AMPENAN, JEJAK KEHIDUPAN BAHARI INDONESIA TIMUR

0
6138
Gudang niaga Kota Tua Ampenan. Foto: Sri Trisna Dewi Hartati. Juni 2017.
Gudang niaga Kota Tua Ampenan. Foto: Sri Trisna Dewi Hartati. Juni 2017.

Oleh: Sri Trisna Dewi Hartati

Laut merupakan jalur persebaran utama

Laut merupakan jalur persebaran utama untuk manusia masa lampau, tidak terkecuali sampai saat ini merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Laut bukan hanya sebagai sarana perhubungan kemaritiman, akan tetapi perkembangan ekonomi, perkembangan teknologi navigasi, perkapalan, budaya pesisir, perompakan, angkatan laut dan sebagainya terjadi pada masyarakat maritim. Karena itu, kehidupan bahari sangat penting untuk diperhatikan bukan hanya untuk saat ini namun juga perjalanan sejarahnya, sehingga akan membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai kehidupan bahari masyarakat kita pada masa lalunya sampai saat ini.

Oleh karena tema sejarah maritim banyak sekali, tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada sejarah bahari atau pelayaran dan perniagaan masyarakat Lombok dalam kancah sejarah maritim nusantara. Karena pulau ini memiliki peran penting dalam sejarah maritim kita di bagian timur.

Lombok telah memiliki integrasi dengan jaringan niaga global dan telah berkembang pada 1360. Namun baru menjadi pusat niaga pada akhir abad ke-16–17 dan Ampenan menjadi pusat niaga untuk pelaut dan pedagang di Asia dan Eropa dalam komoditi rempah-rempah dan kayu cendana. Semua pedagang Asia dan Eropa datang mewakili perwakilan dagang di Pelabuhan ini.

Dengan berkembangnya jaringan perdagangan ini, terutama pada awal abad ke-19, Nusa Tenggara muncul lebih dinamis dalam aktivitasnya dan memberikan perubahan pada perekonomian. Pelabuhan Ampenan menjadi tempat strategis dalam jalur perdagangan panjang antara: Australia–Singapura–India, dan Australia–Manila–Cina.

Terdapat tiga rule perdagangan yaitu:

  1. Perdagangan orang Eropa (Eropean Trade), suatu perdagangan yang dilakukan oleh kapal-kapal Eropa. Jenis perdagangan ini menempatkan Lombok pada jalur panjang seperti: New South Wales-Manila-Cina dan New South Wales- Singapura-Benggala
  2. Perdagangan musiman, biasanya dilakukan oleh pedagang Bugis dan Cina. Jalur ini menempatkan Lombok berhubungan dengan tempat-tempat lain seperti: Jawa, Makasar, Riau, Kalimantan, Maluku, Singapura.
  3. Perdagangan lokal, adalah perdagangan antar pulau di lingkungan Nusa Tenggara[1]

Lombok merupakan pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini berbentuk bulat dengan luas 4.725 km dan jumlah penduduk lebih kurang 3.722.123 jiwa.

Pulau Lombok dikenal sebagai gugusan bahari paling ramai di bagian timur sejak dahulu. Bahkan dalam kitab Nagara Kertagama dideskripsikan sebagai kota perdagangan yang memiliki hubungan dengan Majapahit, yang disebut Labuhan Lombok. Dengan pelabuhan yang terkenal yaitu Ampenan.

Pelabuhan Ampenan

Ampenan, adalah kota kecamatan di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Lombok Barat. Di Ampenan ini terdapat peninggalan kota tua karena dahulunya merupakan pelabuhan utama di Lombok. Karena itu dikatakan bahwa Ampenan adalah ‘kota tua’ nya Lombok. Di tempat inilah sejarah Lombok dimulai sejak 1800an.

Di Ampenan banyak kampung yang merupakan perwujudan dari berbagai suku bangsa di Indonesia, yaitu: Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Arab, Kampung Bali dan lain-lain, sehingga masyarakatnya heterogen dan rukun.

Ampenan berasal dari Bahasa Sasak ‘amben’ yang berarti singgah. Ampenan merupakan kawasan yang dikembangkan oleh Belanda menjadi pelabuhan untuk menyaingi dominasi kerajaan-kerajaan di Bali. Seperti kota pelabuhan pada umumnya, Ampenan sejak dahulu hingga sekarang dihuni oleh berbagai etnis.

Di Ampenan terdapat bangunan Vihara Bodhi Dharma yang dibangun pada 1804. Vihara ini merupakan bukti ada pembauran suku di Ampenan sejak dahulu. Vihara ini berada tepat di depan Kampung Melayu yang didominasi penganut Muslim. Sementara di kawasan pesisir didiami oleh orang Bugis yang bekerja sebagai nelayan. Pekerjaannya sebagai nelayan sebagai sumber utama dalam kehidupannya sehari-hari diwariskan dari nenek moyang mereka.

Berdasarkan keterangan di atas nyatalah bahwa dahulu pelabuhan ini merupakan pusatnya kegiatan maritim di Pulau Lombok. Oleh karena itu sejarahnya perlu kita kaji ulang.

Perdagangan maritim dalam naskah kuna

Seperti diketahui bahwa perdagangan maritim di Indonesia bagian timur sudah dimulai sejak abad ke-14. Dalam kitab Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1364 dan naskah kuno orang Bugis Ilagaligo mengatakan bahwa Kawasan Indonesia Timur  merupakan jalur perdagangan yang dikategorikan cukup tua. Itulah sebabnya menurut Kenneth R. Hall sekitar abad ke-14 wilayah tersebut berada dalam pengaruh Kerajaan Majapahit yang berada di Jawa Timur. Daya Tarik wilayah tersebut memiliki kekhasan sebagai penghasil rempah-rempah dan kayu cendana.

Negara Kertagama mendeskripsikan kota-kota perdagangan di Indonesia Timur yang memiliki hubungan dengan Majapahit, yaitu kota-kota dagang di pantai selatan semenanjung Pulau Sulawesi seperti Bontayang, Luwuk, Selayar, Banggae dan Makasar. Wilayah tersebut dinyatakan sebagai jalur utama yang dihubungkan dengan gugusan pulau Sumba, Lombok, Solot, Kumir, Galiyao Tua dan Kepulauan Maluku, yang kaya akan rempah-rempah.[2]

Fakta historis

Gambaran Negara Kertagama tentang pelayaran dan perdagangan Jawa ke Indonesia Timur diperkuat dengan temuan fakta historis kepingan perahu layar niaga di pantai Pulau Selayar dan perairan Flores khususnya Nusa Tenggara bagian barat. Perahu layar yang diduga milik saudagar ini ditemukan di pantai Selayar yang berukir indah dengan motif naga bersayap di bagian haluan. Perahu tersebut dihiasi relief kaligrafi indah bertulis “Sultan Abdul Malik Tuban“. Perahu tersebut masih perlu penelusuran apakah perahu tersebut milik Sultan abdul Malik raja Tuban atau nama perahunya saja yang tidak terkait dengan Raja Tuban. Bandar Tuban ketika itu sebagai satu-satunya bandar niaga Islam Jawa yang masih loyal terhadap kerajaan Hindu yang masih berkuasa di Jawa. Sisa kepingan kapal perahu yang ditemukan ini diduga secara pasti satu kapal dagang Jawa abad ke-16.

Dari penjelasan di atas maka diketahui bahwa perdagangan maritim di Indonesia bagian timur sudah dikenal sejak abad ke-14. Dalam kitab Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1364 telah tercatat sejumlah tempat yang dikunjungi armada dagang Majapahit yaitu Luwu, Bantaeng, Selayar, Makasar. Begitu pula di Nusa Tenggara telah disebut Bima, Lombok dan Kupan. Berdasarkan kitab Negara Kertagama dapat dijelaskan bahwa Bandar/Pelabuhan Lombok (Ampenan) telah berkembang pada 1360.

Bandar di Nusantara menjadi pusat perdagangan internasional

Posisi itu telah menempatkan bandar tersebut menjadi bandar yang terpenting dan pusat perdagangan internasioal dalam dunia perdagangan maritim pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-17. Ampenan menjadi pusat niaga untuk pelaut dan pedagang di Asia dan Eropa dalam komoditas rempah-rempah dan kayu Cendana.

Dengan berkembangnya jaringan perdagangan ini, Nusa Tenggara munul lebih dinamis dalam aktifitasnya dan bahkan muncul pusat-pusat baru yang memberikan arti pada pertumbuhan ekonominya. Sebagai contoh, Ampenan (Lombok) yang melampaui pelabuhan lain di Nusa Tenggara.

Keramaian Pelabuhan Ampenan dapat diketahui dari keterangan Zollinger (1846) yang menyebutkan bahwa hampir semua perdagangan dilakukan di Ampenan. Disebutkan pula selain kampung orang Sasak, Bali juga kampung pendatang seperti: Kampung Bugis, Melayu, Cina, Arab dan Eropa. Keramaian pelabuhan Ampenan sebagai pusat niaga diketahui berlangsung sampai 1977. Dengan bukti ditemukannya ‘jangkar raksasa’ pada 20 Mei 1977. Yang kini jangkar tersebut ditempatkan di Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat, di Mataram. Jangkar kapal berasal dari Cina tetappi dibuat di India pada akhir abad ke-17, milik Saudagar Cina bernama Cowo Liong Hui.

Selain temuan jangkar, di Ampenan terdapat banyak bangunan tua peninggalan Cina dan gudang-gudang perniagaan. Sekarang masih dapat kita jumpai di sepanjang jalan dari Simpang Lima yang menghubungkan Jalan Yos Sudarso,Jalan Niaga, jalan Koperasi, Jalan Sadeng Sungkar dan Jalan Kepabean.

Kota Tua Ampenan

Kota Tua Ampenan resmi masuk menjadi salah satu dari 43 kota dalam Kota Pusaka Indonesia. Kota ini dahulu menjadi salah satu pusat kota di Lombok, sejak dibanngunnya pelabuhan Ampenan oleh Belanda pada 1924. Kota yang dihuni oleh berbagai suku bangsa ini masih memiliki banyak bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda.

Kota ini memang dimaksudkan sebagai Kota Pelabuhan oleh Belanda, karena sejarahnya yang telah lama menjadi pelabuhan maritim. Yang akhirnya pada 1924 dibangun lebih bagus oleh Belanda menjadi Pelabuhan yang ramai. Namun, aktifitas perdagangan mulai dipindahkan ke Pelabuhan Lembar, dan yang tersisa sekarang hanyalah patok-patok besi dan kayu.

Sebagai kota pelabuhan, bangunan-bangunan tua berjejer di tepi jalan di Kota Tua Ampenan ini. Ruas jalan di Pasar Pabean yang langsung menghadap ke laut menjadi saksi kejayaan bahari di masa lampau. Di sepanjang jalan ini berjejer bangunan tua bergaya ‘art deco’ yang banyak ditinggali oleh warga keturunan, khususnya warga Tionghoa. Jalan Pabean terhubung dengan Simpang Lima yang menghubungkan lima ruas jalan, yaitu Jalan Yos Sudarso, Jalan Niaga, Jalan Koperasi, Jalan Sadeng Sungkar dan jalan Pabean.

Beragam etnis tinggal rukun

Seperti lazimnya kota pelabuhan, beragam etnis tinggal rukun di kota ini. Beberapa etnnis yang tingga disini adalah, Bugis, Melayu Bangsal, Cina dan Arab. Mereka hidup bersama di kota ini. Di Jalan Yos Sudarso, di satu sisi jalan dipenuhi oleh rumah toko milik orang-orang Tionghoa, sedangkan di sisi jalan yang lain dipenuhi toko-toko milik orang Arab dengan jualan khas Timur Tengah. Di tempat lain, dijumpai Vihara Bodhi Dharma yang telah berdiri sejak 1804 di depan Kampung Melayu. Di Pabean, warga Tionghoa menjual ikan segar dan olahannya, sedangkan di pesisir pantai tinggal Orang Bugis yang mata pencahariannya sebagai nelayan. Sementara di sepanjang pesisir yang menuju depo pertamina menjadi tempat orang-orang Melayu Bangsal untuk berjualan ikan bakar, berbagai masakan khas Lombok, minuman ringan dan lain-lain.

Di Kota ini juga dijumpai kompleks pemakaman yang cukup besar yang dinamakan Kompleks Pemakaman Bintaro. Di tempat ini terdapat 23 makam para Syekh dan Ulama dan pemakaman Cina yang cukup luas namun juga diperuntukkan bagi umat Hindu dan Muslim.

Namun sayang Kota Tua Ampenan belum tertata dengan baik. Semoga dengan dimasukkannya Kota Tua Ampenan sebagai salah satu kota pusaka, pelestarian dan revitalisasi kota ini semakin membuka potensinya sebagai daerah tujuan wisata.

Tradisi Bahari Masyarakat Lombok

Berbicara mengenai kehidupan bahari di Nusantara maka tidak terlepas dengan orang-orang Bugis yang sangat terkenal dengan sebutan pelaut. Orang-orang Bugis menyebar ke berbagai daerah baik di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Ini merupakan suatu tradisi yang telah berlangsung sejak lama. Keadaan ini sudah berlangsung sejak abad XV ketika orang-orang Bugis dan Bajo sudah menyeberang di pesisir timur Pulau Sumbawa dan memegang peranan penting dalam berbagai bidang dan lapangan kerja dan yang paling utama adalah orang-orang Bugis telah memegang peranan utama dalam lalu lintas perhubungan laut.

Jiwa penjelajah merupakan suatu atribut yang sudah melekat pada orang-orang Bugis. ‘Sompe’ atau semangat berlayar yang mengakar pada jiwa pelaut-pelaut Bugis telah mengantar mereka menjelajahi samodera dan lautan di nusantara. Filosofi Suku Bugis yakni “kogisi monro sore loppie, kositu tomallabu sengereng” yang artinya di mana perahu terdampar, di sanalah kehidupan ditegakkan.[3]

Petualangan orrang-orang Bugis inipun sampai ke Bumi Sasak, Lombok yang pada akhirnya akan berpengaruh pada masyarakat Sasak, Lombok. Persebaran Suku Bugis dan Bajo dari Sulawesi ini menurut Negara Kertagama sudah ada sejak permulaan abad ke-14 di Labuhan Lombok. Abad ke-16 ke Pelabuhan Ampenan di Lombok Barat. Dan pada abad ke-19 semakin berkembang pesat ke pesisir Awang (Lombok Tengah), Labuhan Haji dan Tanjung Luar (Lombok Timur). Keberadaan mereka dalam lintasan sejarah dan budaya mereka kembangkan di tempat mereka menetap.

Awang (Lombok Tengah)

Menurut kepala Suku bajo, masyarakat bajo bermigrasi ke Lombok Tengah sekitar abad ke-16. Mereka menempati wilayah dusun Awang, desa Mertak, Kecamatan Pujut. Suku Bajo yang berada di Lombok memiliki perbedaan kebiasaan dibanding dengan Suku Bajo yang di daerah asalnya. Suku Bajo di Sulawesi memakai perahu sebagai tempat tinggal mereka.

Ada pula yang membuat rumah panggung di atas laut. Mereka menyebut dirinya sebagai orang laut, dan tidak mau berhubungan dengan segala sesuatu yang ada di daratan bahkan tidak mau makan daging unggas. Hal ini tidak ditemukan di masyarakat Bajo di Lombok Tengah. Sebagai nelayan, mereka hidup membaur dengan masyarakat setempat yakni Suku Sasak.

Suatu keunikan tersendiri pada masyarakat maritim di dusun Awang, mereka tetap memertahankan bahasa etnisnya (etnis Bajo), dan juga mengakui bahwa leluhur mereka berasal dari Sulawesi Selatan.

Keahlian mereka sebagai nelayan sehingga mereka bisa menentukan jenis ikan yang dapat ditangkap menurut hari, bulan, waktu yang tepat, arah angin dan tempat. Mereka juga memiliki kebiasaan menyiapkan sesajen untuk upacara doa sebelum melaut, karena perjalanan melaut bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Terkait dengan sistem kepercayaan, mereka memercayai adanya kekuatan setan-setan dan roh-roh leluhurnya, roh orang mati yang dapat berbuat baik atau jahat. Sehingga mereka harus memberikan sesajen.

Labuhan Lombok

Labuhan Lombok merupakan pelauhan yang sekarang digunakan sebagai lalu lintas Lombok yang berhubungan dengan Sumbawa. Di sekitar Labuhan Lombok banyak bermukim orang-orang yang berasal dari Suku Bugis. Mereka hidup membaur dan mata pencaharian mereka adalah nelayan. Dan memeluk agama Islam Suni. Hal ini diketahui dari minoritasnya ditemukan komunitas ‘wetu telu’ di Lombok Timur. Yakni ajaran asli Suku Sasak.

Suku Bugis bisa memengaruhi masyarakat dengan ajaran Islam Sunni yang mereka sebut Wetu Lima yakni ajaran yang menagamlkan Islam secara sempurna. Wetu Lima memercayai bahwa rukun Islam itu ada lima dan harus menjadi tanggung jawab pribadi yang sudah akil baligh.

Labuhan Haji

Labuhan Haji adalah pelabuhan penghubung antara Pelabuhan Ampenan. Masyarakat di daerah ini terdiri atas suku Sasak asli dan sebagian Suku Bugis, dan mayoritas beragama Islam. Mereka menggunakan Labuhan Haji sebagai pelabuhan untuk pergi haji. Mata pencaharian mereka adalah nelayan dan berdagang. Sebagian sebagai saudagar seperti halnya masyarakat keturunan Arab yang sampai saat ini tinggal di daerah ini.

Tanjung Luar (Lombok Timur)

Pelabuhan Tanjung Luar yang berada di Lombok Timur ini adalah tempat pelelangan ikan terbesar di Lombok. Banyak kapal nelayan di tempat ini berburu ikan hiu. Yang diekspor ke Hongkong. Di daerah ini juga bermukim Suku Bugis.

Sampai saat ini kepercayaa Suku Bajo terhadap ritual menyelamatkan laut masih dilakukan. Ritual warga Dusun Toroh Selatan melakukan ‘Nyalamak Dilau’ yaitu melarung kepala kerbau (ditiba tikolok) ke lokasi batu karang di tengah laut. Nyalamak Dilau berarti selamatan laut atau disebut pula Nyalama Palabuang, selamatan ini sebagai bentuk rasa syukur sekaligus pengharapan agar hasil ikan tangkapan meningkat. Prosesi ini dilakukan oleh masyarakat keturunan Suku Bajo secara turun temurun sejak 400 tahun silam.

Penutup

Pelabuhan Ampenan, Lombok sudah berkembang pada 1360. Hal ini menyebabkan Ampenan menjadi pusat niaga untuk pelaut dan pedagagn di Asia dan Eropa dalam perdagangan rempah-rempah dan kayu cendana.

Bahkan dalam kitab Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1364 telah tercatat sejumlah tempat yang dikunjungi armada dagang Majapahit yaitu Luwu, Bantaeng, Selayar, Makasar. Begitu pula di Nusa Tenggara telah disebut Bima, Lombok dan Kupang. Berdasarkan kitab Negara Kertagama dapat dijelaskan bahwa Bandar/Pelabuhan Lombok (Ampenan) telah berkembang pada 1360.

Sebagai pusat niaga yang ramai menyebabkan banyak etnis Cina, Arab, Bugis, Melayu dan Eropa banyak bermukim di Ampenan. Sehingga membuat Ampenan sebagai tempat tinggal mereka. Hal ini dapat diketahui dari adanya kawasan Kota Tua Ampenan yang memiliki bangunan-bangunan tua art deco. Mereka hidup berdampingan sampai sekarang. Namun sayang, kawasan Kota Tua ini belum ditata secara baik.

Berbicara mengenai kehidupan bahari di Nusantara maka tidak terlepas dengan orang-orang Bugis yang sangat terkenal dengan sebutan pelaut. Orang-orang Bugis menyebar ke berbagai daerah baik di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Ini merupakan suatu tradisi yang telah berlangsung sejak lama. Keadaan ini sudah berlangsung sejak abad XV saat orang-orang Bugis dan Bajo sudah menyeberang di pesisir timur Pulau Sumbawa dan memegang peranan penting dalam berbagai bidang dan lapangan kerja dan yang paling utama adalah orang-orang Bugis telah memegang peranan utama dalam lalu lintas perhubungan laut.

Migrasinya orang-orang Bugis ke Lombok membawa pengaruh pada tradisi bahari yang sampai sekarang masih dilakukan. Namun, hal tersebut tidak memengaruhi kehidupan Suku Sasak asli. Mereka hidup berbaur dan menyatu di suatu daerah yang sama.

Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.

Daftar Pustaka

Asba, Rasyid.  2009. Makasar dan Lombok: Integrasinya dengan Jaringan Niaga Global

Ima Kesuma, Andi. 2004. Migrasi dan Orang Bugis: Penelusuran Kehidupan Opu Daeng Rilakka pada abad XVIII di Johor. Yogyakarta.

Lukman, Lalu. 2008. Pulau Lombok dalam Sejarah: ditinjau dari Aspek Budaya. Jakarta.

Murdi, Lalu. Jejak Kehidupan Bahari.

Pigeaud, Th. 1960. Java in The Fourteens Century: A Study in Cultural History.

Online

Anonim. 2010. Migrasi Bugis: dari Pelaut menjadi Raja. Diakses 15/7/2017

Anonim. 2012. Pertahanan Bahasa Bajo di Lombok Tengah. Diakses 15/7/2017

[1] Rasyid Asba, 2009: 7 dalam Makasar dan Lombok: Integrasinya Dengan Jaringan Niaga Global.

[2] Th.Pigeaud, 1960. Java in The Fourteen Century. A Study in Cultural History. The Hague Nijhoo for KITLV hal. 11

[3] Andi Ima Kesuma, 2004. Migrasi dan Orang Bugis. Yogyakarta: Ombak