Peradaban Islam Mewariskan Corak dan Bentuk Masjid Nusantara yang Khas

0
31900
Masjid Sultan Syarif Abdurrahman di Pontianak.
Masjid Sultan Syarif Abdurrahman di Pontianak, salah satu masjid kuno yang memiliki corak dan bentuk khas Nusantara.

Khas Nusantara

Di bidang arsitektur, peradaban Islam telah mewariskan corak dan bentuk masjid yang khas Nusantara. Kebanyakan masjid tua di Indonesia, dan dalam banyak hal juga di Malaysia, dari abad ke-16 dan 18 menunjukkan karakteristik yang berbeda dari yang ditemukan di negara-negara Muslim lainnya, khususnya di Saudi Arabia, Timur Tengah, dan India.

Jika diperhatikan dengan seksama, maka masjid-masjid kuno Indonesia dari awal abad ke-16 sampai abad 18, pada umumnya memiliki ciri-ciri yang khas ialah: 1) Denah berbentuk bujur sangkar atau persegi-empat dan pejal atau masif; 2) Atapnya bertumpang atau bersusun makin ke atas makin kecil dan jumlahnya ada yang dua, tiga, lima bahkan lebih; 3) Serambi di bagian depan atau samping; dan 4) Halaman masjid dikelilingi pagar tembok dengan satu atau lebih pintu gerbang. Selain itu, beberapa masjid kuno umumnya juga memiliki kolam yang biasanya ditempatkan di depan atau sekitar bangunan masjid.

Terkadang Wali menjadi arsitek

Contoh-contoh dari masjid-masjid dengan jenis atap seperti ini antara lain Masjid Agung Demak, Masjid Agung Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid Agung Kuto Gede, Masjid Agung Palembang, dan Masjid Raya Aceh Darussalam. Masjid Agung Demak didirikan sekitar akhir abad ke-15 M, tepatnya pada 1479 M. Menurut Babad Demak, Babad Tanah Jawi dan babad-babad lainnya para Wali yang disebut Wali Sanga memiliki peranan penting dalam pendirian bangunan Masjid Agung Demak. Terutama Sunan Kalijaga yang berperan sebagai arsiteknya. Sunan Kalijaga membetulkan kedudukan mihrab arah kiblatnya. Bahkan juga ia membuat salah satu sakaguru (tiang utama) yang dibuat dari tatal dengan julukan Sakatatal. Sakaguru yang dibuat Sunan Kalijaga itu sakaguru timurlaut. Sunan Bonang membuat sakaguru baratlaut. Sunan Gunung Jati membuat sakaguru baratdaya,  dan Sunan Ampel membuat sakaguru tenggara.

Yang hampir semasa pendiriannya dengan Masjid agung Demak ialah Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon. Masjid Agung Kasepuhan dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon pada 1720 M. Disebut namanya Sang Ciptarasa yang didirikan tidak begitu lama setelah pendirian Masjid Agung Demak. Jika didasarkan berita tersebut sangat mungkin antara 1479–1506 M. Diceritakan dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari itu bahwa pendirian Masjid Agung Cirebon Sang Ciptarasa dilakukan oleh orang-orang dari Cirebon dan Demak. Mereka berjumlah 500 orang dengan kepala tukang yang terkenal , yaitu Raden Sepat dari Demak. Pendirian Masjid Agung di Cirebon itu juga di bawah pimpinan para Wali Sanga. Dikatakan bahwa Sunan Kalijaga bertindak selaku pimpinan pembangunan. Ialah arsiteknya, yang juga membuat sakatatal.

Sajarah Banten

Sementara Masjid Agung Banten yang kini terletak di bekas ibukota Kesultanan Banten, yaitu di Surosowan, lebih kurang 13 Km dari kota Serang. Menurut Sajarah Banten Masjid Agung termasuk kota didirikan atas petunjuk Sunan Gunung Jati kepada putranya, Maulana Judah atau Maulana Hasanuddin. Jika ibukota Kesultanan Banten didirikan pada 8 Oktober 1526 maka Masjid Agung tersebut didirikan sejak itu. Pada masa kedatangan orang-orang Belanda kali pertama di Banten pada 1596 masjid itu telah disebut-sebut bahkan tertera dalam sketsa kota.

Babad Momana

Sedangkan Masjid Agung Kuto Gede, jika didasarkan pada Babad Momana, didirikan pada 1511 Jawa (Saka) atau 1589 M, semasa pemerintahan Panembahan Senapati. Masjid Kota Gede ini letaknya juga di bagian barat yang kini hanya disebut toponyme Kampung Alun-Alun. Sedang di sebelah selatan kampung tersebut didapatkan toponyme yang disebut Kampung Kedhaton dan Dalem.

Untuk Masjid Agung Palembang, diketahui bahwa masjid ini didirikan sekitar abad ke 18 M, yaitu masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo yang juga dikenal sebagai Sultan Mahmud Badaruddin I (1734–1758). Tetapi pembangunan masjid itu sendiri dengan peletakan batu pertamanya pada 1 Jumadil Akhir 1151 H atau 1738 M dan baru selesai dan diresmikan pada senin 28 Jumadil Awwal 1161 H atau 26 Mei 1748 M.

Bustan-as-Salatin dan Hikayat Aceh

Sementara Masjid Raya Aceh Darussalam yang lebih dikenal dengan nama Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, sebagaimana diceritakan dalam Bustan-as-Salatin dan Hikayat Aceh, pada waktu Perang Aceh sekitar 1873 M terbakar dan kemudian diganti dengan bentuk Masjid gaya Timur Tengah.

Dari kesemua masjid kuno tersebut, satu hal yang penting dicatat adalah bahwa hampir setiap masjid umumnya memiliki ruangan yang berukuran hampir sepertiga dari ruang utama dan ditempatkan terpisah oleh tembok yang dikenal sebagai pawestren atau pawadonan yaitu ruang khusus untuk tempat sembahyang kaum wanita (istri/wadon). Hal ini misalnya dapat dilihat pada Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten, dan beberapa masjid lainnya.

Masjid khusus kaum hawa

Fenomena itulah yang akhirnya menarik perhatian G.F. Pijper. sehingga ia berkesimpulan bahwa ternyata dahulu di Indonesia kaum wanitanya turut serta sembahyang bersama di masjid-masjid. Ditambah lagi, pada abad ke-20, muncul masjid-masjid yang secara khusus didirikan untuk kaum wanita. Seperti Masjid Kauman di Yogyakarta yang didirikan pada 1922/23 M, Masjid Istri di Kampung Pengkolan, Garut yang didirikan pada 1926, Masjid di Karangkajen-Yogyakarta yang didirikan pada 1927, masjid di Kampung Plampitan Surabaya, serta masjid di Kampung Kaprabon Surakarta.

Makna masjid

Berdasarkan uraian di atas, terutama masjid yang berasal dari abad ke-16 sampai abad ke-18 M, dapat ditarik beberapa arti atau makna yang penting.

Menunjukkan kekhasannya sendiri

Masjid-masjid kuno di Indonesia dengan ciri-cirinya menunjukkan kekhasannya sendiri. Hal itu disebabkan faktor bahwa baik dalam ayat-ayat Qur’an maupun Hadis Nabi telah memberikan pengertian masjid yang universal. Tidak ada ketentuan-ketentuan bagaimana seharusnya bentuk atau gaya seni-bangunan untuk masjid. Kecuali arah atau kiblatnya. Dengan demikian di berbagai negeri dan masyarakat Muslim akan terdapat bentuk atau gaya masjid-masjid sesuai dengan arsitektur setempat akibat proses akulturasi.

Mengandung nilai-nilai budaya spiritual atau non-material

Masjid-masjid kuno di Indonesia ditinjau dari fungsi utamanya tetap sebagai tempat peribadatan umat Islam. Sebagai salah satu aspek kebudayaan material yang mengandung nilai-nilai budaya spiritual atau non-material dari keagamaan Islam. Dengan ciri-ciri arsitektur ditambah beberapa ragam hiasnya yang merupakan tradisi sebelumnya serta mengandung makna keagamaan atau kepercayaan pra-Islam. Menunjukkan bahwa pelopor-pelopor dan masyarakat-masyarakat Muslim di Indonesia tidak begitu suka meniru kebudayaan dari luar. Kecuali melalui proses pemilihan atau seleksi sehingga sesuai dengan selera kebudayaannya.

Menunjukkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis

Dalam beberapa bagian seni-bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia menunjukkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Seperti dinyatakan dalam perlambangan pintu-pintu masjid yang dibuat rendah dengan maksud agar memasuki masjid dengan ta’zim. Sakatatal dari pecahan kayu-kayu yang diikat membentuk tiang utama atau sakaguru seperti di Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Kasepuhan Cirebon melambangkan kegotongroyongan dalam pendirian masjid sebagai tempat peribadatan.

Sesuai dengan iklim di Indonesia

Ciri khas yang ditunjukkan oleh atap-atap bersusun pada masjid-masjid kuno dilihat dari lingkungan atau ekologi amat sesuai dengan iklim di Indonesia. Atap bersusun yang makin ke atas makin kecil. Didukung oleh bentuk joglo dengan pemberian jarak antara atap satu dengan atap lainnya. Maka terjadilah krospentilasi sehingga menyebabkan kemudahan lalu lintas udara yang menyebabkan udara dalam masjid dingin. Kecuali itu atap bertingkat atau bersusun itu untuk alam tropik yang juga mengenal musinm penghujan. Memudahkan curah hujan meluncur dari atap sehingga tidak mudah bocor. Dari keberadaan atap bertingkat itulah berarti arsitek-arsitek Muslim masa itu sudah memerhatikan ekologi lingkungan alamnya. Dari segi sosiologi bangunan ruangan masjid dibuat luas karena jumlah pemakainya yang sedapat mungkin mengisi masjid itu.

Penyebaran Islam melalui seni-bangunan

Baik melalui bentuk arsitektur maupun ornamen masjid-masjid kuno dengan perlambangan serta makna keagamaannya mungkin juga terkandung salah satu tujuanya, yaitu untuk daya tarik. Memudahkan masyarakat yang masih beragama Hindu/Buddha memeluk agama Islam. Dengan kata-kata lain masjid-masjid kuno dengan ciri-ciri khususnya itu juga digunakan sebagai salah satu jalur untuk proses Islamisasi atau penyebaran Islam melalui seni-bangunan. Di samping jalur-jalur lainnya sehingga tidak terjadi kekagetan budaya.

Sumber:

Burhanuddin, Jajat, dkk, 2015, Sejarah Islam Nusantara, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Hlm. 57–61. (belum terbit)

Baca juga:

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/makam-dan-nisan-kubur/

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/mesjid-kesultanan-tidore-atau-sigi-lamo/