Sumber: wikimedia.org
oleh: Sondang Martini Siregar
Balai Arkeologi Sumatera Selatan
Perdagangan adalah interaksi timbal balik yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk mendapatkan barang dan jasa melalui pertukaran. Faktor-faktor perbedaan geografis, ketersediaan bahan baku, tingkat teknologi dan mata pencaharian merupakan pendorong manusia melakukan perdagangan. Perdagangan di Indonesia sudah dikenal sejak zaman Prasejarah, khususnya pada masa bercocok tanam. Perdagangan dilakukan dengan cara barter, tetapi pola perdagangan tidak terjadi di antara komunitasnya tetapi antar kelompok komunitas yang memiliki perbedaan geografis (Mardiana 2000:49).
Setelah masa Prasejarah dikenal 2 (dua) jalan perdagangan yaitu jalan darat dan laut. Jalan darat atau jalan sutra mulai dari Tiongkok, Asia Tengah, Turkestan sampai Laut Tengah. Sedangkan jalan melalui laut yaitu dari Tiongkok dan Indonesia melalui Selat Malaka ke India, Persia, Suriah dan Laut Tengah.
Perhubungan laut mulai umum dipergunakan sejak abad ke-1 Masehi yaitu sejak ekspansi bangsa Arab yang berhasil melalui jalan darat mengakibatkan jalan laut melalui Asia Selatan menjadi jalan perdagangan yang utama. Kejadian ini mendorong lalu lintas yang ramai di Asia Tenggara dan Sriwijaya yang terletak diantara lalu lintas perdagangan dunia mendapat keuntungan besar melalui peristiwa ini. Dalam perkembangannya banyak para pedagang India dan Cina berkunjung ke Indonesia karena memiliki banyak barang dagangan yang sangat berharga.
Hubungan dagang dengan India makin meluas terutama setelah mereka mengambil jalan pintas. Para pedagang menyusuri pantai timur Sumatera, terus ke Selat Malaka berbelok menyusuri pantai utara Jawa, Bali, pantai timur Kalimantan (Muara Kaman) terus ke Cina. Ternyata jalur ini lebih tenang dan aman dibanding melalui Laut Cina Selatan. Selain itu, pulau-pulau yang dilalui banyak menghasilkan barang dagangan, seperti emas, perak, gading, beras, rempah-rempah dan kayu cendana. (Atmosudirjo, 1984).
Sriwijaya
Salah satu kerajaan yang terlibat dalam perdagangan dunia adalah Kerajaan Sriwijaya. Nama Sriwijaya dikenal sebagai nama suatu kerajaan ketika G. Coedes menerbitkan artikelnya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada 1918. Prasasti Kedukan Bukit bertanggal 16 Juni 682 Masehi berisikan tentang nama raja Sriwijaya yaitu Dapunta Hyang mendirikan wanua setelah melakukan perjalanan dari Minanga menuju Mukha Upang membawa tentara sebanyak 20.000 orang dengan perbekalan 200 peti, sedangkan yang berjalan kaki 1312 tentara. Pusat Kerajaan Sriwijaya mula-mula di Minanga, kemudian pada 16 Juni 682 Masehi, Dapunta Hyang mendirikan ibukota baru di Palembang untuk dijadikan pusat kerajaan baru (Rangkuti, 1989).
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang berdiri sejak abad ke-7–13 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan penemuan tinggalan arkeologi yang berasal dari abad tersebut. Kerajaan Sriwijaya berada di tepi Sungai Musi yang berpusat di kota Palembang. Palembang adalah lokasi yang strategis sebagai jalur perdangagan, para pedagang dari daerah hilir Sungai Musi transit di Palembang sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah hulu.
Di DAS Musi ditemukan peninggalan arkeologi seperti sebaran situs-situs arkeologi yang didalamnya terdapat artefak, fitur dan vegetasi lama yang menjadi komoditi dagang pada masa Sriwjaya. Berdasarkan peninggalan arkeologi di DAS Musi muncul permalahan adalah bagaimana bagaimana jalur perdagangan dan apa saja komoditi dagang pada masa Sriwiwijaya yang ditemukan di DAS Musi.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui jalur perdagangan dan komoditi dagang pada masa Sriwijaya di DAS Musi. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode kualitatif dengan penalaran deskriptif. Pada mulanya akan ditelusuri data pustaka, kemudian mendeskripsi data dengan penalaran deduktif-induktif, dengan mengacu kepada referensi dalam menganalisis data sehingga mendapatkan asumsi mengenai jejak-jejak perdagangan pada masa Sriwijaya di DAS Musi.
Jalur Perdagangan
Setelah masa Prasejarah dikenal jalur perdagangan dengan menggunakan air yaitu jalur eksternal dan jalur internal. Jalur eksternal merupakan jalur antar samudera/laut, antar benua. Kegiatan perdagangan sudah berlangsung sebelum muncul Kerajaan Sriwijaya (Pra-Sriwijaya). Pulau Sumatera sekitar abad ke-1 Masehi sudah dilalui jalur eksternal yaitu jalur perdagangan Internasional khususnya kapal-kapal asing yang berlayar dari Asia Barat dan Asia Timur yang singgah di pelabuhan Internasional Malaka kemudian berlayar menyusuri pantai timur Pulau Sumatera dan Jawa (Wheatley, 2010).
Di situs Air Sugihan ditemukan tembikar dan manik-manik Arikamedu, selain itu ditemukan manik-manik kaca Indo Pacifik, manik kaca emas dan kornelian. Manik kaca tersebut berasal dari Mesir atau Asia Barat abad ke-4–11 Masehi dan merupakan barang impor, selain itu juga ditemukan perhiasan anting emas, cincin emas, liontin perunggu, gelang kaca. Keramik Cina juga ditemukan di Air Sugihan yang berasal dari Dinasti Sui dari abad ke-6–7 Masehi (Budisantoso, 2005).
Jejak-jejak permukiman juga ditemukan di pantai timur Sumatera, di situs Karang tepatnya di sepanjang tepi Sungai Lalan dan Sungai Sembilan yaitu tiang rumah kayu, kemudi perahu, wadah tembikar, pelandas, anvil, bata, batu asah, tulang, gigi dan tempurung kelapa. Berdasarkan analisis terhadap dua sample tiang rumah kayu dari situs Karang Agung tengah berumur 1624–1629 BP, sekitar abad ke-373–376 Masehi atau pada masa Pra-Sriwijaya. Berdasarkan tinggalan ini diperkirakan masyarakat dahulu telah memiliki kontak dagang dengan pedagang asing dan adanya gambaran bahwa bangunan rumah kayu yang dibangun sepanjang sungai lama yang menghubungkan Sungai Lalan dan Sungai Sembilan.
Situs Kota Kapur
Pulau Bangka terlibat dalam jalur perdagangan eksternal, karena berada di daerah yang strategis yaitu di jalur perdagangan Internasional sehingga terbuka untuk kontak dagang dengan bangsa asing. Pengaruh agama Hindu sudah masuk di Kota Kapur, abad ke-6 Masehi. Hal ini diindikasikan dengan ditemukannya arca Wisnu yang memiliki gaya seni Pre-Angkor. Selain itu juga ditemukan pondasi candi yang menjadi tempat peribadatan komunitas Hindu di Kota Kapur.
Indikasi jejak perdagangan diketahui dengan ditemukannya keramik Cina dari dinasti Sung (abad ke-10 Masehi), dan bekas pelabuhan kuna yang berada di tepi Muara Sungai Menduk, di sisi timur Selat Bangka. Pada lokasi tersebut ditemukan bangkai kapal lama. Hubungan Pulau Bangka dengan Sriwijaya dapat diketahui dengan adanya temuan prasasti Kota Kapur yang berisikan kutukan bagi siapa saya yang membrontak kekuasaan Sriwijaya. Oleh karena itu situs Kota Kapur merupakan situs penting karena telah dimukimi sebelum dan pada masa Sriwijaya dikuasai oleh Sriwijaya sebagai pelabuhan transito kapal-kapal yang masuk dan keluar dari perairan Sungai Musi ke Selat Bangka.
Perdagangan internal di Sumatera terjadi dikarenakan adanya perbedaan sumber daya lingkungan antara daerah hilir dan hulu Sungai Musi (Kusumohartono, 1992). Palembang bergantung kepada daerah pedalaman sebagai daerah penyangga ibukota Kerajaan Sriwijaya. Perdagangan Internal semakin aktif pada masa Sriwijaya, Herman Kulke mengajukan model struktur Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi dari hasil telaah prasasti Telaga Batu.
Kerajaan Sriwijaya merupakan mandala yang meliputi daerah pusat dan daerah bawahan dari hasil penaklukan. Daerah pusat terdiri atas kadatuan (keraton atau istana raja), yang dikelilingi pemukiman (vanua) yang juga sebagai lokasi berbagai aktivitas, baik tempat tinggal, tempat bangunan suci (vihara) dan perniagaan. Para pedagang dan kapten bahari yang datang dari luar melakukan perniagaan di daerah vanua. Daerah pusat tersebut dikelilingi oleh desa-desa lain, dipimpin oleh datu-datu. Desa-desa itu merupakan daerah hinterland dari Kedatuan Sriwijaya (Kulke, 1985)
Kontak dagang di Sungai Musi
Pintu gerbang masuknya kapal-kapal dagang dari luar adalah Selat Bangka yang berlayar menyusuri Sungai Upang kemudian transit di kota Palembang untuk bongkar muat barang dagangannya. Para pedagang beristirahat kemudian melanjutkan pelayaran dari daerah hilir sampai hulu Sungai Musi maupun sebaliknya. Akibat kontak dagang dengan masyarakat lokal di daerah aliran Sungai Musi, maka terbentuklah komunitas dan berkembang menjadi permukiman masyarakat di tepi Sungai Musi.
Sisa-sisa permukiman lama masih ditemukan di tepi Sungai Musi beserta anak-anak sungainya yaitu situs-situs arkeologi seperti Palembang, Bumiayu, Teluk Kijing, Bingin Jungut, Lesung Batu, Tingkip, Nikan dan Jepara. Kontak dagang pada mulanya dilakukan dengan bangsa Cina, hal ini diindikasikan dengan ditemukannya keramik-keramik Cina kuna di DAS Musi. Selain bangsa Cina, bangsa India juga turut terlibat dalam perdagangan dan memberi pengaruh masuk dan berkembangnya agama Hindu-Buddha di DAS Musi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya situs-situs keagamaan Hindu-Buddha di DAS Musi.
Di kota Palembang ditemukan situs-situs arkeologi. Pada 1985 Pusat Penelitian Akeologi Nasional membagi Kotamadya Palembang menjadi 3 unit wilayah observasi, yaitu Palembang Barat, Palembang Tengah, dan Palembang Timur. Ketiga wilayah tersebut dibatasi oleh sungai-sungai yang bermuara di Sungai Musi antara Palembang Barat dan Palembang Tengah dibatasi oleh Sungai Sekanak, sedangkan antara Palembang Tengah dan Palembang timur dibatasi oleh Sungai Bengkuan.
Palembang Barat memiliki 13 situs yang tersebar di Bukit Siguntang, Talang Tuo, Kolam Pinisi, Kedukan Bukit, Lorong Jambu, Tanjung Rawa, Kambang Unglen, Kambang Purun, Karanganyar, Ladang Sirap, Keramat Pule, dan Gandus. Di Palembang tengah ditemukan situs Pagaralam, Candi Angsoka, Candi Walang; sedangkan di Palembang Timur ditemukan situs Sarangwati, Air Bersih, Boom Baru, Geding Suro, dan Telaga Batu (Purwanti dan Taim, 1995)
Ibukota Kerajaan Sriwijaya
Palembang barat diperkirakan dahulu menjadi ibukota Kerajaan Sriwijaya yang berada di tepi Sungai Musi (daerah hilir Sungai Musi). Hal ini diindikasikan berdasarkan banyaknya peninggalan akeologi ditemukan di daerah tersebut dan adanya saluran air dari situs Karang Anyar yang mengarah ke Sungai Musi. Situs Karang Anyar diidentifikasikan adalah Keraton Sriwijaya, karena di lokasi tersebut banyak ditemukan sisa-sisa pemukiman dan dikelilingi oleh saluran yang berhubungan dengan Sungai Musi.
Saluran tersebut berfungsi sebagai sarana transportasi, irigasi dan pengendali banjir, baik untuk kepentingan keraton maupun masyarakat. Beragamnya temuan arkeologi di pada situs-situs arkeologi di Palembang, seperti arca Hindu-Buddha, prasasti, keramik, tembikar, manik-manik, struktur bata candi mengindikasikan bahwa Palembang sejak abad ke-7 Masehi telah memiliki kontak dagang dengan bangsa asing terutama India, Cina, bahkan Asia Timur.
Berdasarkan geografi, pola agihan sungai di kawasan Sumatera Selatan memungkinkan kawasan pedalaman relatif terbuka dan berhubungan dengan daerah sekitarnya. Dari pola agihan sungai dan lokasi-lokasi hunian masa sejarah. Palembang merupakan lokasi yang paling efisien dalam sistem trasportasi dan komunikasi (Kusumohartono, 1992).
Dapunta yang menguasai vanua
Prasasti Telaga Batu menggambarkan struktur Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya disebut Kadatuan dipimpin oleh raja (Dapunta) yang mengusai daerah-daerah disebut vanua. Antara Kadatuan dihubungkan dengan saluran air atau sungai. Keraton bergantung kepada vanua-vanua yang berada di daerah pedalaman. Di vanua-vanua Sriwijaya sebagian besar dilaksanakan kegiatan keagamaan. (Rangkuti, 1989). Sriwijaya sebagai Kadatuan berlokasi di Palembang menjadi pusat perdagangan yang mengontrol kegiatan perdagangan di vanua-vanua yang berada di DAS Musi. Situs-situs arkeologi merupakan vanua yang memiliki hasil bumi menjadi barang komoditi sehingga menjadi penyangga perekonomian Sriwijaya. Situs-situs tersebut pada mulanya merupakan lokasi transit kapal-kapal dagang yang selanjutnya menjadi daerah permukiman di tepi sungai.
Gusti Anan menyebutkan bahwa ada tujuh lokasi yang biasanya dipilih sebagai tempat permukiman di kawasan sepanjang aliran sungai. Tiga kawasan diantaranya adalah 1) kawasan yang berada di pertemuan anak sungai dengan induk sungai yang lazim dinamakan ‘muara’, 2) kawasan sungai yang airnya dalam dan tenang yang dinamakan ‘lubuk’, 3) kawasan sebelah dalam satu belokan sungai dan sering disebut ‘teluk’ (Anan, 2016:16)
Palembang berada di tepi Sungai Musi, merupakan daerah hilir dari anak-anak sungai Musi yang yang alirannya berakhir ke Selat Bangka. Pada mulanya merupakan lokasi transit kapal-kapal yang datang dari Selat Bangka sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah hulu dan sebaliknya. Kemudian daerah ini menjadi ramai yaitu menjadi tempat berkumpulnya para pedagang asing dan lokal untuk melakukan transaksi dagang. Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan berdampak munculnya permukiman-permukiman awal di tepi Sungai Musi.
Berdagang dengan Malaka dan Pahang
Tome Pires menyebutkan Palembang melakukan perdagangan dengan Malaka dan melakukan jual beli dalam skala besar dengan Pahang. Di Palembang banyak jung dan cargo pangajavas. Sepuluh dan dua belas jung datang ke Malaka setiap tahun, dengan muatan beras putih dan sayur-sayuran segar. Di Palembang juga dijual budak, kapas, emas, rotan, gabah, besi, lilin, madu, anggur, daging, bawang merah dan bawang putih kualitas baik dalam jumlah besar. Selain itu juga dijual kemenyan hitam yang dipergunakan di Narsinga (Bonuaquelim), Makasar, Tanjungpura dan pulau-puau lain. Di Palembang, orang-orang mengenakan pakaian dari Gujarat dan Keling dan terjadi transaksi dagang di Palembang yaitu orang-orang membeli barang-barang dari Malaka dengan mata uang maupun dengan emas. Begipula orang-orang Malaka membeli banyak kain dari Keling (Pires, 2016:205–206).
Situs-situs di daerah tengah Sungai Musi adalah situs Teluk Kijing, Bingin Jungut, Bumiayu dan Lesung Batu. Situs Teluk Kijing dan situs Bingin Jungut berada di tepi Sungai Musi (induk sungai). Situs Teluk Kijing yang berada di belokan sungai yaitu antara Sungai Batanghari Leko dan Sungai Musi. Keberadaan situs ini pertama kali diberitakan oleh Westenenk (1920) yang menggambarkan situs dikelilingi oleh satu parit didalamnya dengan temuan sebaran bata candi, sisa besi, sisa-sisa bangkai kapal yang sudah menyatu dengan tanah. Pada 2008 Balai Arkeologi Palembang menemukan sebaran bata candi yang diduga bekas runtuhan bangunan candi dan artefak berupa panil.
Di atas permukaan panil dihias dengan relief seorang penari yang membawa gendang tetapi bagian kepala sudah hilang. Selain itu juga ditemukan sisa-sisa lempengan besi membentuk garis, yang membujur dari pantai sampai ke batas sungai, diindikasikan dahulu tali jangkar yang bertujuan untuk menambatkan kapal ke pantai Oleh karena posisi Teluk Kijing berada di belokan sungai sehingga diindikasikan dahulu merupakan pelabuhan transito. Kapal-kapal transit di Teluk Kijing, yaitu kapal-kapal yang berlayar dari anak Sungai Musi (Sungai Batanghari Leko) sebelum melanjutkan pelayaran ke Sungai Musi. (Siregar, 2006).
Jejak perdagangan di tepi Sungai Lematang dan Sungai Rawas
Situs Bumiayu dan situs Lesung Batu berada di anak Sungai Musi yaitu Sungai Lematang dan Sungai Rawas. Kedua situs tepatnya berada di meander sungai. Sungai Lematang dan Sungai Rawas merupakan sungai yang airnya dalam. Diindikasikan kapal-kapal dapat melewati sungai-sungai tersebut. Di situs Bumiayu ditemukan gugusan percandian yang di dalamnya berisi arca-arca dewa Hindu.
Gugusan percandian Bumiayu mengalami dua tahap pembangunan yang pertama pada abad ke-9 Masehi kemudian tahap kedua pada abad ke-13 Masehi (Satari, 2002). Jejak-jejak perdagangan ditemukan di tepi Sungai Lematang yaitu keramik lama seperti keramik Cina, Thailand, Vietnam, Jepang dan Eropah. Keramik tertua berasal dari Cina yaitu keramik Tang (abad ke-9 Masehi). Tembikar lama juga ditemukan di sepanjang tepi Sungai Lematang, maka diindikasikan di tepi Sungai Lematang tempat bermukimanya masyarakat pendukung situs Bumiayu (Siregar, 2009).
Situs Lesung Batu berada di meander Sungai Rawas, yang sekarang sudah berpindah ke arah barat daya (berjarak 600 dari situs). Di dalam situs Lematang ditemukan candi, yoni, struktur balok-balok batu tuf, tembikar dan keramik asing. (Utomo, 1993; Siregar, 2012) Temuan keramik asing berasal dari Cina, Thailand, Jepang, Eropah. Hasil analisis keramik menunjukkan keramik tertua berasasal dari abad ke-8 Masehi. Pada abad tersebut situs Lesung Batu telah memiliki kontak dagang dengan Cina.
Situs Lesung Batu merupakan daerah strategis karena Sungai Lematang memiliki hasil tambang emas, yang menjadi komoditi dagang pada masa itu. Situs-situs yang berada di anak air yaitu situs Tingkip (anak Sungai Rawas), situs Nikan, Jepara (anak Sungai Komering). Keberadaan ketiga situs menunjukkan bahwa perdagangan sampai ke anak sungai (tingkat kedua). Di ketiga situs tersebut hanya ditemukan 1 candi yang terbuat dari batu bata (Candi Lesung Batu dan candi Nikan) sedangkan situs Jepara berisikan candi Jepara terbuat dari bahan bartu andesit.
Tambang emas di dekat candi
Keberadaan situs-situs di daerah pedalaman di anak-anak sungai tingkat 1 dan 2 dari Sungai Musi menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya diindikasikan untuk mengawasi komoditi dagang dan kegiatan perdagangan, khususnya di daerah yang memiliki hasil hutan dan hasil tambang. Di Sungai Rawas ditemukan barang tambang emas yang berjarak 600 meter dari candi Lesung Batu dan di Sungai Tingkip terdapat tambang emas yang hanya berjarak 300 meter dari candi Tingkip. Oleh karena itu diperkirakan penguasa Sriwijaya mengijinkan pendirian candi selain pemenuhan kebutuhan ritual masyarakat juga sebagai lambang penguasaan Sriwijaya di daerah pedalaman. Penguasa Sriwijaya menempatkan pejabantnya di daerah dengan tugas mengawasi ‘aset’ dan mengontrol kegiatan perdagangan di pedalaman. Pejabat-pejabat yang diangkat di daerah adalah perwakilan raja Sriwijaya yang disebut ‘datu’.
Kontak dagang memunculkan permukiman di tepi sungai. Hal ini dikarenakan aktivitas perdagangan di perairan Sungai Musi beserta anak-anak sungainya menempuh waktu yang panjang dari daerah pesisir ke daerah pedalaman, sehingga kapal-kapal perlu transit untuk beristirahat. Awalnya lokasi transit berupa pondok yang berfungsi sebagai tempat beristirahat dan makan/minum kemudian lokasi berkembang menjadi daerah permukiman (Asnan, 2016:62).
Berdasarkan analisis keramik diketahui bahwa kronologi keramik tertua berasal dari abad ke-8 Masehi, yaitu keramik Cina (din. Tang) dan keramik terbanyak adalah keramik Sung (abad ke-10 Masehi). Diindikasikan bahwa kegiatan perdagangan di DAS Musi sekitar abad ke-8 sampai dengan 10 Masehi cukup ramai. Masuknya kapal-kapal asing untuk berdagang di DAS Musi juga berdampak masuk dan berkembangnya agama Hindu-Buddha di DAS Musi.
Ditemukan bangkai kapal
Pada 2015 di tepi Sungai Lematang berjarak 700 meter sebelah selatan dari kompleks percandiaan Bumiayu ditemukan bangkai kapal. Bangkai kapal dalam kondisi tergeletak diatas permukaan tanah yang terdiri atas beberapa pilah papan dan ijuk. Menurut Bambang Budi Utomo bahwa saudagar dari manapun yang melakukan perdagangan di Nusantara harus menggunakan kapal Sriwijaya. Kapal itu bercirikan menggunakan teknologi Asia Tenggara seperti lambung berbentuk V, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, tidak ada kedap air di dalam lambung dan seluruh proses pembuatan tidak memakai paku besi (Utomo, 2016:84).
Bangkai kapal yang ditemukan di tepi Sungai Lematang memiliki kesamaan dengan kapal yang dibuat dengan teknik Asia Tenggara yaitu tidak menggunakan paku besi dan memiliki papan dan kupingan pengikat (ijuk). Penemuan bangkai kapal tersebut menunjukkan bahwa Sungai Lematang dahulu menjadi lalu lintas perdagangan kapal-kapal besar yang berlayar dari samudera/laut dan ke sungai. Begitupula dengan ditemukannya sisa dermaga di Bingin Jungut (Musi Rawas) menunjukkan perairan Sungai Musi dapat dilayari baik kapal-kapal besar maupun kapal kecil yang berlayar dari hilir sampai ke hulu dan sebaliknya.
Komoditi Dagang
Faktor lokal merupakan faktor utama di dalam pertumbuhan kebudayaan besar Sriwijaya. Hal ini dikarenakan Sriwijaya di Sumatera berada di dalam jalur komunikasi internasional antara Samudra Hindia, Laut Cina Selatan, dan Indonesia Timur. Kondisi ini membuat faktor lokal (internal) dan faktor eksternal (eksternal) bersatu menjadi pengaruh bagi kemunculan dan perkembangan peradaban Sriwijaya. Perkembangan Sriwijaya menjadi kebudayaan besar tidak terlepas dari jaringan dan kepadatan aktifitas informasi, pertukaran informasi dan komoditas dengan frekuensi yang tinggi yang telah dibangun dengan maju. Arus perdagangan di Selat Malaka telah memicu pembentukan interaksi berkelanjutan dengan wilayah luar terutama bagi Kerajaan Sriwijaya.
Hubungan Sriwijaya dalam perdagangan dengan bangsa asing tampak intensif dan Selat Malaka berperanan sebagai pintu masuk kapal-kapal asing dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropah. Selama berabad-abad Sriwijaya berfungsi sebagai pelabuhan samudra, pusat perdagangan dan kekuasaan yang menguasai pelayaran dan perdagangan di bagian barat Indonesia, bahkan pada saat itu sampai ke Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Sumatera Utara dan Selat Sunda. Berita Cina dari abad ke-5 Masehi menyebutkan bahwa beberapa utusan negara asing temasuk negara Indonesia datang untuk memersembahkan upeti kepada kaisar dan kemudian menerima hadiah, ternyata prosedur ini hanya merupakan alasan untuk menukar bahan rempah, damar dan hasil lautan di Indonesia dengan kain sutera, logam dan keramik dari Cina.
Pola pertukaran barang adalah dengan redistribusi (penyaluran kembali). Hasil produksi agraris dari daerah pedalaman seperti beras, palawija, tembakau, lada, barang kerajinan rakyat ditampung oleh raja di pusat kerajaan yang kemudian disalurkan sebagian kepada orang pesisir. Sebaliknya pedagang pesisir membawa hasil produksi seperti ikan asin, garam dan barang-barang import yang dibawa oleh pedagang asing (sutra, keramik, rempah-rempah dan lain-lain). Produksi hinterland dipertukarkan dengan produksi pesisir dan barang import. Dalam hal ini pedagang pedalaman bisa jadi tidak saling bertemu dengan pedagang pesisir, kedua belah pihak hanya akan mengantar upeti dan pajak kepada raja dan menerima hadiah dari raja (Miksic, 1984 dalam Kusumohartono, 1992).
Negara maritim penguasa Sumatera
Sriwijaya merupakan negara maritim yang menguasai seluruh Sumatra, dan mengirimkan ekspedisinya ke Jawa serta menguasai Selat Malaka hingga Tanah Genting Kra. Pada puncaknya Sriwijaya menjadi tuan atas selat Malaka dan menguasai rute perdagangan yang melalui selat ini. Pada 1178, seorang penulis Cina, Chou K’u-fei melaporkan bahwa beberapa kapal asing yang lewat akan diserang jika tidak masuk pelabuhan Sriwijaya atau membayar tol (Kay, 1976:74).
Kapal-kapal Sriwijaya melakukan pelayaran sendiri antara Cina dan India. Ia juga mengirimkan utusan ke Cina, dan diakui Cina sebagai negara penguasa di Asia Tenggara. Pelayaran ke bagian timur kepulauan Indonesia menjadi monopoli penduduk. Rempah dari Maluku, terutama cengkih dan pala dikumpulkan di pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Sumatra, untuk selanjutnya dikapalkan ke luar negeri. Daerah Sriwijaya sendiri menghasilkan penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus, damar dan lada, serta barang lainnya (Poesponegoro, 2005). Hasil bumi dari daerah Sriwijaya ini kemudian dibeli oleh pedagang asing untuk ditukar dengan produk luar negeri, seperti porselen, kain katun dan sutera. (Sievers, 1974).
Orang Arab adalah pedagang kain linen terbesar, sedangkan orang Cina membeli barang dari perahu-perahu. Pedagang Sriwijaya membeli barang dari orang Arab dan Cina selanjutnya membawanya ke pedalaman untuk dijual ke sana. Belum ada orang Cina dan Arab yang berani sendiri berdagang ke daerah pedalaman, karena takut dirampok. Orang Palembang membeli barang dengan kredit dan sebagai pembayarannya juga dengan barang-barang. Hasil dari Kerajaan Sriwijaya dan yang diekspor adalah rotan, ikan, damar, bensu, damar wangi, kayu laka, lilin, taring gajah, emas, pasir. Semua ini dikumpulkan dari hutan-hutan dan tepi-tepi sungai. Lada, kopi, gula, gambir, pinang, tembakau, nila adalah barang-barang yang ditanam atau dipelihara, sedangkan hasil kerajinan seperti ikan kering/asin, barang pecah belah kasar, tikar, rotan/jerami, jerami, karung-karung, barang dari kuningan, sutera dijalin dengan benang emas dan kain-kain dari kapas. Hasil bumi dari wilayah Sumatera Selatan banyak diminati pedagang maritim. Wilayah pasaran maritim yang terpenting adalah India di barat, Cina di utara dan bagian timur Sumatera, khususnya di Jawa. (Sevenhoven, 1971).
Diminati Cina Selatan
Cina Selatan sangat berminat dengan hasil hutan Sumatera Selatan seperti berbagai macam getah, bahan berbau yang dibakar sebagai dupa (dari getah kemenyan dan kayu gaharu) dan binatang buas (harimau, badak, gajah, burung, kura-kura), bahan wangi-wangian dalam bentuk minyak, kayu yang dibakar (gaharu), getah yang dibakar (kemenyan) dipakai di Cina sebagai obat, pewangi rumah, pewangi pakaian/badan dan untuk bahan upacara. Bahan itu tidak hanya didatangkan dari Sumatera tetapi juga dari pesisir Vietnam, Teluk Siam, Semenanjung Malaysia, Borneo dan Jawa. (Sevenhoven, 1971)
Sriwijaya berdiri sejak abad ke-7 hingga abad ke-14 ketika kekuasaan Majapahit menggantikan kekuasaannya. Sebelum Majapahit benar-benar runtuh kehidupan perniagaan telah berpindah ke pelabuhan di pantai Jawa, Teluk Siam, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Filipina. Chau Ju Kua menyebut beberapa pelabuhan Indonesia yang dikunjungi oleh kapal-kapal Cina dan Arab dalam abad ke-12 dan 13, tidak hanya Palembang di Sumatera Timur, namun juga di Sunda, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan, dan beberapa kota pelabuhan di pantai utara Jawa (Yuliati, 2014).
Kendala yang sering terjadi di dalam perdagangan adalah para pedagang tidak memiliki gudang, untuk menimbun barang-barang datang dari pedalaman. Pada saat pedagang Cina dan Jawa datang ke Palembang bersamaan datangnya hasil-hasil bumi dari pedalaman yang jumlahnya berlimpah maka harga barang akan murah namun jikalau jumlah barang yang datang sedikit mengakibatkan harga barang menjadi mahal. Kondisi ini membuat para pedagang dari luar lebih memilih untuk menukar barang dengan uang atau emas. Begitupula kendala yang sering terjadi adalah kurangnya barang dikarenakan orang Palembang khususnya utusan raja berkuasa atas perdagangan dengan membeli barang dengan harga rendah dan tidak seorangpun dari pedagang dari pedalaman bebas menjual barang di ibukota Palembang. (Sevenhoven, 1971)
Menjadi komoditi sejak dulu
Berdasarkan hasil penelitian arkeologi masih ditemukan vegetasi lama yang dahulu menjadi barang komoditi pada masa Sriwijaya yaitu kemenyan, damar, gaharu di situs Teluk Kijing, Kabupaten Musi Banyuasin dan daerah Musi Rawas (situs Tingkip, Lesung Batu dan Bingin Jungut). Begitupula barang tambang emas ditemukan di anak Sungai Tingkip (situs Tingkip) dan Sungai Rawas (situs Lesung Batu). Barang tambang timah di situs Kota Kapur, Pulau Bangka.
Pohon kemenyan memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter 20 cm sampai 30 cm dengan tinggi mencapai 30 meter. Pohon kemenyan dapat tumbuh pada tanah yang memiliki porositas tinggi baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian 60 meter sampai dengan 2100 meter dan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah podsolik, andosol, latosol dan regoisol. Kemenyan bukanlah tanaman pangan yang dapat dikonsumsi rumah tangga. Kemenyan sejak abad ke-1 Masehi sudah menjadi komoditi dagang dan pusat perdagangan kemenyan pada masa lalu di Barus. Sumatera Utara. Para pedagang Timur Tengah, Cina dan India telah membawa kemenyan dari Barus untuk bahan pengawet mummi raja-raja Mesir, juga bahan campuran rokok dan bahan perlengkapan ritual (Zuska, 2005).
Damar merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang diambil getahnya sehingga menjadi polysacarida. Gertah damar dihasilkan dari jenis-jenis pohon genus hopea, balanocarpus, vatica, conoriun dan agathis. Pohon damar berukuran besar dengan tinggi dapat mencapai 65 meter. Batangnya silindris dan lurus dengan diameter mencapai 1,5 meter. Dapat tumbuh di hujan hutan tropis pada dataran rendah sampai ketinggian 1200 meter. Kulit batang berwarna abu-abu hingga coklat kemerahan. Damar merupakan tumbuhan asli Indonesia yang tersebar di Sulawesi, Maluka, Sumatera Selatan. Damar diambil getahnya yang keluar dari kulit pohon setelah membeku dan mengeras maka disebut kopal. Kopal dimanfaatkan untuk lak, vernis, perekat dan penambal gigi, pelester, bahan pelengkap pembuatan perahu, pembungkus kabel tanah.
Gaharu
Komoditi dagang lainnya yang ditemukan di DAS Musi adalah gaharu. Gaharu di Indonesia mulai dikenal masyarakat sejak abad ke-5 Masehi. Perdagangan antara masyarakat Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat dengan Pedagang China, Kwang Tung. Di dalam perdagangan gaharu Cina merupakan pembeli terbesar. (Sumarna, 2009). Gaharu dikenal sebagai produk kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku wewangian yang produk turunannya sangat bervariasi. Biasanya gaharu dikaitkan dengan upacara adat dan keagamaan. Hampir semua acara keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh umat manusia di bumi ini biasanya menggunakan gaharu dan produk turunannya sebagai materi ritual untuk bersembahyang menghadap Sang Pencipta.
Dengan kata lain, produk-produk gaharu dikenal sebagai “kayu tuhan” (aloe or ahaloth) seperti yang dijelaskan pada kitab perjanjian lama (The Old Testament) pada surat Amsal 45:8. Menurut mitos dari kawasan timur, gaharu berasal dari kebun surga yang turun bersamaan dengan manusia pertama kali diturunkan ke bumi. Sejarah Mesir dan Jepang menyatakan gaharu digunakan sebagai bahan pengawet tubuh manusia yang telah mati. Budaya Arab di Timur-Tengah mengoles minyak gaharu di bagian tubuh bayi yang baru lahir agar bayi dapat tumbuh sehat. Di negara penganut agama Buddha seperti India dan Kamboja, gaharu digunakan sehari-hari dalam upacara adat dan keagamaan.
Barang tambang
Salah satu komoditi berupa barang tambang dari masa Sriwijaya adalah emas dan timah. Tome Pires menyebutkan bahwa Sumatera menghasilkan emas dalam jumlah yang besar (Pires, 2016:181) dan emas merupakan salah satu komoditi dagangnya (Pires, 2016:181, 206). Sumber daya yang paling diminati di Sriwijaya oleh pedagang India dan Jawa adalah timah, emas dan perak. (Sevenhoven, 1971). Di DAS Musi ditemukan barang tambang dan sampai sekarang penduduk melakukan tambang tradisional khususnya di situs Lesung Batu dan situs Tingkip. Kedua ini merupakan daerah yang dekat hulu Sungai Musi yaitu Bengkulu.
Di daerah Bengkulu banyak ditemukan barang tambang. Tambang timah ditemukan di dalam Sungai Rawas (Situs Lesung Batu) dan di dalam Sungai Tingkip. Sedangkan timah banyak ditemukan di Pulau Bangka. Adanya kemungkinan perdagangan hanya berbentuk biji emas dan bijih perak. Biji-biji logam tersebut belum diolah karena belum ada pabrik pengolahan timah dan emas pada masa itu. Para pedagang lokal menjual biji logam (emas dan perak) kepada para pedagang asing. Keberadaan arca-arca logam (emas dan perunggu) yang berwujud dewa-dewa Hindu-Buddha ditemukan di DAS Musi diperkirakan adalah produk luar, karena belum ditemukan di DAS Musi artefak cetakan logan yang berfungsi untuk mencetak arca-arca logam.
Penutup
Jejak-jejak perdagangan ditemukan di DAS Musi pada masa Sriwijaya pada abad ke-7–14 Masehi. Kegiatan perdagangan disebabkan para pedagang membutuhkan barang-barang komoditi di DAS Musi. Indikasi jejak perdagangan seperti bangkai perahu, bekas dermaga, bekas barang komoditi seperti keramik dan vegertasi lama yang amsih tumbuh di DAS Musi yaitu kemenyan, gaharu dan damar. Jalur-jalur perdagangan berdasarkan sebaran situs-situs arkeologi dengan karakteristik agama mengindikasikan kegiatan perdagangan turut mendorong masuk dan berkembangnya agama Hindu-Buddha di DAS Musi.
Jalur perdagangan terdiri atas dua macam yaitu eksternal, antar samudera, laut, benua juga internal, karena yaitu di perairan Sungai Musi dari hilir sampai ke hulu. Kegiatan perdagangan tidak hanya di sungai induk namun sampai sampai ke anak sungai (tingkat 1 dan tingkat 2). Palembang ibukota Sriwijaya menjadi pelabuhan transit kapal-kapal asing maupun lokal. Kapal-kapal besar dapat masuk perairan Sungai Musi dan melakukan transaksi perdagangan sampai ke daerah pedalaman.
Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirjo, Prajudi, 1984. “Sejarah Ekonomi Indonesia dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad ke XIX”. Jakarta: Pradnya Paramita.
Asnan, Gusti. 2016. “Sungai dan Sejaran Sumatera”. Jakarta: Ombak, hlm.:22.
Mc Kay, Elaine. 1976. “Studies in Indonesia History”. Australia: Pitman Publishing Pty, pp: 74
Poesponegoro, Marwati Djoned. 2005. Sejarah Nasional Indonesia II, hlm.:84.
Purwanti, Retno dan Eka Asih Putrina Taim, 1995. “Situs-Situs Keagamaan di Palembang: Suatu Tinjauan Kawasan”, Berkala Arkeologi Edisi Khusus Tahun 1995. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hlm.:65–69.
Pires, Tome. 2016. “Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah Ke Cina dan Buku Buku Francisco Bodrigues”, hlm.:205–206.
Rangkuti, Nurhadi, 1989. “Struktur Kota Sriwijaya di Daerah Palembang”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta 4–7 Juli 1989. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. hlm.:161–174.
Sievers, Allen. 1974. “The Mystical World of Indonesia: Culture and Economic Development in Conflict”. London: John Hopkins University Press, hlm.:39.
Kusomohartono, Bugie. 1992. “Potensi Lingkungan Regional dan Pertumbuhan Peradaban Kuno di Palembang”. Himpunan Hasil Penelitian Arkeologi di Palembang Tahun 1984–1992. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm.:28–31.
Satari, Sri Soejatmi, 2002. “Sebuah Situs Hindu di Sumatera Selatan; Temuan Kelompok Candi dan Arca di Bumiayu”. Jakarta: Pusat Penelitian dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, hlm.:113–128.
Sevenhoven, 1971. “Lukisan tentang Ibukota”.Djakarta: Bhratara.
Utomo, Bambang Budi, 2016. “Warisan Bahari Indonesia”, hlm.:84.
Yuliati, 2014. “Kejayaan Indonesia sebagai Negara Maritim”. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27 (2), hlm.:133.
TABEL SITUS-SITUS DI SUMATERA SELATAN
No. | Situs | Temuan | Lokasi | Periode |
1. | Kota Kapur | candi, arca Wisnu, Keramik Cina abad ke-10 M, Bangkai perahu (sisa pelabuhan lama) | Kota Kapur, Pulau Bangka | 6–7 M |
2. | Air Sugihan | tembikar, keramik lama, tonggak2 rumah lama. | Pantai timur Sumatera | 4 M |
3. | Palembang | candi, arca Hindu/Buddha, tembikar dan keramik lama, manik-manik bangkai kapal. | Tepi Sungai Musi (DAS Musi) | 6/7 M |
4. | Teluk Kijing | candi, panil arca, tembikar, keramik lama, sisa dermaga | Tepi Sungai Musi (DAS Musi) | 8/9 M |
5. | Bumiayu | gugusan candi, arca-arca dewa Hindu, tembikar, keramik lama, mata uang, tonggak-tonggak tiang kayu | tepi S.Lematang (DAS Lematang) | 8/9 M |
6. | Nikan | candi dari bahan batu bata, lapik arca berhias padma, tembikar dan keramik lama | Tepi Sungai Nikan (DAS Komering) | 12–13 M |
7. | Jepara | candi terbuat dari batu andesit,tembikar dan keramik lama | Tepi Danau Ranau (DAS Komering) | 8/9 M |
8. | Bingin Jungut | 2 candi dari bahan batu bata, tembikar, keramik lama, sisa dermaga | Tepi Sungai Musi (DAS Musi) | 10 M |
9. | Lesung Batu | candi Hindu, yoni, andi dari bahan bata candi, tembikar dan keramik lama | Meander S. Rawas (DAS Rawas) | 8/9 M |
10. | Tingkip | candi, arca dewa Buddha dan Awalokiteswara tembikar dan keramik lama | Sungai Tingkip (DAS Rawas) | 10 M |