Dahulu bernama Langgar Gandekan
Langgar Al-Yahya berada di Jalan Gandekan (baca: Gande an), Kota Semarang, Jawa Tengah. Langgar ini terletak di dalam gang, dikelilingi pemukiman penduduk. Konon rumah ibadah yang mungil ini dibangun oleh salah seorang murid Sunan Kalijaga. Didirikan pada 1815 di atas sebidang tanah milik sorang yang kaya raya bernama Taspirin. Dahulu masyarakat mengenalnya sebagai tuan tanah. Ia banyak memiliki tanah yang tersebar di sekitar kota Semarang. Sekarang keturunan Taspirin masih ada dan tinggal di daerah Kulitan.
Sebelumnya Langgar Al-Yahya dikenal sebagai Langgar Gandekan, karena letaknya yang berada di Kampung Gandekan. Namun sejak 20 tahun lalu namanya diubah menjadi Langgar Al-Yahya oleh Bapak Solikhin, yang saat itu menjadi ketua pengurus langgar. Nama Al-Yahya berarti Maha Hidup.
Jauh dari kesan megah
Langgar Al-Yahya masih tampak asli. Atapnya bertumpang tiga. Mencirikan bentuk yang sangat kental dengan budaya Jawa. Di bagian puncak atap terdapat mustaka berhias lidah api di tepinya dan bulatan di atasnya. Lantainya panggung setinggi paha orang dewasa. Plafonnya yang tersusun dari bilah-bilah papan membentuk lantai kedua. Dahulu lantai kedua ini berfungsi sebagai tempat menginap para musyafir. Namun kini ruang itu digunakan sebagai tempat penyimpanan.
Ada dua pintu di langgar ini. Pintu di sisi utara dan sisi timur. Di atas pintu utara terdapat kaligrafi bertuliskan ‘Allah’. Kaligrafi seperti ini juga terdapat di atas mihrab dengan ukuran yang lebih besar tetapi lebih sederhana. Di pintu di sisi timur terdapat hiasan menyerupai bangunan langgar. Di bagian tepi plafon terdapat tulisan “Laailahailallah Muhammadarrosullah”. Tulisan ini dilukis dengan malam. Bahan yang umunya digunakan untuk membatik. Pengurus langgar berusaha untuk terus mempertahankan tulisan ini dengan cara menebalkannya secara berkala, agar tetap terbaca.
Langgar Al Yahya sebagai warisan yang sangat berharga
Saat ini Langgar Al-Yahya masih berfungsi sebagai tempat beribadah. Shalat lima waktu dan shalat tarawih masih dilakukan di langgar ini. Bahkan pengajian pun masih rutin dilakukan. Ini menjadi salah satu bentuk kepedulian masyarakat di Gandekan terhadap kelestarian bangunan kuno ini.
Perawatan langgar dilakukan menggunakan dana infaq. Di antaranya digunakan untuk pemugaraan. Salah satu bentuk pelestarian itu pernah dilakukan atas inisiatif masyarakat dengan mengganti bagian atap dengan bahan yang sejenis. Sementara penambahan keramik di bagian dinding ruang utama dilakukan untuk kenyamanan jamaah, dan tidak merusak dinding asli.
Kepedulian masyarakat ini tidak hanya didasarkan pada fungsi langgar sebagai tempat ibadah, namun juga karena telah adanya kesadaran untuk menjaga nilai sejarah dari bangunan tersebut. Oleh karena itu, keberadaan Langgar Al-Yahya dapat terus dipertahankan hingga saat ini. (Riri-Ega)
baca juga
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/masjid-raya-sultan-riau/