Museum yang berada di Jalan Diponegoro No. 10 Kota Padang ini mendapat nilai standardisasi A tertinggi pada 2014 denga poin 244. Museum yang berdesain Rumah Gadang dengan gaya bangunan Gajah Maharam mulai dibangun pada 1974 di areal lebih kurang 2,5 hektar dengan luas bangunan 2.854,8 meter persegi. Di halamannya tumbuh 100 jenis tanaman berupa pohon pelindung, tanaman hias dan apotek hidup. Di lokasi ini dahulu dikenal dengan Taman Melati, tempat bermain warga kota Padang. Pada masa Hindia-Belanda di lokasi ini berdiri Tugu Micheils. Akan tetapi pada masa pendudukan oleh jepang tugu ini diruntuhkan.
Museum ini bernama Museum Aditywarman. Peresmiannya dilakukan pada 16 Maret 1977 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Dr. Syarif Thayeb. Nama Adityawarman diambil dari Raja Minangkabau yang berkuasa sekitar abad ke-14 melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.093/0/1979, pada 28 Mei 1979. Kebesaran Adityawarman dapat diketahui melalui prasasti di Saruaso, Lima Kaum, Pagaruyung dsb, serta arca Bhairawa (sekarang berada di Museum Nasional-Jakarta) dan candi Padang Rocok didaerah Sijunjung. Setelah Otonomi daerah, status Museum Adityawarman resmi dikelola Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat, di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat.
Pada 2015 museum ini mendapat Dana Tugas Pembantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk Revitalisasi Museum. Dana ini akan digunakan untuk renovasi dan penataan gedung storage, pengadaan perangkat sistem penyajian informasi, pengadaan lemari penyimpanan koleksi, pengadaan perangkat pengamanan koleksi, pengadaan sarana material konservasi storage, pengadaan peralatan sirkulasi untuk storage, pengadaan dan pemasangan alat pengatur udara di storage dan pengadaan dan pemasangan sistem pengamanan.
Tujuan revitalisasi Museum Adityawarma ini adalah untuk meningkatkan sistem penyimpanan koleksi yang baik. Sistem penyimpanan bertujuan untuk meningkatkan preservasi koleksi (storage), kenyamanan dan kemanan koleksi, dan kemudahan akses dalam memperoleh informasi.
Perlu diketahui bahwa wilayah Sumatera Barat beberapa kali mengalami gempa bumi. Sejak 1822 hingga 2010 telah terjadi 15 kali gempa bumi. Di antaranya menyebabkan tsunami, yaitu gempa bumi yang terjadi pada 1861 di Mentawai dan pada 1904 di Sori Sori. Museum Adityawarman yang berada di kawasan yang sangat rawat gempa bumi ini harus memiliki sarana yang baik. Untuk itu perlu pembenahan museum melalui kegiatan revitalisai museum, agar Museum Adityarman memiliki fasilitas yang adaptif terhadap gempa. (Ivan Efendi)