Di Antara Dua Wanita: Suhita dan Parwati

0
5156
Arca Suhita Tampak Depan (kiri) dan Belakang (kanan)
Arca Suhita Tampak Depan (kiri) dan Belakang (kanan)

Jika kamu pernah berkunjung ke Museum Nasional, kamu tentu pernah melewati ruang arca. Ratusan arca masa klasik dipajang di sana, dari yang ukurannya setinggi lutut sampai empat meter lebih seperti arca Bhairawa. “Patung” masa klasik dari tokoh terkenal seperti Ganesha hingga tokoh yang tidak dikenal dipamerkan di sana. Tak jauh dari letak arca Bhairawa didirikan, ada sebuah arca berwujud wanita yang membuat para ahli “berseberangan” tentang tokoh yang dipahatkan. Secara garis besar ada dua pendapat tentang tokoh yang diarcakan, yaitu Suhita dan Parwati.

Suhita

Jan Fontein, R. Soekmono, dan Satyawati Suleiman mengidentifikasikan arca tersebut sebagai wujud seorang ratu berdasarkan pakaian dan perhiasan yang digunakan. Kerayaan atau kemewahan perhiasan yang diukirkan pada arca bergaya Majapahit itu menunjukkan bahwa wanita tersebut berlatar belakang kerajaan, layaknya seorang ratu. Ada pun ratu yang tersohor di masa kerajaan Majapahit adalah Suhita. Menurut ketiga ahli tersebut, sosok Ratu Suhita-lah yang paling mungkin diabadikan dalam bentuk arca.

Walaupun termasuk sebagai salah satu tokoh besar pada masanya, kisah tentang pemerintahan Suhita hanya terekam di kitab Pararaton. Suhita naik tahta pada 1351 S/1429 M (Djafar, 2012:72) menggantikan sang ayah, Wikramawarddhana atau yang dalam Pararaton (Hardjowardojo, 1965:56) dikenal Bhra Hyang Wisesa. Suhita memerintah Majapahit sekitar 28 tahun setelah peristiwa Paregreg, perang saudara antara Wikramawarddhana (kedaton kulon) dengan Bhre Wirabhumi (kedaton wetan) yang bermula pada 1323 S/1401 M.

Hingga kini nampaknya masih sangat sulit untuk mengetahui representasi dari dewi siapakah arca Suhita tersebut. Dalam Pararaton (Hardjowardojo, 1965:56-57) sama sekali tidak dijelaskan perihal agama yang dianut oleh Suhita, melainkan hanya disebutkan perihal genealogi, masa pemerintahan, serta tahun wafat yakni 1369 S/1447 M (Muljana, 2005:23).

Parwati

Pendapat tentang Parwati juga tak kalah menarik, kesimpulan tersebut awalnya ditarik dari asal usul arca tersebut ditemukan. Tak jauh dari lokasi penemuannya di Jebuk, Kalangbret, Tulungagung, ditemukan juga arca yang dinamakan Arca Raja dan Ratu atau Arca Pengantin yang penggambaran raut wajah dan aksesorisnya mirip dengan arca ini. Berdasarkan kemiripannya, A. J. B. Kempers pada tahun 1959 menyatakan bahwa arca Suhita dan arca Raja dan Ratu ini dibuat oleh pemahat yang sama.

Arca Raja dan Ratu atau Arca Pengantin Koleksi Museum Nasional
Arca Raja dan Ratu atau Arca Pengantin Koleksi Museum Nasional

Sulit untuk “menebak” dewi yang direpresentasikan arca tersebut. Namun jika kita kembali pada pendapat Kempers tentang kesamaan figur Suhita dengan tokoh ratu pada arca Raja dan Ratu, akan menimbulkan tafsiran baru. Menurut Kempers (1959:89), cermin yang dipegang oleh arca ratu mengindikasikan bahwa dia adalah Parwati, sakti Shiwa. Kesamaan penggambaran raut wajah dan aksesoris yang dikenakan kedua sosok wanita itu menghasilkan kesimpulan bahwa keduanya adalah representasi dewi yang sama, yaitu Parwati.

Pengarcaan

Arca berbahan andesit itu kondisinya sudah rusak. Mahkota, hidung, lengan kiri (patah dan sudah disambung kembali), pergelangan tangan dan jari-jari tangan kirinya sudah hilang. Arca koleksi Museum Nasional itu tergolong unik, hiasan padma hampir menutupi seluruh bagian belakang tubuhnya, berbeda dengan padma pada arca masa Majapahit pada umumnya yang diukirkan langsung keluar dari pot/vas yang ada di kiri dan kanan arca. Keunikannya itu menambah khasanah bidang ikonografi arca-arca dewi dalam tradisi Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia.

Arca yang dilabeli nama Suhita itu tentu memiliki nilai penting, yaitu salah satu arca perwujudan seorang ratu besar yang pernah memerintah Kerajaan Majapahit. Tak ayal, arca itu sedang diajukan sebagai Cagar Budaya Peringkat Nasional oleh Tim Registrasi Nasional.

Referensi:
Djafar, H. (2012). Masa Akhir Majapahit: Girîndrawarddhana dan Masalahnya. Depok Komunitas Bambu.

Hardjowardojo, R.P. (1965). Pararaton. Jakarta: Bhratara.

Kempers, A.J.B. (1959). Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J. van der Peet.

Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.

 

Baca juga:

Candi Ngawen, Si Mungil dengan Bingkai Keindahan Alamnya

Cerita di Balik Lestarinya Cagar Budaya Bali

Resmi! Kompleks Percandian ini Sudah Menjadi Cagar Budaya Nasional