit

Dua arkeolog senior dari Universitas Indonesia, Dr. Hasan Djafar dan Prof. Dr. Agus Aris Munandar, menjadi pembicara dalam acara Diskusi Terpumpun tentang buku berjudul “Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi”, yang saat ini menjadi viral di media sosial. Diskusi ini dipimpin oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, pada Kamis, 22 Juni 2017.

Dr. Hasan Djafar mengatakan bahwa agama yang berkembang pada masa Hayam Wuruk adalah Hindu dan Buddha. Agama Islam sebenarnya sudah berkembang sebelum pemerintahan Hayam Wuruk. Buktinya adalah makam di Troloyo. Jumlahnya ada ratusan, yang tertua 1203 dan yang termuda 1233. Ditulis dengan aksara Jawa Kuno, dan aksara Arab.

Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid saat memberikan arahannya dalam Diskusi Terpumpun mengenai Kesultanan Majapahit dan Gaj Ahmada didampingi oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Harry Widianto.

Memang sudah jelas bahwa Agama Islam sudah ada, dan merupakan satu dari tiga golongan yang ada di Majapahit. Hal ini sesuai dengan berita China. Mereka di antaranya adalah pedagang. “Islam di Majapahit itu memang ada, tetapi tidak dapat ditafsirkan bahwa Majapahit itu Islam” kata Hasan Djafar.

Bahkan sejak masa Kadiri sudah ada masyarakat Islam di Gresik. Akan tetapi bukti keislaman dalam bentuk kenegaraan belum ditemukan bukti. Bukti Islam dalam bentuk kenegaraan baru ada di Aceh, yang diperkuat dengan catatan Marcopolo.

Corak Kerajaan Majapahit sudah jelas adalah Hindu dan Buddha

Jadi Corak Kerajaan Majapahit sudah jelas adalah Hindu dan Buddha. Hal ini bisa diketahui melalui tinggalan berupa candi dan aturan-aturan kenegaraan yang diberlakukan.

Masalah koin koleksi Museum Nasional yang bertuliskan laailaaha ilallah, dan sinar majapahit yang terdapat pada nisan memang bisa dikaitkan dengan konsep keislaman. Pada saat itu (menurut berita China) semua koin dari berbagai dinasti berlaku di Majapahit. Termasuk koin-koin dari daerah lain dan koin lokal. Sementara mengenai sinar dengan delapan sudut itu dihubungan dengan penjuru mata angin, dan ini berhubungan dengan astadikpalaka.

Menurut Hasan Djafar arkeolog dan sejawaran tetap harus pada rel disiplin ilmunya. Latar belakang berbeda akan menghasilkan perbedaan, meski sumbernya sama. “Keterbatasan terhadap kekunoan bisa disikapi dengan bijak, karena ketidaktahuannya terhadap sumber sejarah” tutup Hasan Djafar.

Sementara itu, Prof. Dr. Agus Aris Munandar mengatakan bahwa dalam penelitian harus memperhatikan sumber atau data. Ada prasasti sebagai sumber paling otentik untuk membicarakan sejarah kuno. Prasasti dengan angka tahun adalah sumber utama. Kemudian prasasti tanpa angka tahun. Karya sastra lain sezaman, dan kaya sastra dari zaman yang lebih muda.

Agus Aris Munandar melanjutkan bahwa beberapa hal seperti gelar raja, konsep dewa raja (istadewata), pejabat kerajaan, penataan wilayah, dan peninggalan arkeologis mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa Majapahit bukanlah Kesultanan Islam, melainkan Kerajaan Hindu.

Gajah Mada memang pernah diklaim sebagai tokoh yang beragama Islam sejak lama, seperti di Lamongan, Buton, dan Lampung. Banyak versi seperti itu muncul disebabkan metode yang digunakan beda. Maka dari itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang ahli yang mengkaji sesuatu, yaitu mengenai sifat unviersal data, data harus empirik-bukan klenik, dan konteks (jangan ditafsirkan sepotong-sepotong).