Rumah Betang Damang Batu dan peristiwa di Tumbang Anoi
Ketika Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) melakukan sidang kajian di Palangkaraya pada 25–27 Oktober 2018 lalu terasa begitu istimewa. Dua utusan dari Kabupaten Lamandau dan Kabupaten Gunung Mas hadir dengan membawa beberapa naskah. Mereka berharap naskah-naskah itu dapat direkomendasikan untuk ditetapkan menjadi Cagar Budaya tingkat kota/kabupaten, provinsi, atau bahkan nasional. Salah satu utusan dari Kabupaten Gunung Mas, Pirion, menyampaikan beberapa naskah-naskah itu disertai cerita yang menarik. Di antaranya mengenai hubungan antara Rumah Betang Damang Batu dengan peristiwa kesepakatan Tumbang Anoi.
Hampir satu jam Pirion menceritakan kisah menarik yang ia dapat dari keluarganya. Kisah yang ia peroleh secara turun-temurun itu bercerita tentang kesepakatan Tumbang Anoi. Dengan penuh percaya diri, Pirion menceritakan satu peristiwa yang terjadi pada 23 Mei hingga 22 Juni 1894. Saat Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Nusantara.
“Saat itu, suku-suku Dayak di seluruh Kalimantan berkumpul di Desa Tumbang Anoi. Satu desa yang dipercaya sebagai pusatnya orang Dayak. Mereka melakukan perundingan di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan perundingan itu untuk melahirkan kesepakatan penghapusan tradisi mengayau dan perbudakan” terang Pirion.
Tradisi saling bunuh dengan cara memenggal kepala
Mengayau atau headhunter adalah tradisi saling bunuh dengan cara memenggal kepala seseorang dari sub-etnis Dayak satu dengan yang lain. Tradisi memenggal kepala ini erat kaitannya dengan pemberian tumbal/sesaji. Dilakukan terutama menjelang upacara tiwah.
Guntur Tulajan, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah—yang juga keturunan asli Dayak Tomun—menambahkan “tidak ada Tiwah jika tidak ada tumbal kepala musuh”. Selama berabad-abad tradisi ini terus berlanjut. Hingga akhirnya Pemerintah Hindia-Belanda mengakomodasi kesepakatan tersebut.
Terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial itu, Agus Aris Munandar menyatakan bahwa kesepakatan itu adalah masalah politik. “Jadi jelas sekali perjanjian ini merupakan politik kebudayaan dari Pemerintahan Hindia-Belanda”.
Kesepakatan Tumbang Anoi dilakukan di rumah Betang Damang Batu. Rumah khas suku Dayak itu terletak di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas. Harry Truman Simanjuntak menyatakan ketertarikannya terhadap nilai historis rumah Betang Damang Batu itu. “Nilai historis di balik kesepakatan Tumbang Anoi mampu memerkuat rumah Betang Damang menjadi Cagar Budaya”, pungkasnya.
Sempat hangus terbakar
Namun sayang, tanpa ada sebab yang jelas, pada 1930 Betang ini sempat dibongkar oleh ahli waris. Sebagiannya lagi hangus terbakar. “Betang ini sekarang sudah tidak tersisa, tinggal puing-puing saja. Betang yang asli setelah dibongkar dibuang begitu saja atas perintah Hindia-Belanda. Hingga kini yang ada hanya replika Betang Damang Batu, yang dibangun oleh pemerintah provinsi pada 2005. Betang replika ini masih ditinggali oleh ahli waris hingga sekarang”, tambah Pirion.
Sungguh sayang, data tertulis mengenai peristiwa kesepakatan Tumbang Anoi, pemindahan hingga terbakarnya rumah Betang Damang Batu sangat terbatas. Hasan Djafar dan Mona Lohanda secara bergantian menyatakan, “Catatan kesepakatan ini kemungkinan dimuat dalam laporan serah terima jabatan Pemerintah Hindia Belanda. Dokumentasi dari perjanjian tersebut mungkin ada di Troopen Institut”. Dengan demikian, Soeroso selaku Ketua TACBN memberikan keputusan untuk memelajari naskah-naskah peristiwa itu terlebih dahulu. Sidang kali ini pun belum dapat memberikan keputusan statusnya. (Rendy Aditya Putra E.-Sub Direktorat Registrasi Nasional)
Baca juga:
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/rumah-betang-panjang-saham-rumah-panjang-berusia-143-tahun/