Aktivitas Kemaritiman Masa Kerajaan Sunda

0
9439
Candrabhaga yang sekarang dikenal dengan nama Bekasi diduga sebagai pusat Kerajaan Tarumanegara. Dugaan ini diperkuat dengan adanya temuan arkeologis. Salah satunya Candi Blandongan di Kawasan Percandian Batujaya di pantai utara Karawang.
Candrabhaga yang sekarang dikenal dengan nama Bekasi diduga sebagai pusat Kerajaan Tarumanegara. Dugaan ini diperkuat dengan adanya temuan arkeologis. Salah satunya Candi Blandongan di Kawasan Percandian Batujaya di pantai utara Karawang.

Oleh: Nanang Saptono

Balai Arkeologi Jawa Barat

Penerus Kerajaan Galuh

Kerajaan Sunda merupakan salah satu kerajaan di Jawa Barat yang berlangsung dari sekitar abad ke-10 hingga abad ke-16. Berdasarkan beberapa sumber sejarah, Kerajaan Sunda merupakan penerus Kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh itu sendiri merupakan kelanjutan kerajaan Kendan. Penguasa pertama kerajaan Galuh adalah Wretikandayun yang diangkat menjadi raja Galuh menggantikan ayahnya, Sang Kandiawan Rahiyangta ri Medangjati. Wretikandayun diangkat menjadi raja pada 14 Suklapaksa bulan Caitra tahun 534 Saka atau 612 M, saat berumur 21 tahun. Wretikandayun memilih pusat pemerintahannya di daerah yang disebut Galuh. Ketika Wretikandayun naik tahta, Galuh masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara. Penguasa Kerajaan Tarumanagara ketika itu adalah Sri Maharaja Kretawarman (Iskandar Y. , 1997:107–123).

Pada masa Kerajaan Tarumanagara, pusat pemerintahan diperkirakan di kawasan pantai utara Jawa Barat. Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Tugu menyiratkan bahwa ibukota Kerajaan Tarumanagara berada di sekitar Bekasi sekarang. Pada prasasti Tugu disebutkan dua sungai yaitu Candrabhaga dan Gomati. Pada 8 paro-petang bulan Phalguna dimulai penggalian sungai Gomati yang mengalir di lahan tempat tinggal Sang Pendeta nenek Sang Purnawarman. Melalui studi etimologi, Poerbatjaraka berpendapat bahwa Candrabhaga sekarang dikenal dengan nama Bekasi yang diduga sebagai pusat Kerajaan Tarumanagara (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:52–53). Dugaan ini juga diperkuat dengan adanya beberapa temuan arkeologis di kawasan Karawang-Bekasi. Temuan tersebut adalah Arca Wisnu Cibuaya 1 dan 2 yang ditemukan di Cibuaya, Karawang; kompleks percandian Batujaya dan Cibuaya yang berada di pantai utara Karawang; dan kompleks situs Buni (Djafar, 2010; Poesponegoro & Notosusanto, 2009:56). Kompleks Buni berada di pantai utara Jawa Barat terbentang dari Jakarta hingga Subang.

Pada masa akhir Kerajaan Tarumanagara terjadi penetrasi dari Sriwijaya melalui Lampung. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, Lampung Selatan berisi peringatan penaklukan daerah Lampung oleh Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut termuat catatan tentang bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Berdasarkan segi paleografis prasasti tersebut diduga berasal dari abad ke-7 (Boechari, 1979:19–20). Keterangan tentang bhûmi jawa juga terdapat di dalam prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Ś yang ditemukan di Pulau Bangka. Pembacaan yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (1952) pada bagian akhir menyebutkan “….. Sriwijaya, kaliwat manapik yam bhumijawa tida bhakti ka Sriwijaya” yang artinya bahwa Sriwijaya sangat berusaha menaklukkan Bhumijawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Yang dimaksud dengan Bhumijawa adalah Tarumanagara (Djafar, 2010:108). Pengaruh kuat Sriwijaya terhadap Tarumanagara tampak pada bangunan-bangunan keagamaan Budhistis di kawasan Batujaya, Karawang. Berdasarkan temuan arkeologis di kawasan Batujaya, percandian Batujaya dibangun dalam dua masa. Pertama, masa Tarumanagara yang berlangsung pada abad ke-5–7 dan kedua masa pengaruh Sriwjaya yang berlangsung pada abad ke-7–10 (Djafar, 2001:3–4). Sementara itu, di pedalaman Jawa Barat ditemukan beberapa candi yang diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7–8.

Kondisi demikian memberikan petunjuk bahwa ketika Tarumanagara mendapat pengaruh kuat Budhis dari Sriwijaya, masyarakat Hindu di pedalaman mengalami perkembangan. Pusat peradaban Hindu di pedalaman terutama berada di sekitar lereng gunung api kuarter zona Bandung. Beberapa bangunan (dan unsur bangunan) candi yang terdapat di kawasan itu adalah Candi Cangkuang di Garut, Candi Bojongmenje dan Bojongmas di Bandung, serta unsur bangunan candi di Tenjolaya, Bandung timur (Saptono, 2012:34). Selain itu di kawasan bagian barat juga terdapat pusat-pusat peradaban Hindu. Pada abad ke-10 terdapat sumber sejarah yaitu Prasasti Kebon Kopi II berisi tentang pulihnya kembali kedaulatan Kerajaan Sunda. Prasasti Kebon Kopi II berbahasa Melayu Kuna, hal ini sejalan dengan Prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah sehingga menunjukkan bahwa Tarumanagara runtuh karena tekanan Sriwijaya. Selanjutnya Sriwijaya menyerahkan kembali kekuasaan tanah Jawa (Bhumijawa) kepada penguasa setempat yaitu Raja Sunda (Munandar, Fahrudin, Sujai, & Rahayu, 2011:15).

Selama Kerajaan Sunda berdiri, diketahui setidak-tidaknya mengalami empat kali perpindahan pusat kerajaan yaitu di Galuh, Prahjjan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Secara geografis, keempat pusat kerajaan tersebut berada di pedalaman. Matapencaharian masyarakat Kerajaan Sunda cenderung sebagai peladang, walaupun dijumpai pula masyarakat yang bermatapencaharian lainnya. Menurut Geertz (1976) wilayah dengan ekosistem perladangan masyarakatnya akan memiliki kecenderungan meniru mekanisme alamiah. Ekosistem tersebut tidak perlu membutuhkan keterlibatan tenaga manusia dalam proses memperoleh produk. Hasil yang dipanen dari usaha perladangan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Pada aspek organisasi sosial, menurut Harris (1972) masyarakat peladang hanya berupa kelompok kecil sebagai komunitas terpisah secara otonom dalam pemukiman-pemukiman kecil yang terpencar. Sifat ekosistem perladangan seperti itulah yang kiranya dapat menerangkan mengapa pusat-pusat pemerintahan sebagaimana Tarumanagara tidak bisa tumbuh menjadi besar (Rahardjo, 2007:115–116). Kelangsungan suatu Negara memerlukan pasokan surplus barang. Biasanya kerajaan dengan pola agraris akan susah mempertahankan kelangsungannya. Dalam kenyataannya, Kerajaan Sunda dapat bertahan lama. Apabila berlandaskan pada teori tersebut, terdapat permasalahan yang perlu dibahas yaitu mengapa Kerajaan Sunda dapat bertahan lama.

Masyarakat Kerajaan Sunda

Kondisi geomorfologis Kerajaan Sunda berupa pedataran bergelombang yang memberikan kecenderungan pada masyarakat dengan pola matapencaharian sebagai peladang. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya dapat mempengaruhi budayanya. Para penganut environmental determinism berpendapat bahwa kebudayaan manusia dibentuk oleh kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Sementara itu penganut environmental possibilism berpendapat bahwa faktor lingkungan tidak serta merta membentuk budaya masyarakat tetapi membatasi kebudayaan (Iskandar J. , 2009:43–46). Demikian halnya dengan masyarakat Kerajaan Sunda yang hidup di lingkungan dengan geomorfologi pebukitan dan pegunungan. Antara kondisi lingkungan dengan budaya masyarakat terjadi saling pengaruh. Lahan pebukitan menjadikan masyarakat Sunda dekat dengan kehidupan berladang. Meskipun demikian tidak berarti tidak ada aktivitas lain di luar berladang.

Kegiatan masyarakat Sunda yang berhubungan dengan bercocok tanam terlihat pada beberapa naskah. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, yaitu salah satu naskah yang menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda pada sekitar abad ke-16 di antaranya berisi mengenai pedoman moral untuk kehidupan bermasyarakat, termasuk berbagai ilmu yang harus dikuasai untuk bekal kehidupan. Di dalam naskah tersebut diuraikan mengenai berbagai profesi yang dilakukan oleh masyarakat Sunda pada waktu itu, diantaranya yaitu pangalasan, peladang, panyadap, panyawah, penangkap ikan, juru selam, dan lain-lain (Danasasmita, 1987:103).

Prasasti masa Kerajaan Sunda yang berdasarkan keletakannya dapat dikaitkan dengan aktivitas masyarakat pada waktu itu yaitu prasasti Sanghyang Tapak II, prasasti Kawali, prasasti Batu Tulis, dan prasasti Huludayeuh. Ketiga prasasti tersebut keletakannya memperlihatkan pada ekosistem yang berbeda. Lokasi-lokasi di mana prasasti itu ditemukan, meskipun tidak berada pada tepian sungai besar namun tetap memberikan alternatif dalam bercocok tanam yaitu sebagai ekosistem perladangan dan persawahan. Dengan demikian terlihat bahwa masyarakat Sunda sudah mengenal rekayasa bercocok tanam yang sesuai dengan lingkungan masing-masing di mana mereka bertempat tinggal (Saptono, 2013:14). Walaupun sawah juga sudah dikenal namun ladang merupakan sistem pertanian yang banyak dijumpai.

Bukti mengenai kegiatan perladangan ini dapat dilihat dalam naskah. Salah satu naskah yang menyinggung mengenai hal ini adalah naskah Carita Parahyangan. Dalam naskah Carita Parahyangan dijumpai istilah-istilah yang menunjukkan pekerjaan di ladang. Naskah ini menyebutkan lahirnya lima orang titisan Panca Kusika, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandajun.

…  Sang  Mangukuhan  njieun  maneh  pa(ng)huma,  Sang  Karungkalah njieun maneh panggerek, Sang Katu(ng)maralah  njieun maneh panjadap, Sang Sandanggreba njieun maneh padagang” (Atja, 1968:17)

Terjemahannya:

“… Sang Mangukuhan menjadi tukang ngahuma (peladang), Sang Karungkalah menjadi tukang berburu (pemburu), Sang Katungmaralah menjadi tukang sadap (pembuat gula merah dari nira enau), Sang Sandanggreba menjadi pedagang”.

Kutipan ini menunjukkan, bahwa ngahuma, berburu, dan nyadap adalah jenis-jenis pekerjaan di ladang. Selain dalam naskah Carita Parahyangan, naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian juga menyinggung mengenai kegiatan perladangan. Dalam naskah tersebut disinggung beberapa peralatan yang digunakan untuk bekerja di ladang, seperti kujang, patik, kored, baliung, dan sadap (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:387–418; Danasasmita, 1987:108). Selain itu dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian juga diuraikan mengenai rumusan kriteria kesejahteraan masyarakat (Danasasmita, 1987:73). Kriteria kesejahteraan masyarakat menurut naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian adalah sebagai berikut:

… Ini pakeun urang ngretakuen bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras …

 Terjemahannya:

… Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang, bersih halaman belakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup, selalu sehat …) (Danasasmita, 1987:94).

Berdasarkan uraian dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian terlihat bahwa kehidupan masyarakat Sunda bertumpu pada kegiatan pertanian ladang. Masyarakat Sunda digolongkan sebagai sejahtera bila tercukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Meskipun pola pertanian ladang merupakan sumber utama kegiatan produksi pertanian, namun kegiatan pertanian yang berupa persawahan juga sudah dikenal. Dalam naskah, baik Carita Parahyangan maupun Sanghyang Siksakandang Karesian masing-masing hanya menyebut sedikit sekali tentang panyawah ini. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa kegiatan persawahan tidak begitu populer di kalangan masyarakat Kerajaan Sunda.

Salah satu cerita pantun yang menceritakan tentang kegiatan bertani huma adalah cerita pantun Lutung Kasarung yang dianggap suci (Ekadjati, Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, 2005:148–149). Dalam cerita pantun tersebut diterangkan mengenai cara-cara berladang yang baik dan benar serta cara berladang yang buruk dan salah. Menurut cerita pantun tersebut cara berladang yang baik harus memperhatikan pergantian musim. Penggarapan ladang sebaiknya dimulai dan diakhiri pada musim kemarau. Sedangkan penanaman benih dan sampai selesai pemeliharaan tanaman dilaksanakan selama musim penghujan. Dalam naskah pantun tersebut juga diuraikan mengenai tatacara pembukaan hutan untuk dijadikan ladang, pembuatan pupuk, cara pemanfaatan lahan, cara membersihkan dan menjaga ladang, tatacara memanen, dan upacara yang berhubungan dengan pemujaan kepada Dewi Padi yaitu Nyi Pohaci Sanghiyang Sri (Ekadjati, 1995:364–365). Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber tersebut, masyarakat Sunda pada umumnya merupakan masyarakat peladang. Kerajaan Sunda dapat digolongkan dalam kerajaan yang menyandarkan hidupnya pada pertanian. Bentuk pertanian yang berlangsung di Kerajaan Sunda terutama adalah perladangan (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:417).

Sistem organisasi sosial masyarakat peladang biasanya merupakan kelompok masyarakat sederhana (tribe) yang pemukimannya terpisah dan terpencar. Pada pemukiman masyarakat yang terpencar akan menentang munculnya wewenang terpusat. Sifat ekosistem perladangan seperti itulah yang menyebabkan pusat-pusat pemerintahan dan kerajaan yang mengandalkan ekonomi perladangan sebagai tulang punggung tidak bisa tumbuh menjadi besar (Rahardjo, 2007:116). Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda dapat berkembang dan berlangsung lama karena di samping berlandaskan pada ekonomi perladangan juga sudah menjalankan aktivitas kemaritiman.

Aktivitas Kemaritiman dan Kelangsungan Kerajaan Sunda

Kemaritiman dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut. Lebih spesifik lagi, segala sesuatu itu adalah perdagangan dan pelayaran. Salah satu petunjuk mengenai adanya aktivitas perdagangan di Kerajaan Sunda adalah adanya petugas pangurang dasa calagra yaitu petugas pemungut pajak di pelabuhan (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:416). Aktivitas kemaritiman Kerajaan Sunda dalam bentuk perdagangan dan pelayaran tidak hanya bersifat lokal (insuler) tetapi sudah mencapai perdagangan regional dan internasional (interinsuler). Dalam menunjang perdagangan insuler dan interinsuler ini Kerajaan Sunda mempunyai beberapa kota pelabuhan yang terdapat di pantai utara Jawa bagian barat. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai melakukan perdagangan dengan masyarakat pedalaman. Masyarakat pesisir juga sudah melakukan hubungan dagang dengan masyarakat luar. Kapal-kapal niaga luar negeri terutama dari Cina banyak melakukan aktivitas perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda. Sementara itu pedagang dalamnegeri melakukan pelayaran dagang hingga ke Malaka. Untuk mencapai Malaka digunakan lanchara kargo berdaya angkut 150 ton. Di Kerajaan Sunda terdapat lebih dari 6 jung dan lanchara-lanchara dengan tiang berbentuk bangau dan dilengkapi anak tangga sehingga mudah dikemudikan.

Selain kota-kota yang berada di pesisir, menurut catatan de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983:83). Selain de Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cotesao, 1967:166). Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra atau Caravam (Saptono, 1998:241).

Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cotesao, 1967:170–173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa.

Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada dengan kualitas tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per tahunnya. Selain lada komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai jawa dan buah asam. Kedua komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal. Kerajaan Sunda selain menyediakan barang-barang komoditas juga menyediakan tenaga kerja (budak yang diperjual-belikan) baik pria maupun wanita. Ketersediaan tenaga kerja ini selain dari lokal juga dipasok dari Kepulauan Maladewa. Perjalanan dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh hari. Dalam aktivitas perdagangan telah digunakan semacam mata uang terbuat dari emas yang dicetak dengan 8 mate, yaitu semacam goresan atau cetakan emas yang digunakan di Timur (Cotesao, 1967:172).

Hubungan dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu yang menyusuri laut pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tomé Pires, aktivitas perdagangan di pantai utara Jawa juga terjalin secara antar kota pelabuhan. Berlangsungnya perdagangan semacam ini, di Indramayu ditandai dengan adanya temuan perahu di Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta tinggi sekitar 1,5 m menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak yang tidak begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra (Michrob, 1992).

Hubungan antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di Pakwan Pajajaran ke pemukiman-pemukiman di pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan jalan ada dua yaitu ke arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan Pajajaran menuju Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan Cibarusah. Dari Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang kemudian terus ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di Karangsambung jalan ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke arah Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalur jalan lain dari Karangsambung menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke Rangkasbitung dan berakhir di Banten. Satu jalur lagi dari Pakwan Pajajaran ke arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian dilanjutkan menggunakan jalan sungai (Ci Sadane) menuju muara. Dengan menggunakan prasarana transportasi jalan darat ini, barang-barang komoditas dari pedalaman dan dari luar dapat dipertukarkan (diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan di pesisir (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:420).

Berdasarkan beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada dasarnya merupakan kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor perladangan. Secara teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan akan tidak dapat berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda bertahan pada kurun waktu antara abad ke-10 hingga ke-17. Bertahan lamanya Kerajaan Sunda ternyata didukung aktivitas kemaritiman berupa perdagangan insuler dan interinsuler. Kerajaan Sunda merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu terdapat barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran. Barang-barang komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur, daging (babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas. Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan akar-akaran. Perdagangan secara insuler dilakukan dengan beberapa pelabuhan dagang di Pulau Jawa, sedangkan secara interinsuler dilakukan dengan beberapa daerah di Sumatera misalnya Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue, dan Tanjungpura; di Sulawesi dengan Makasar; dan secara internasional dengan Malaka, Maladewa, Pagan, dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa lokasi di pedalaman melalui jaringan jalan darat.

Kerajaan Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai peladang sangat bergantung pada aktivitas kemaritiman untuk kelangsungannya. Dalam hal ini peran pelabuhan dagang sangat vital. Pelabuhan bukan sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta terlindung dari angin dan arus yang kuat. Tempat ideal untuk pelabuhan adalah muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:141). Pelabuhan sebagai kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat sebagai faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji barang, manusia, dan informasi dari pelabuhan satu ke kota lainnya (Nurhadi, 1995:87).

Pada masa akhir Kerajaan Sunda, peran pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut mengalami kemunduran. Dalam perkembangannya ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada 1775–1778 di Jawa Barat hanya ada tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995:193). Penyebab menurunnya fungsi pelabuhan terjadi karena beberapa faktor. Hal yang umum terjadi karena adanya perebutan kekuasaan. Salah satu contoh misalnya yang terjadi pada pelabuhan Cheguide. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis berpotensi munculnya ancaman orang-orang Islam di pesisir terhadap Kerajaan Sunda. Pada 1512 Kerajaan Sunda menjalin hubungan dengan Portugis (Graaf & Pigeaud, 1985:146–147).

Ketika itu Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam meminta bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada 1522 pihak Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi gubernur Jorge d’Albuquerque, mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Ketika yang bertahta adalah Samiam (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:394).

Perjanjian berlangsung pada 21 Agustus 1522. Isi perjanjian pada intinya raja Sunda memberikan ijin kepada Portugis untuk membangun benteng. Raja akan menyediakan lada sebanyak-banyaknya sebagai penukar barang-barang yang diperlukan. Sebagai pernyataan persahabatan raja Sunda akan menghadiahkan 1.000 karung lada setiap tahun sejak Portugis membangun benteng (Djajadiningrat, 1983:79–80). Dalam perjanjian itu pihak Portugis diwakili Henrique Leme sedangkan Raja Sunda didampingi oleh tiga orang menteri yaitu Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pate, dan Bengar. Menurut Guillot, perjanjian antara Leme dan pihak Raja Sunda dilakukan di Banten dan selanjutnya pihak Portugis akan mendirikan benteng di Cidigy atau Cheguide. Lokasi Cheguide menurut buku pedoman pelayaran dapat ditentukan terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane. Akhirnya Guillot menarik hipotesis bahwa Cheguide di mana Leme mendirikan padrao sebagai tanda lokasi akan dibangunnya benteng berada di muara Ci Sadane, tepi Kali Kramat sekarang. Pembangunan benteng dilaksanakan oleh Francisco de Sa. Ketika Francisco de Sa menuju Sunda, armadanya terserang badai. Duarto Coelho salah seorang kapten armada tersebut berhasil sampai di pelabuhan tetapi kapalnya tengelam di situ. Semua pasukannya diserang oleh orang-orang Islam yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari Samiam (Guillot, 1992; Saptono, 1998:246–248).

Perebutan kekuasaan selain terjadi di Cheguide juga di Sunda Kelapa. Pada 1527 Sunda Kelapa berhasil direbut oleh pasukan Islam. Kondisi seperti ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kawasan pesisir dengan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman. Jalan niaga Kerajaan Sunda satu persatu jatuh ke tangan pasukan Islam, sehingga raja hanya dapat bertahan di pedalaman (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:395).

Selain karena perebutan kekuasaan, tidak berfungsinya pelabuhan juga disebabkan faktor alam. Sebagai contoh adalah pelabuhan Chemanuk (Indramayu). Pengkajian terhadap sedimentasi yang terjadi di sekitar Ci Manuk, khususnya daerah delta, sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli misalnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (PPPGL, 2016). Ci Manuk merupakan gabungan dari anak-anak sungai yang lebih kecil, yaitu Ci Lutung, Ci Pelas dan Ci Keruh. Ketiga anak sungai Ci Manuk tersebut mengalir pada daerah-daerah endapan volkanik muda berumur Kuarter. Debit air Ci Manuk mencapai 1200 m3/detik di kala musim hujan, yaitu pada bulan Oktober hingga Maret. Pada musim kering debit sungai ini hanya mencapai 5 m3/detik. Dengan debit sungai yang sedemikian besar, di kala musim hujan, mengakibatkan alur sungai yang ada tidak mampu menampung jumlah air sungai, air akan meluap keluar menggenangi lingkungan sekitar. Dalam situasi tersebut kecepatan aliran air luapan (banjir) Ci Manuk akan mengalami penurunan karena terhambat oleh berbagai pematang-pematang, arus dan gelombang laut.

Kadar lumpur air Ci Manuk tergolong tinggi yaitu rata-rata 2.850 mg/liter, sementara kadar maksimum adalah 8.840 mg/liter, karena memiliki kadar lumpur yang cukup tinggi maka pertumbuhan daratan baru (akrasi) di kawasan muara berlangsung dengan kecepatan kurang lebih 200 meter/tahun. Dua faktor penting yang mempengaruhi dinamika alur Ci Manuk yaitu perubahan yang drastis debit sungai dan kandungan lumpur yang cukup tinggi. Ci Lutung sebagai salah satu anak sungai Ci Manuk juga mempunyai arti penting, sungai ini juga memiliki kadar lumpur lebih dari 2.850 mg/liter. Dari kandungan lumpur yang demikian tinggi tersebut ditambah dengan kandungan lumpur Ci Manuk dapat mencapai 27 juta ton/tahun. Akibatnya kawasan muara Ci Manuk akan mengalami proses pendangkalan (akrasi) yang sangat luas dan cepat. Material sedimen terangkut aliran Ci Manuk memiliki beragam ukuran butir, gosong pasir terkadang terbentuk pada tengah alur sungai (mid stream bar) yang terdiri dari pasir ukuran sedang. Pembentukan gosong pasir tersebut dapat menghambat dan menyumbat aliran alur-alur sungai mengakibatkan proses pengendapan tidak seimbang antara satu alur dengan alur-alur lainnya. Pendangkalan yang sangat intens menyebabkan pelabuhan Indramayu tidak dapat berfungsi.

Simpulan

Kerajaan Sunda merupakan kerajaan di Jawa Barat yang eksis berdiri pada kurun abad ke-10 hingga ke-16. Kerajaan Sunda dapat dikatakan sebagai pengganti Kerajaan Tarumanagara. Pusat pemerintahan Kerajaan Sunda berpindah-pindah yang semuanya berada di pedalaman yaitu di sekitar Ciamis dan Bogor. Sesuai dengan kondisi geomorfologi wilayahnya, pola mata pencaharian masyarakat Sunda mayoritas sebagai peladang. Sebagai masyarakat peladang, pemukimannya cenderung berupa pemukiman kecil (tribe) yang berpindah-pindah. Suatu kerajaan dengan pola semacam ini akan sulit berkembang dan bertahan. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda dapat bertahan hingga sekitar 600 tahun. Hal ini ternyata ditunjang aktivitas kemaritiman.

Dalam menjalankan aktivitas kemaritiman, Kerajaan Sunda didukung oleh adanya enam pelabuhan dagang di sepanjang pantai utara Pulau Jawa bagian barat. Dengan adanya pelabuhan tersebut, terjadi hubungan dagang secara insuler dan interinsuler. Perdagangan insuler terjadi antara kawasan pedalaman dengan pesisir dan antar kota pelabuhan di Pulau Jawa. Hubungan dagang antara kawasan pesisir dengan pedalaman ditunjang oleh adanya jaringan jalan yang menghubungkan antara pusat pemerintahan dengan beberapa permukiman baik di pedalaman maupun di pesisir. Perdagangan interinsuler terjalin dengan beberapa daerah di Sumatera, Sulawesi, Malaka, Maladewa, dan Cina. Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada, beras, dan bahan makanan. Barang komoditas dari luar antara lain tekstil, akar-akaran, dan tenaga kerja (budak). Perebutan kota-kota pelabuhan yang dilakukan oleh masyarakat muslim di pesisir menjadikan pusat kerajaan terisolir. Kemunduran fungsi kota pelabuhan juga disebabkan faktor alam berupa pendangkalan. Dengan semakin terbatasnya aktivitas kemaritiman yang dilakukan Kerajaan Sunda menjadikan mengalami keruntuhan.

Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.

Baca juga: Buni Batujaya Satu Populasi Dua Budaya

Daftar Pustaka

Atja. (1968). Tjarita Parahijangan Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ke-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.

Boechari. (1979). An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampong). Praseminar Penelitian Sriwijaya (hlm. 19–42). Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Cotesao, A. (1967). The Suma Oiental of Tome Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.

Danasasmita, S. (1987). Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Budaya Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Djafar, H. (2001). Percandian di Situs Batujaya, Karawang: Kajian Arsitektural, Kronologi, dan Sistemnya. Semiloka Potensi dan Prospek Situs Percandian Batujaya Karawang, Jawa barat. Depok: Universitas Indonesia.

Djafar, H. (2010). Kompleks Percandian Batujaya. Bandung: Kiblat.

Djajadiningrat, H. (1983). Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan.

Ekadjati, E. S. (1995). Carita Pantun Lutung Kasarung: Eksistensi, Fungsi, dan Pandangan Msyarakat Sunda Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Kirana. Jakarta: Intermasa.

Ekadjati, E. S. (2005). Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Bandung: Pustaka Jaya.

Graaf, H.J. de, & Pigeaud, T. (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafitipers.

Guillot, C. (1992). Perjanjian dan Masalah Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 13.

Iskandar, J. (2009). Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran.

Iskandar, Y. (1997). Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten.

Michrob, H. (1992). Temuan Perahu Kuno Tradisi Jawa Barat di Kabupaten Indramayu. Serang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Barat, DKI Jaya, dan Lampung.

Munandar, A. A., Fahrudin, D., Sujai, A., & Rahayu, A. (2011). Bangunan Suci Sunda Kuna. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Nurhadi. (1995). Pasang Naik dan Surut Kota-kota Pantai Utara Jawa, Sebuah Model Kajian. Berkala Arkeologi Tahun XV-Edisi Khusus, 87–91.

Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2009 a). Sejarah Nasional Indonesia III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2009). Sejarah Nasional Indonesia II, Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

PPPGL. (2016, Maret 4). Proses Pertumbuhan Delta Baru Sungai Cimanuk Hingga Tahun 2002, di Pantai Timur Kabupaten Indramayu. Dipetik Juni 17, 2017, dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan: http://www.mgi.esdm.go.id/content/proses-pertumbuhan-delta-baru-sungai-cimanuk-hingga-tahun-2002-di-pantai-timur-kabupaten

Rahardjo, S. (2007). Kota-kota Prakolonial Indonesia. Pertumbuhan dan Keruntuhan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Saptono, N. (1998). Cheguide. Dalam T. Djubiantono, L. Yondri, Y. Arbi, & N. Saptono, Dinamika Budaya Asia Tenggara-Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah (hlm. 241–250). Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat.

Saptono, N. (2012). Penelitian Puncak-puncak Peradaban di Pantai Utara Jawa Barat dan Proses Perjalanan Masyarakat Hindu. Kalpataru 21(1), 30–38.

Saptono, N. (2013). Rekayasa Untuk Menghasilkan Pangan Pada Masyarakat Kerajaan Sunda Abad ke-14–16. Dalam A. A. Munandar, Widyadwara: Kajian Arkeologis Pangan dan Papan Warisan Leluhur (hlm. 1–18). Bandung: Alqa Print.

Stockdale, J. J. (1995). Island of Java. Singapore: Periplus Editions Ltd.