Pemanfaatan Sumberdaya Laut dalam Lintas Budaya Prasejarah di Gua Pawon

0
3780
Rangka manusia yang ditemukan pada ekskavasi di Gua Pawon (dok. Lutfi Yondri, 2017)
Rangka manusia yang ditemukan pada ekskavasi di Gua Pawon (dok. Lutfi Yondri, 2017)

Oleh: Lutfi Yondri

IAAI Komda Jabar – Banten

Hunian manusia prasejarah pada era mesolitik

Patut dicatat, penemuan Gua Pawon sebagai tempat hunian manusia prasejarah pada era mesolitik di sekitar kawasan Danau Bandung Purba merupakan satu hal yang baru dalam dunia penelitian arkeologi di daerah Jawa bagian barat. Oleh karena dari hasil temuan sebelumnya belum ada temuan budaya yang didukung oleh kehidupan yang memanfaatkan gua sebagai tempat hunian di kawasan ini.

Lokasi-lokasi temuan tersebut umumnya ditemukan di lahan terbuka yang terletak di perbukitan dan di lereng-lereng perbukitan. Menilik kondisi beberapa tempat penemuan, tampak seolah-olah ada kecenderungan manusia waktu itu hanya mendiami tempat-tempat terbuka yang dekat dengan sumber air seperti pinggir sungai, dan tepian danau. Hal ini sesuai dengan argumentasi yang dikemukakan oleh R.P. Soejono, yang menyatakan bahwa pada masa itu tempat-tempat yang didiami adalah tempat-tempat yang agak tinggi dan bukit-bukit yang adakalanya dikelilingi oleh sungai atau tebing serta dipagar oleh hutan. Menurut Soejono (1984), tujuannya adalah untuk melindungi diri dari serangan musuh atau gangguan binatang buas.

Perbukitan batu gamping

Tinggalan gua di kawasan Gunung Pawon yang bagian dari perbukitan yang didominasi oleh batu gamping itu terletak sekitar km 23 dan 24 arah sebelah barat Kota Bandung. Koesumadinata (1959) dalam tulisannya yang berjudul Riwayat Geologi Dataran Tinggi Bandung, menyebutkan bahwa di kawasan bukit gamping tersebut terdapat gua-gua kapur dengan yang terbesar memiliki ukuran sedalam 40 m. Pada saat itu untuk sampai ke lokasi gua harus mengikuti jalan setapak sampai pohon-pohon bambu. Disebutkan bahwa gua yang paling besar mencapai tinggi ± 30 m dan berlubang, dari mana cahaya matahari dapat masuk menyerupai tiang asap dapur (schoorsteen).

Di dalam gua-gua banyak terdapat batuan-batuan dengan bentuk yang aneh-aneh, seperti busur-busur besar dan blok-blok raksasa yang menggantung. Saat sekarang busur-busur besar dan blok-blok raksasa yang menggantung tersebut (stalagtit) sudah banyak yang hilang. Mungkin hilangnya ornamen gua tersebut disebabkan karena adanya perubahan lingkungan gua yang sudah berubah menjadi kering karena hilangnya berbagai tumbuhan yang sebelumnya diperkirakan banyak tumbuh di bagian atas bukit di mana gua tersebut berada.

Penambangan batu gamping yang mengganggu

Seandainya kawasan gua ini tidak terganggu oleh kegiatan penambangan batu gamping, akan terbayang kawasan gua yang berada di dataran yang bergelombang sangat asri. Gua berada pada ketinggian antara 709–736 m di atas permukan laut, di sisi sebelah utara gua terdapat aliran sungai Cibukur dan hamparan perbukitan dan dataran yang cukup luas yang sekarang ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai perkebunan dan lahan persawahan. Berdasarkan peta geologi kuarter Lembar Cianjur, kawasan ini termasuk dalam kawasan Formasi Rajamandala, anggota batugamping (0–650 m) dibentuk oleh gugusan batugamping pejal, dan batugamping berlapis, kebanyakan berwarna muda dengan foraminifera besar berlimpah (Sudjatmiko, 1972).

Penelitian Arkeologi di Gua Pawon

Pengungkapan tentang budaya prasejarah yang terkandung di dalam gua-gua di Gunung Pawon yang saat sekarang termasuk dalam wilayah administratif Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Bandung Barat ini, terjadi setelah Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) pada 2000 melakukan survei geologi, serta melakukan pemindaian geomagnetik untuk menjajagi kemungkinan adanya temuan yang terdeposisi di bawah permukaan tanah di dalam gua. Dari rekaman geomagnetik tersebut terpetakan anomali-anomali yang mengarah kepada adanya tinggalan yang terdeposisi di bawah permukaan tanah di dalam gua. Berdasarkan hal itulah kemudian sejak Juli 2003 tim dari Balai Arkeologi Bandung melakukan pengecekan dan penelitian secara berkelanjutan di kawasan tersebut.

Gua Pawon di masa lalu memiliki ukuran yang cukup luas, terdiri atas beberapa ruang yang tersebar dari barat ke timur. Di bagian paling barat terdapat ruang yang memiliki bagian atas tembus seperti yang sebelumnya pernah dilaporkan oleh Koesoemadinata (1959), agak ke bagian tengah kontur tanah semakin meninggi, dan di bagian ini terdapat lagi beberapa ruang yang agak sempit, dengan bentuk permukaan lantai yang miring ke arah utara. Bagian atap dan dinding gua bagian tengah sebagaian besar kemungkinan sudah banyak berubah yang ditandai banyaknya runtuhan batugamping berbentuk bongkahan. Mungkin di masa lalu bongkahan-bongkahan itu merupakan bagian dari atap bagian tengah gua. Ke arah sisi timur gua, kontur tanah makin menurun dan agak curam. Di bagian ini pada saat sekarang masih tersisa dua bagian kontruksi gua yang terdiri atas bagian dinding dan atap gua, yang dapat mewakili dari dua mulut gua pada sisi itu.

Ekskavasi

Penggalian arkeologi (ekskavasi) di Gua Pawon telah dilakukan tepatnya di bagian tengah kawasan gua ini, yaitu pada ruang yang diasumsikan merupakan bagian yang paling utuh dari ruang Gua Pawon telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung. Ekskavasi di bagian gua ini telah dilakukan di 7 kotak (T1U4, T4S2, T5S2, T4S3, T5S3, T4S4, danT5S4) 3 kotak sampai penggaliannya sudah sampai pada kedalaman 320 cm dari permukaan tanah di 3 kotak ekskavasi (T4S2, T5S2, T5S3) Sementara penggalian pada kotak T4S4 dan T5S4 dihentikan karena sudah sampai pada lapisan batuan (bedrock). Dan penggalian di kotak T4S3 dihentikan di kedalaman 2.30 karena temuan rangka manusia belum bisa diangkat. Berdasarkan kedalaman tersebut paling tidak teramati lima lapisan tanah yang terdiri atas tanah urugan, lapisan berisi pecahan batu gamping dan pasir, pasir halus dan kerikil halus, pasir dengan kandungan kerikil agak padat, serta lapisan lempung pasiran, kerikilan dan gampingan. Pada lapisan-lapisan tanah itulah kemudian berhasil ditemukan berbagai tinggalan manusia dari kehidupan masa lalu yang sebagian besar merupakan sisa dari budaya prasejarah.

Secara stratigrafis temuan sisa kehidupan yang dekat dengan kehidupan masa kini berada pada lapisan atas, sementara itu temuan sisa kehidupan masa lalu berada pada lapisan yang lebih dalam. Temuan-temuan dari sisa kehidupan masa lalu terdiri atas tulang (sisa fauna), gerabah, sisa flora (biji kemiri), alat serpih, serpih, dan tatal dari bahan rijang dan obsidian, alat tulang, gigi binatang, gigi ikan, serta temuan kerangka manusia. Berdasarkan temuan rangka manusia yang terkubur di Gua Pawon, dan berbagai bentuk tinggalan artefaktual berupa alat serpih dan tulang, serta temuan-temuan yang lain yang ditemukan dari hasil ekskavasi dapat ditarik ksimpulan bahwa gua tersebut pada masa lalu selain difungsikan sebagai tempat penguburan juga dimanfaatkan sebagai tempat beraktivitas oleh manusia prasejarah pada masa lalu[1].

Pertanggalan Budaya Gua Pawon

Analisis pertanggalan C-14 di Gua Pawon, sampai sekarang baru dilakukan untuk temuan lima rangka yang ditemukan sebelum 2017 yaitu R I, II, III, IV, dan V. R I, II, III, dan IV ditemukan dari hasil penggalian di kotak T4S3, Sementara R V ditemukan di kotak T5S2. Sedangkan untuk temuan R IV yang ditemukan di kotak T4 S3 yang terletak lebih dalam dari temuan R IV yaitu di kedalaman 195 cm dari titik ukur, dan R VII yang ditemukan di kotak T5S3 di kedalaman 240 cm dari titik ukur pada 2017 belum dilakukan.

Secara stratigrafis lima temuan rangka manusia sebelum 2017 tersebut berada di tiga kedalaman yang berbeda. R I, II, dan V walalupun ditemukan di kotak yang berbeda (R I dan II di kotak T4S3, dan R V di kotak T5S2) ketiganya berada di kedalaman yang hampir sama yaitu sekitar 90 cm dari titik ukur (20 cm di atas permukaan tanah). Oleh karena keterbatasan sampel dari ketiga rangka tersebut untuk analisis pertanggalannya yang digunakan sebagai sampel analisis adalah arang. Arang-arang yang dianalisis juga sangat terbatas, arang tersebut merupakan kumpulan dari arang-arang yang terdapat pada lapisan yang sama dari R.I, R II dan R.IV, yaitu kumpulan dari serpihan arang yang berasal dari kedalaman antara 70 cm hingga 100 cm dari permukaan tanah. Secara kuantitas arang tersebut terkumpul sebanyak 8 gram, lebih sedikit dari jumlah sampel arang yang disyaratkan untuk preparasi yaitu seberat 5–10 gram.

Berbeda halnya dengan R I, R II dan R V, sampel preparasi untuk R.III dan R.IV diambil dari tulang masing-masing rangka. Seluruh preparasi sampel dilakukan di Laboratorium C-14 Balai Arkeologi Bandung, sedangkan pencacahan dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi (P3TIR), Ciputat (Jakarta). Pencacahan masing-masing sampel larutan benzene arang, tulang R.III, R.IV, dilakukan sebanyak 50 kali setiap 20 menit pada setiap sampel. Hal ini dilakukan untuk kecermatan pembacaaan sampel yang disarankan dalam penggunaan alat cacah Lyquid Scintillation Counter (LSC).

Pencacahan

Pencacahan sampel didahului oleh pencacahan latar (background) dan Asam Oksalat Standard, dan kemudian diikuti dengan pencacahan sampel arang, tulang R III dan R IV. Pencacahan latar (background) dan Asam Oksalat Standard, dilakukan pada 1 November 2004, sedang pencacahan sampel arang, tulang R III dan R IV dilakukan pada 5 November 2004. Proses penghitungan umur seluruhnya dilakukan di P3TIR, BATAN, Jakarta. Dari hasil analisis diperoleh umur sampel arang dengan pertanggalan 5660 + 170 BP. Umur inilah yang dijadikan untuk pertanggalan silang rangka R I, R II dan R V. Sampel tulang R III untuk pertanggalan rangka III menghasilkan pertanggalan 7320 + 180 BP, sedang sampel tulang R IV untuk pertanggalan rangka IV diperoleh pertanggalan 9525 + 200 BP.

Oleh karena secara stratigrafis temuan R VI dan R VII ditemukan lebih dalam atau lebih jauh dari titik ukur, karena temuan dan lapisan tanahnya masih in-situ mengikuti hukum stratigrafi tentunya memiliki umur yang lebih tua. Akan tetapi sampai sekarang analisis pertangalan karbonnya belum dilakukan.

Sisa Budaya

Secara keseluruhan temuan dari hasil ekskavasi di kotak T4S2, T4S3, dan T4S4, T5S2, T5S3, T5S4, selain temuan rangka manusia baik yang ditemukan berupa bagian dari rangka (RI, RII, RV), rangka yang terkubur dalam posisi terlipat di posisi stratigrafi yang berbeda, juga ditemukan berbagai sisa budaya yang lain dalam bentuk alat batu (lithic technology) yang terbuat dari bahan batu obsidian, batu hijau[2], dan jasper[3], perkutor dari bahan batu andesit[4], alat-alat yang terbuat dari bahan tulang berupa lancipan tunggal dan lancipan ganda, alat dari taring binatang, sisa serta perhiasan dari taring binatang, dan berbagai sisa makanan berupa fragmen-fragmen tulang dari berbagai jenis binatang.

Persebaran temuan artefak litik di dalam setiap lapisan penggalian di Gua Pawon tidak merata. Di bagian tengah gua, temuan sisa artefak litik cukup padat, kemudian makin jarang searah dengan makin dalamnya kotak ekskavasi dan semakin jauh dari dinding gua sebelah dalam. Berdasarkan pengamatan terhadap bahan alat litik, tampak bahwa bahan-bahan tersebut bukan berasal dari Gua Pawon sendiri karena di sekitar gua tidak terdapat sumber bahan dengan jenis batuan yang sama.

Hasil analisis

Berdasarkan hail analisis kimiawi dari temuan alat litik yang terbuat dari bahan batu obsidian yang ditemukan di Gua Pawon dan di bandingkan dengan beberapa sumber bahan obsiden yang ditemukan di sekiatar Bandung, unsur kimiawi batu obsidian yang ditemukan di Gua Pawon memiliki kesamaan unsur dengan bahan obsidian yang terdapat di Nagreg[5] dan Kampung Rejeng[6] (Garut) (Tjia, et all, 2010). Pemanfaatan batu obsidian di era prasejarah di sekitar Bandung tidak hanya ditemukan di Gua Pawon tetapi di banyak lokasi di sekitar Danau Bandung Purba. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian terdahulu tentang alat-alat obsidian kawasan Jawa Barat, khususnya di sekitar kawasan Danau Bandung Purba yang telah dilakukan oleh de Jong dan von Koenigswald (1930), Krebs (1932–1933), Mohler dan Rothpletz (1942–1945), van Stein Callenfels (1934), van der Hoop (1938), Erdbrink (1942), von Heine Geldern (1945), Bandi (1951), dan van Heekeren (1972), dapat disimpulkan bahwa obsidian merupakan unsur prasejarah yang banyak ditemukan di sekitar Danau Bandung Purba.

Di samping temuan alat batu yang terbuat dari obsidian, juga ditemukan alat batu yang terbuat dari bahan batu rijang, dan andesit, serta adanya pemanfaatan bahan batu gamping untuk dijadikan sebagai artefak dengan ciri pemangkasan di bidang tertentu untuk mendapatkan sisi tajaman, serta ditemukan juga beberapa serpih batu gamping yang memungkinkan digunakan sebagai alat serpih. Walaupun temuan akan pemanfaatan bahan batu gamping yang kemudian dijadikan sebagai artefak di Gua Pawon tidak banyak, data temuan terbaru tersebut dapat lebih memerkaya tentang ragam bahan batuan yang telah dimanfaatkan oleh manusia pendukung budaya prasejarah di Gua Pawon pada masa lalu.

Selain artefak litik di Gua Pawon juga ditemukan berbagai bentuk artefak yang terbuat dari tulang binatang dan gigi binatang. Berdasarkan pengamatan tipologis terhadap jenis temuan artefak tulang yang ditemukan dari hasil ekskavasi di Gua Pawon termasuk dalam kelompok tulang panjang yang kemudian di pertajam salah satu sisinya. Di samping itu juga ditemukan pemanfaatan taring babi sebagai alat serpih dan lancipan, serta tanduk rusa yang sudah mengalami peruncingan dan aus di bagian ujungnya yang dapat diduga juga pernah berfungsi sebagai lancipan.

Pemanfaatan bagian tubuh binatang sebagai artefak di Gua Pawon lebih diperkaya lagi dengan ditemukannya beberapa gigi binatang yang memiliki lobang di bagian akar giginya. Lubang dibagian akar gigi-gigi binatang tersebut tampak sengaja dibuat dengan cara melubangi dari kedua sisi. Kuat dugaan gigi-gigi binatang yang memiliki lubang di bagian akar giginya tersebut merupakan sisa perhiasan yang pernah digunakan dalam lintas budaya manusia yang hidup di Gua Pawon pada masa lalu.

Sumberdaya Laut di Gua Pawon

Indikasi pemanfaatan sumber daya laut dalam lintas budaya yang berlangsung pada era prasejarah di Gua Pawon antara lain diketahui dari kehadiran temuan cangkang moluska laut yang berasal dari kelompok Pelecypoda[7]. Cangkang moluskan dari kelompok Pelecypoda adalah spesies Neritina.sp yang termasuk dalam genus Nerita.

Sisa kehadiran atau indikasi pemanfaatan sumberdaya laut dalam lintas budaya prasejarah di Gua Pawon lebih jelas lagi dengan ditemukannya sisa-sisa artefak yang kuat digunakan sebagai perhiasan pada masa lalu. Artefak tersebut terbuat gigi ikan Hiu (Shark, sp)dari bagian yang paling keras dari cangkang keang yaitu berupa lapisan mengilat yang terdapat di bagian dalam kerang berbentuk Pelecypoda.

Perhiasan dari gigi hiu

Sisa perhiasan yang terbuat dari gigi ikan Hiu dan cangkang kerang laut di Gua Pawon ditemukan dari kedalaman 90 hingga 130 cm dari permukaan tanah, tersebar secara acak dengan asosiasi perhiasan dari dari taring binatang, alat batu, moluska dan sisa makanan berupa fragmen tulang binatang.

Sisa perhiasan dari gigi Hiu (Shark, sp) hasil ekskavasi di Gua Pawon
(Sumber: Lutfi Yondri, 2005)

Perhiasan dari gigi hiu yang ditemukan dari hasil ekskavasi di Gua Pawon kuat dugaan berasal dari satu spesies karena dari ukurannya merupakan satu deretan dari gigi depan dan bergerak ke gigi belakang. Dalam hal ini terdiri atas gigi berukuran kecil yang biasanya terletak di rahang bagian depan dan yang berukuran besar di sisi belakang. Tujuh gigi Hiu yang ditemukan dari hasil ekskavasi di Gua Pawon semuanya memiliki lubang di bagian akar giginya.

Berdasarkan pengamatan terhadap bentuk lubang dan sisa retakan di bagian lubang yang terdapat di maing-masing gigi Hiu tersebut dapat diperkirakan tentang cara yang dilakukan pada saat pembuatan lubang-lubang tersebut. Lubang di akar gigi dibuat dengan sederhana cara melubangi bagian akar gigi dari kedua sisi. Kadangkala keletakan titik lubang di kedua sisi tidak presisi sehingga menghasilkan lubang tembus yang agak miring. Bila diamati secara seksama besar diameter lubang di ketujuh gigi Hiu tersebut tidak sama, rerata dengan kisaran antara 1,08–1,67 mm. Beberapa titik lubang di bagian akar gigi tidak selalu halus dan rata, tetapi beberapa di antaranya juga menyisakan bagian retakan. Besar kemungkinan gigi-gigi ikan Hiu yang digunakan sebagai bahan perhiasan tersebut adalah gigi-gigi Hiu yang sudah mati atau pada saat ditemukan sudah menjadi, kemudian gigi tersebut dilepas dari tulang rahangnya, kemudian dibuatkan lubang dengan cara dibor di kedua sisi. Kuat dugaan alat yang digunakan untuk membuat lubang di bagian akar gigi Hiu tersebut menggunakan lancipan (gurdi) yang terbuat dari bahan batu obsidian.

Sisa perhiasan dari fragmen cangkang kerang laut, hasil ekskavasi di Gua Pawon (Sumber: Lutfi Yondri, 2005)

Perhiasan dari kerang

Artefak perhiasan yang terbuat dari kerang yang ditemukan di dari hasil ekskavasi di Gua Pawon jumlahnya lebih banyak di bandingkan dengan gigi ikan Hiu yaitu 10 keping. Di samping itu juga ditemukan dalam bentuk bahan dalam bentuk pecahan yang lebih besar. Ke sepuluh keping cangkang kerang yang digunakan sebagai perhisan tersebut tidak sama baik ukuran maupun ketebalan. Berdasarkan bentuk fisiknya dengan lapisan kasar di sisi luar dan lapisan mengilap di sisi yang lain kuat dugaan kulit kerang yang digunakan sebagai material perhiasan tersebut berasal dari kelompoh Pelecypoda.sp[8].

Tidak terdapat patokan bentuk dari masing-masing pecahan badan kerang yang dijadikan sebagai perhiasan, bentuknya bermacam-macam. Sepertinya bergantung pada bentuk pecahan bagain badan kerang yang dipecahkan pada bagian badan kerang yang memiliki lapisan mengilap (prisma[9]) di satu sisinya. Dengan rerata dengan ketebalan antara 0,7–2,08 mm. Sementara itu teknik pembuatan lubang pada kulit kerang yang dijadikan sebagai benda perhiasan berbeda dengan teknik pembuatan lubang pada gigi binatang dan gigi Hiu. Pembuatan lubang di kulit kerang hanya dilakukan dari satu sisi. Teknik pelubangan yang demikian tentunya sangat memungkinkan dilakukan. Mengingat ukuran ketebalan kulit kerang, rerata diameter lubang di satu sisi 1 mm, sementara di sis yang lain dengan rerata 2, 31 mm. di bagian lubang dengan diameter yang lebih besar memerlihatkan jejak goresan memutar dengan bentuk lubang yang lebih kecil ke bagian yang lebih dalam.

Perdagangan atau penjelajahan

Melihat lokasi Gua Pawon yang saat sekarang berada jauh dari laut, muncul satu pertanyaan apakah keberadaan temuan artefaktual yang berasal dari sumber daya laut tersebut merupakan hasil dari sistim pertukaran atau perdagangan pada masa lalu atau merupakan refleksi dari daya jelajah manusia Pawon pada masa lalu.

Berdasarkan hasil penelusuran sumber kepustakaan dan penelitian arkeologis yang telah dilakukan selama ini, baik di kawasan pantai utara maupun pantai selatan, tidak diteukan satupun situs arkeologi yang memiliki pola budaya dan masa budaya dengan pertanggalan yang sama dengan budaya prasejarah di Gua Pawon. Keberadaan sumberdaya laut seperti Gigi Hiu dan kerang laut yang digunakan oleh manusia Pawon pada masa prasejarah jangkauan ke garis pantainya kalau di acu hasil kajian yang dilakukan oleh Zaim (1997) jaraknya tidak sama dengan masa sekarang.

Zaim menguraikan tentang perubahan garis pantai utara Jawa bagian barat dengan studi kasus pantai Utara Jakarta. Dari periode 4500 hingga 40.000 tahun yang lalu. Pada periode 4500 sampai garis pantai berada sekitar 4–5 m di atas permukaan laut sekarang. Sementara pada periode 40.000 tahun yang lalu garis pantainya berada antara 25–35 di atas permukaan laut sekarang. Kawasan Sebelah utara Gua Pawon yang memungkinkan untuk dieksploitasi waktu itu besar kemungkinan adalah kawasan Kabupaten Subang. Kalau data ketinggian dari muka laut tersebut, besar kemungkinan daerah pantai pada masa itu berqda di kawasan sekitar Ciasem, Purwodadi dan sekitarnya atau daerah sekitar pusat Kota Subang sekarang.

Daya jelajah yang jauh

Ukuran dari jarak tempuh jelajah manusia Pawon pada masa lalu di antaranya dapat dibandingkan dengan hasil analisis sumber batu obsidian yang ditemukan di Gua Pawon. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan cara melihat persamaan unsur kimiawi yang terkandung dalam artefak obsidian yang ditemukan dari hasil ekskavasi memiliki persamaan dengan unsur kimia batu obsidian yang berasal dari kawasan Kendan (Nagrek), yang terletak sekitar 39 km. Juga sama dengan batu obsidian yang berasal dari Kampung Rejeng (Garut) yang terletak lebih kurang 64 km di sebelah timur Gua Pawon.

Berdasarkan hal tersebut dapat didugakan akan jauhnya daya jelajah manusia Pawon pada masa lalu, sehingga sangat memungkinkan juga manusia Pawon tersebut juga bisa memeroleh sisa-sisa hewan laut. Kemudian mereka jadikan sebagai bagian dari budaya pada masa itu. Oleh karena tidak ditemukan budaya prasejarah yang setara di kawasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk memeroleh material budaya yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya laut tersebut pada masa lalu dilakukan sendiri oleh manusia Pawon.

Penutup

Arkeologi sebagai salah satu cabang disiplin ilmu yang memelajari sisa-sisa peninggalan budaya masa lalu (cultural remains), berusaha untuk mengungkapkan berbagai fenomena budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat masa lalu. Hal tersebut diungkapkan baik melalui cara rekonstruksi tingkah laku budaya masyarakat masa lalu, maupun dengan memelajari bentuk serta bagaimana perubahan kebudayaan tersebut terjadi. Dalam kenyataannya sering dijumpai satu konsep budaya di satu daerah dengan di daerah lain dalam penampilan wujud kebudayaan materinya, menunjukkan ketidaksamaan. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh berbagai faktor seperti keterbatasan lingkungan (alam), alasan kepraktisan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu untuk pemenuhan kebutuhan akan materi yang digunakan dalam memvisualisasikan bentuk-bentuk kebudayaan materi, manusia berusaha mencari alternatif dari berbagai sumber daya alam yang tersedia.

Dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia di lingkungan, seringkali dijumpai manusia menerapkan faktor pemilihan. Dalam hal ini tidak semua sumber daya yang tersedia di lingkungan dijadikan sebagai pilihan dalam mewujudkan satu bentuk budaya materi. Begitu juga dengan yang dilakukan oleh manusia yang hidup pada masa prasejarah di Gua Pawon. Untuk mewujudkan rasa seni dalam bentuk perhiasan, pada masa itu selain memanfaatkan gigi-gigi binatang yang mereka dapatkan dari hasil buruan, mereka juga memanfaatkan sisa sumber daya laut berupa kulit kerang dan gigi Hiu. Bisa jadi dengan pemanfaatan sisa sumber daya laut yang demikian dalam lintas budaya prasejarah yang berlangsung di Gua Pawon. Kemudian menjadikan budaya prasejarah di Gua Pawon menjadi sangat khas, dibanding dengan kebudayaan-kebudayaan lain, meskipun dalam periode yang sama.

Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Nies dkk., 1986, “Survei di Daerah Cililin, Bandung”, dalam BPA No. 36: Laporan Penelitian Arkeologi dan Geology di Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud

Bandi, H.G., 1951, “Die Obsidian industrie der umgebung von Bandung in west Java” Sudseestudien, Bassel.

Bramantyo, Budi dan Eko Yulianto, 2001, “Menelusuri Jejak Manusia Sunda Purba dari Gua Pawon”, Seri Sejarah Alam 1. Bandung: Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Callenfels, P.V van Stein, 1934, “Korte Gids voor de Prehistorische Verzameling”, Jaarboek KBG: Hlm. 93.

Chia, Stephen, Lufti Yondri, dan Truman Simantunjak, 2005, The Origins of the Obsidian Artifacts from Gua Pawon, Bandung-Indonesia (Belum diterbitkan)

Heine Geldern, Robert von, 1945, “Prehistoric Research in the Netherlands Indies”, dalam Honig, Pieter dan Frans Verdoorn (ed.), Sience and Scientist in the Nederlands Indies. New York.

Heekeren, HR. Van, 1972, The Stone Age of Indonesia. Rev. 2nd. The Hague-Martinus Nijhoff

Hoop, A.N.J. Th.a h. Van der, 1940, “A Prehistoric Site Near the Lake Kerinchi (Sumatra)”, Proccedings of the Third Congress of Prehistorians of the Far East. Singapore, 1940. Hlm. 200–204

Koenigswald, G.H.R von, 1935, “Das Neolithicum der Umgebung von Bandung”, TBG, 75 (3). Hlm. 394–419.

Nanik Harkatiningsih, dkk (Peny.), Laili, Nurul, 2006, Jejak Pendukung Budaya Obsidian di Sekitar Danau Bandung, dalam Edi Sedyawati (edt.) Arkeologi Dari Lapangan Ke Permasalahan. Bandung. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 18–29

Pantjawati, 1988, Alat-Alat Obsidian: Media Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungan di Sekitar Danau Bandung. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rotpletz, W., 1952, Alte siedlungsplatze beim Bandung (Java) und die Entdeckung. Bronzezeitlicher Gussformen: Sudsee Studien, Basel 1951. Hlm. 125

Simanjuntak, Harry Truman, 2001, “Prasejarah Indonesia Dalam Konteks Asia Tenggara di Sekitar Holosen Awal Data Baru dalam Penelitian Dasa Warsa Terakhir”, dalam Edi Sedyawati dan Susanto Zuhdi (peny.) Arung Samudra Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B. Lapian. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya-Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Hlm. 661–682.

Soejono, R.P., 1984, “Jaman Prasejarah di Indonesia”, Sejarah Nasional Indonesia I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

Sudjatmiko, 2004, “Sumber Alat-alat Batu Prasejarah dari Situa Gua Pawon”, dalam Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar (peny.) Amanat Gua Pawon. Bandung: Kelompok Riset Cekungan Bandung. Hlm. 97104.

Yondri, Lutfi, 2003, Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).

Yondri, Lutfi, 2004a, Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten Bandung-Jawa Barat. Bandung: Kerja sama Balai Arkeologi Bandung dan Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional-Jawa Barat (Tidak diterbitkan).

Yondri, Lutfi, 2004b , Laporan Hasil Penelitian Prasejarah Gua-Gua Prasejarah Kawasan Bukit Gamping Lembar Cianjur, di Kecamatan Ciranjang dan Sekitarnya, Provinsi Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan)

Yondri, Lutfi, 2005, Laporan Kegiatan Ekskavasi di Situs Gua Pawon, Desa Gunung Masigit Kabupaten Bandung-Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung (Tidak diterbitkan).

Yondri, Lutfi, 2009, Laporan Kegiatan Ekskavasi di Gua Gunung Tanjung, Desa Gunung Masigit Kabupaten Bandung-Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung (Tidak diterbitkan).

Yondri, Lutfi, 2011, Laporan Hasil Penelitian Prasejarah Tinggalan Gua Di Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat (Tidak diterbitkan)

Yondri, Lutfi, 2012, Laporan Hasil Penelitian Prasejarah Di Gua Ketuk, Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat (Tidak diterbitkan)

[1] Heekern dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa secara umum fungsi gua pada masa lalu dapat dibedakan sebagai 1) sebagai tempat aktivitas domestik, 2) tempat penguburan, dan 3) gabungan dari 1 dan 2. Berdasarkan hasil temuan kubur di dalam gua selama ini, lokasi yang dijadikan sebagai tempat penguburan cenderung memilih bagian atau ruang gua tertentu yang agak terisolasi dan dekat dengan dinding gua (Simanjuntak, 1999:6).

[2] Batu hijau dan batu obsidian yang juga dikenal dengan gelas gunung api, termasuk dalam kelompok quarts family mineral atau kelompok mineral keluarga kuarsa yang memiliki kekerasan 6 sampai 7 skala Mosh, dan termasuk dalam kelompok batuan yang dapat dimanfaatkan sebagai batu perhiasan (Sudjatmiko, 2004:98).

[3] Jasper atau Jaspis merupakan salah satu batuan jenis kalsedon yang kaya unsur besi. Warnanya bervariasi, tetapi biasanya merah atau kuning, serta tidak tembus cahaya (Poerbo-Hadiwidjojo, 1994:161).

[4] Batu andesit termasuk dalam kelompok batuan beku luar yang terbentuk dari bekuan magma di luar bumi, biasanya berwarna abu-abu dan tidak tembus cahaya.

[5] Sumber bahan obsidian di daerah Nagerek ditemukan di Kampung Kendan. Berada di sebelah timur Gua Pawon dengan jarak lebih kurang 39 km dari Gua Pawon

[6] Sumber bahan obsidian Kampung Rejeng (Garut) juga terletak di arah sebelah timur, dengan jarak lebih kurang 61 km dari Gua Pawon

[7] Pelecypoda adalah kerang yang memiliki cangkang berbentuk setangkup. Memiliki tubuh simetris yang dilindungi oleh cangkang stangkup. Berkembang biak dengan telur, dengan habitat air tawar dan air laut (Suhardi, 1983:41-42). Sturktur fisik yang hidup di laut biasanya lebih keras dan tebal.

[8] Pelecypoda adalah kerang yang mempunyai cangkang berbentuk setangkup. Memiliki tubuh simetris yang dilindungi cangkang setangkup. Berkembang biak dengan telur, dengan habitat air tawar dan air laut (Suhardi, 1983:41:42). Ciri fisik sebagai Pelecypoda yang hidup di air laut diperlihatkan oleh warna luar kerang yang berwarna putih kekuningan. Sementara pelecypoda air tawar umumnya berwarna hitam.

[9] Prisma adalah lapisan tengah Pelecypoda sp yang tersusun dari Kristal kalsit (www.vliz.be/imisdocs/publication/254656.pdf).